7 Catatan Koalisi Masyarakat Sipil Terkait RUU KSDAHE

akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona saat memberikan paparan terkait dengen Rancangan Undang-Undang (RUU) Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAHE) dalam konfrensi pers. (Tangkapan Layar Youtube @WAHLI Nasional)

PARBOABOA, Jakarta-  Koalisi Masyarakat Sipil menyarankan tujuh catatan kepada DPR dan pemerintah terkait penyempurnaan Rancangan Undang-Undang (RUU) Konservatif Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAHE).

Hal ini disampaikan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona sekaligus perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil saat konferensi pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), bertajuk "Menyampaikan pandangan dan posisi masyarakat sipil untuk RUU KSDAHE", Senin (13/02/2023).

"Kami melihat meskipun ada upaya dalam mengakomodasi peran dan partisipasi masyarakat, tetapi substansi yang ada sekarang belum cukup," ujarnya.

Catatan pertama diketahui, koalisi meminta agar aturan tersebut mengutamakan paradigma konservasi yang berbasis hak asasi manusia (HAM). Hal ini menurut Yance karena dalam undang-undang yang lama, aturan mengenai konservasi sangat sangat berpusat pada negara atau state centric.

"Padahal kapasitas pemerintah untuk menjaga wilayah konservasi sebanyak 27,4 juta hektar sangat terbatas. Sehingga, masyarakat yang tinggal di wilayah itu sebetulnya ujung tombak dari kesuksesan konservasi," katanya.

Kedua, RUU KSDAHE dinilai harus mampu menerjemahkan komitmen internasional pemerintah Indonesia di bidang lingkungan hidup. Ketiga, koalisi menyoroti perlunya persetujuan atas informasi awal tanpa paksaan atau Padiatapa. Padiatapa merupakan terjemahan dari prinsip FPIC (free, prior, and informed consent).

Padiatapa lanjut Yance, didasarkan pada pengakuan hak yang melekat pada masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri dan kebutuhan untuk menghormati martabat, pengetahuan, dan cara hidup tradisional mereka.

Keempat, pengaturan yang lebih kuat soal kearifan lokal dalam kegiatan konservasi dan areal konservasi kelola masyarakat (AKKM). Menurut Yance, dibutuhkan pengaturan lebih rinci ihwal pendataan AKKM dan daerah perlindungan kearifan lokal yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

Meski begitu, Yance mengatakan masyarakat dapat mengajukan bahwa AKKM dan daerah perlindungan kearifan lokal mereka untuk didata oleh pemerintah. Selain itu, AKKM dan daerah perlindungan kearifan lokal harus terlindungi dari proyek-proyek pemerintah yang dapat merusak sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Kelima, aturan dalam RUU KSDAHE harus bisa mencegah kriminalitas terhadap masyarakat ekosistem penting di luar kawasan konservasi. Sebab, dinilai selama ini banyak konflik yang terjadi antara masyarakat adat dan pihak konservasi, di antaranya kasus Taman Nasional.

Keenam, mengganti prosedur pengakuan masyarakat adat yang politis menjadi administratif. 

"Aturan dalam RUU KSDAHE berbeda dengan yang sebelumnya, namun tidak menciptakan model baru, sehingga membenarkan proses yang terjadi selama ini. Adapun proses pengakuan masyarakat saat ini, sangat rumit dengan penetapan melalui pemerintah daerah," katanya.

Ketujuh, mendorong proses partisipasi masyarakat sipil dapat memberikan masukan dalam proses legislasi. Kelompok yang terkena dampak langsung harus didengarkan, dipertimbangkan, dan diberikan jawaban terhadap aspirasi yang disampaikannya.

"DPR dan pemerintah dapat melibatkan masyarakat adat dan lokal, serta organisasi masyarakat sipil untuk duduk bersama melakukan musyawarah merumuskan ketentuan-ketentuan di dalam RUU KSDAHE," jelas Yance.

Editor: Betty Herlina
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS