PARBOABOA, Jakarta - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional yang baru atau UU Nomor 1 Tahun 2023 membaharui beberapa ketentuan hukuman yang diatur dalam UU lama.
Salah satu yang mendapat sorotan adalah soal ketentuan pidana mati. Dalam UU baru, pidana mati dikategorikan sebagai Ultimum Remedium. Apa artinya?
Prof Asep Nana Mulyana, Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham, dalam seminari daring bertajuk 'Pengubahan Pidana Mati Secara Otomatis Mandat KUHP Baru' belum lama ini, memberikan penjelasan yang komprehensif.
Ia menjelaskan, pidana mati sebagai Ultimum Remedium artinya hukuman yang bersifat upaya terakhir. Karena bersifat terakhir, maka ada upaya hukum alternatif sebelum ketentuan pidana mati tersebut diberlakukan.
Dalam UU Nomor 1 Tahun 2023, Asep menyinggung soal hukuman percobaan selama 10 tahun bagi mereka yang divonis mati. Kata dia, adanya alternatif hukuman ini karena pidana mati merupakan kategori hukuman yang bersifat khusus.
Karena bersifat khusus, demikian ia menegaskan, pemberlakuannya selalu dialternatifkan dengan pidana penjara sumber hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
Ketentuan pidana mati bersifat khusus diatur dalam dalam Pasal 67 KUHP Nasional.
Di sana, secara tegas dijelaskan, tindak pidana yang bisa diancam pidana khusus adalah tindak pidana serius, seperti korupsi, narkotika, terorisme dan pelanggaran HAM berat.
"Untuk itu pidana mati dicadangkan," tegas dia lagi sambil mengingatkan pentinganya pidana mati diancam secara alternatif dengan tindak pidana lain.
Ia menambahkan, tindak pidana serius atau yang sering dikenal extraordinary crime harus diterapkan secara selektif karena berimplikasi luas terhadap penegakan hukum.
Pertimbangan tersebutlah menurut Asep yang membuat pidana khusus dapat menyimpang dari asas legalitas dan tidak berlaku kedaluwarsa.
Dalam hukum pidana, asas legalitas adalah asas yang mengatur bahwa seseorang tidak bisa dihukum kalau tidak ada pasal yang mengaturnya.
Kemudian 'tidak berlaku kedalurwarsa' artinya pidana khusus bisa berlaku surut, tidak dibatasi oleh periodesasi waktu tertentu.
Dengan ini Asep sebenarnya ingin memberi pesan penting kepada publik mengenai ketentuan hukuman mati yang lebih progresif.
Bahwa seseorang dihukum, terutama divonis mati tidak sekedar karena apa yang tertulis. Pada konteks tertentu pidana mati bisa diganti dengan hukuman lain karena sejumlah pertimbangan.
Demikianpun soal kedaluwarsa. Bahwa kesalahan seseorang, apalagi kesalahan berat, misal pelanggaran HAM tidak bisa gugur hukumannya hanya karena kedaluwarsa.
Asep mengatakan, ketentuan pidana mati dalam KUHP nasional baru menekankan rasa kemanusiaan yang lebih luas dari aturan sebelumnya.
Selain diatur dalam pasal 67 tegas dia, juga diatur dalam pasal 100 UU a quo yang secara garis besar mengatur:
- Ayat (1): Sebelum menjatuhkan pidana mati, hakim harus terlebih dahulu menjatuhkan pidana percobaan selama 10 tahun dengan mempertimbangkan rasa penyesalan dan peran terdakwa.
- Ayat (2): Pidana percobaan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.
- Ayat (3): Percobaan hukuman selama 10 tahun dimulai sehari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Ayat (4): Dalam hal setelah masa percobaan selama 10 tahun ada perubahan sikap terdakwa, hukuman mati diganti dengan hukuman seumur hidup. Pergantian hukuman ini harus melalui Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung.
- Ayat (6): Dalam hal terdakwa tidak menunjukkan perubahan sikap setelah menjalani hukuman percobaan selama 10 tahun sebagaimana ketentuan ayat (1) pidana mati diterapkan atas perintah Jaksa Agung.
Langkah progresif
Di forum yang sama, Direktur ICJR, Erasmus Napitupulu mengapresiasi ketentuan hukuman mati yang didahului oleh masa percobaan 10 tahun.
Menurutnya, ini merupakan Langkah hukum yang progresif, meski ICJR kata dia, "menolak pidana mati secara keseluruhan."
Erasmus meminta pemerintah agar segera merumuskan aturan turunan penerapan pidana mati ini. Tak hanya itu, ia juga meminta terutama kepada Jaksa Agung agar melakukan moratorium penuntutan pidana mati.
Karena, demikian ia menjelaskan, berkaca dari politik hukum pidana mati saat ini, telah mulai mengarah pada penghapusan pidana mati secara de facto.
Pemerintah juga kata dia, harus segera mengeluarkan peraturan mengenai mekanisme penilaian bagi terpidana mati, termasuk aturan untuk terpidana mati yang telah berada dalam Lapas sebelum disahkannya KUHP baru.
Dalam temuan ICJR, selama 5 tahun terakhir ada tren peningkatan kasus pidana mati. Hingga tahun 2023, total ada 218 kasus pidana baru yang dituntut serta divonis dengan pidana mati.
Editor: Gregorius Agung