Arus Media Massa dan AI Jadi Celah Peluang Kepentingan Politik

Peran media massa dan AI tidak dapat dipisahkan dari agenda kekuatan politik, karena memiliki hubungan langsung dengan publik. (Foto: Pixabay/Wokandapix)

PARBOABOA, Jakarta - Peran media massa tidak dapat dipisahkan dari agenda kekuatan politik, karena memiliki hubungan langsung dengan publik.

Sebaliknya, politik membutuhkan media massa untuk menyampaikan pesan dan agenda politik kepada publik. Oleh karena itu, media massa seharusnya bersifat independen.

Namun, menurut Dosen Universitas Paramadina, Edison Hutapea, hal ini sulit diwujudkan karena terdapat ideologi politik yang memengaruhinya, terutama pada media massa konglomerasi yang dimiliki oleh individu dengan latar belakang politik.

“Hal ini terjadi karena di balik media terdapat elite politik yang ‘menguasai’ media tersebut. Elite politik akan membuat media yang dikuasainya menyebarkan ideologi politik kepada publik.” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ‘Komunikasi, AI dan Literasi Politik: Peluang dan Tantangan’ pada Sabtu (16/12/2023) lalu

Edison berpendapat bahwa kehadiran Artificial Intelligence (AI) justru menjadi manfaat positif terhadap demokrasi.

Teknologi ini dapat membantu mencegah kecurangan, meningkatkan literasi komunikasi politik dengan mendeteksi pemberitaan hoax, dan menangkal misinformasi serta disinformasi.

AI juga mampu memahami preferensi pemuda untuk dijadikan gimmick bagi tim pengusung elite politik dan disebarkan melalui berbagai media.

Oleh karena itu, Edison menekankan bahwa mahasiswa harus memiliki critical review. Apalagi terhadap media yang tidak bersifat netral, khususnya menghadapi politik yang tidak lagi mengutamakan wacana yang bersifat rasional, alias hanya mengedepankan emosional.

Di sisi lain, Wahyutama, seorang Dosen lain di Universitas Paramadina, menilai bahwa penggunaan AI memiliki kecenderungan pengambilan keputusan otomatis dan dapat digunakan dalam proses pengambilan kebijakan.

Meskipun AI dapat menjadi alat analisis data yang efektif, Wahyutama memperingatkan bahwa penggunaan teknologi ini dapat mengancam demokrasi dengan mengakses data pribadi tanpa izin, yang kemudian dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik.

Contohnya pada kasus pemilihan presiden Amerika Serikat di 2016 lalu. "Yang pada akhirnya dimenangkan oleh Donald Trump,” Jelasnya.

Kemudian, kasus tim pendukung Ferdinand Romualdez Marcos Jr atau dikenal sebagai BongBong Marcos, yang memanfaatkan AI dengan menciptakan propaganda politik demi menaikkan citra diri Marcos, Jr.

Mereka menulis ulang sejarah, dengan memperlihatkan seolah-olah BongBong adalah pahlawan. Propaganda ini berhasil mempengaruhi generasi muda di Filipina.

Tren dukungan pun bermunculan di media sosial, khususnya TikTok, seperti konten-konten berupa jingle, meme, dan dance challenge.

Wahyutama menilai bahwa fenomena ini bisa terjadi karena generasi muda di Filipina minim literasi, hingga akhirnya tidak mengetahui fakta sejarah bahwa ayah dari sosok yang mereka dukung merupakan seorang diktator.

"Mereka termakan oleh propaganda politik yang disebarkan oleh tim pendukung Ferdinand Marcos, Jr,” tuturnya.

Editor: Yohana
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS