Lampet dan Tradisi Panjang: Bagian Penting dari Jejak Kudapan Batak

Lampet masih tetap mendapat tempat. (Foto:PARBOABOA/Triveni)

PARBOABOA, Pematangsiantar – Di tengah deru mesin-mesin modern dan gemerlap kafe-kafe kekinian, sebuah kudapan bersahaja tetap menyelip di ingatan banyak orang Batak: lampet. Kue yang dibungkus daun pisang ini bukan sekadar makanan. Ia adalah jejak—jejak dapur-dapur masa lalu, ladang-ladang basah di pegunungan, dan tangan-tangan nenek yang membungkus harapan dalam balutan sederhana.

Sebelum nama lampet dikenal luas di tengah masyarakat Batak seperti sekarang, kudapan ini telah melewati perjalanan panjang sebagai bagian dari tradisi kuliner leluhur. Sejarahnya berakar pada beragam jenis makanan sederhana namun sarat makna, seperti sagu-sagu, dagut-dagut, gabur-gabur, dan ombus-ombus. Nama-nama yang masih akrab di beberapa pelosok Tanah Batak.

Penamaan jenis makanan ini mencerminkan ciri khas linguistik Batak Toba: pengulangan suku kata. Kata seperti pohul-pohul (dari pohul yang berarti mengepal) dan dolung-dolung menandai keterikatan masyarakat Batak pada ekspresi yang menggambarkan bentuk, proses, atau tekstur dalam cara yang akrab dan repetitif. Setiap nama bukan hanya label, tetapi juga penanda budaya dan identitas lokal.

Dalam lintasan sejarahnya, istilah lampet sendiri berasal dari kata Melayu "lepat", menandai adanya perjumpaan dan pembauran bahasa serta budaya. Menurut Monang Naipospos, seorang pengamat budaya Batak, nama lampet mulai digunakan setelah masa penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Batak. Dalam versi awal Alkitab, istilah yang digunakan masih sagu-sagu. Ini menunjukkan bahwa istilah sagu-sagu atau sasagu lebih tua dan lebih otentik dalam konteks Batak tradisional.

“Jadi, yang ada dulu di zaman leluhur namanya sagu-sagu,” jelas Monang Naipospos, insinyur yan merupakan tokoh penting komunitas agama Batak, Parmalim.

Secara bahan dasar, sagu-sagu dibuat dari tepung beras; dagut-dagut dari tepung ubi kayu; gabur-gabur dari tepung beras pula, tetapi dengan tekstur lebih rapuh dan mudah hancur seperti pasir.

pengamat budaya toba

Pengamat budaya Batak Toba, Monang Naipospos (tengah) (Foto:PARBOABOA/ P. Hasudungan Sirait)

Sementara ombus-ombus yang juga dikenal sebagai tiup-tiup di wilayah Siborongborong memiliki tekstur lengket, biasanya dibuat dari tepung beras atau ketan. Ada pula dolung-dolung dari Parapat, dibentuk bulat kecil dan dibungkus dengan daun bambu. Semua jenis makanan ini memiliki kesamaan dalam bahan penyusun seperti kelapa parut, gula merah atau gula putih, namun perbedaan cara bungkus, bentuk, dan penyebutan lokal membuatnya unik satu sama lain.

Dengan berjalannya waktu, istilah lampet kemudian menjadi payung bagi berbagai kudapan ini. Ia merangkum, menyatukan, dan mewakili keragaman bentuk serta cita rasa kudapan Batak tradisional.

Dulu, lampet dan pendahulunya bukan hanya camilan, tapi makanan utama yang fungsional. Dalam masyarakat agraris Batak, yang sehari-harinya bekerja di ladang atau berjalan jauh melintasi lembah dan bukit, sagu-sagu menjadi bekal wajib.

Dibungkus daun pisang, makanan ini ringan dibawa dan tahan lama, cocok untuk perjalanan panjang yang tanpa akses memasak. Ketika infrastruktur transportasi masih terbatas, dan perjalanan bisa memakan waktu seharian bahkan berhari-hari, lampet adalah solusi.

Simbol Kehormatan

Di tengah kemajuan zaman dan pergeseran gaya hidup, fungsi lampet pun berubah. Dari makanan utama yang dibawa ke ladang, ia menjadi simbol kenangan dan perantara budaya

Lampet hadir dalam pesta pernikahan, ibadah gereja, hingga acara kematian. Ia tidak lagi menopang perut saat bertani, tapi menjadi pengikat batin, tanda hormat, dan warisan yang tetap hidup di setiap gigitan.

Ompung Natalia Simaremare (70) di sela-sela pernikahan keluarga yang meriah, dengan senyum ramah dan nada bicara yang lembut, mengisahkan kembali peran lampet dalam tradisi Batak, sebuah cerita yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

motor angkatan muda

Motor angkatan muda Pematangsiantar, Tumpak Winmark ‘Si Parjalang’ Hutabarat (Foto:PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Bagi Ompung Natalia, lampet bukan sekadar camilan biasa. Ia adalah bagian dari sistem sosial dalam budaya Batak, yang hadir di banyak momen sakral maupun keseharian. Dalam pesta pernikahan, misalnya, lampet disajikan sebagai bentuk penghormatan kepada tamu-tamu yang datang, khususnya mereka yang tinggal hingga akhir acara. Fungsi ini sudah berlangsung sejak lama, sejak masa para leluhur.

“Biasanya, lampet dibagikan kepada keluarga dekat atau tamu penting. Supaya mereka yang sedang berbincang atau menunggu tidak merasa bosan,” tuturnya.

Bungkus daun pisang yang hangat dan aroma kelapa serta gula merah yang khas menjadi lebih dari sekadar sajian, ia menjadi tanda keakraban dan penghargaan. Dalam pesta Batak, ketika prosesi adat bisa berlangsung berjam-jam, lampet menjadi teman yang akrab untuk mengisi waktu sekaligus menyambungkan cerita antar generasi.

Pandangan ini sejalan dengan pengalaman Tumpak Winmark Hutabarat (38), seorang pria Batak yang telah menikmati lampet sejak masa kecilnya. Baginya, lampet adalah makanan yang sederhana, praktis, sekaligus sarat makna budaya. Ia mengingat betul bagaimana kudapan ini selalu hadir dalam pesta-pesta adat yang ia hadiri baik di kampung maupun kota.

Lampet sangat erat kaitannya dengan identitas budaya Batak. Ia selalu hadir di setiap pesta adat Batak dan acara budaya lainnya,” kata  Tumpak ‘Si Parjalang’.

Sebagai penggemar setia, Tumpak menyukai dua jenis lampet: lampet pulut dan lampet putih. Keduanya menurutnya memiliki cita rasa yang khas, manis dan lembut, yang sulit ditemukan pada camilan modern.

Tetap Bertahan

Di tengah derasnya modernisasi kuliner yang melahirkan berbagai inovasi makanan, lampet tetap hadir sebagai simbol sederhana dari kekayaan budaya Batak. Makanan berbahan dasar tepung beras ini masih kerap dijumpai dalam berbagai acara adat, pesta keluarga, hingga hajatan keagamaan. Kepraktisannya sebagai kudapan dan cita rasa khasnya menjadikannya  bagian penting dari identitas kuliner masyarakat Batak.

Namun, eksistensinya mulai tersingkir dari ruang-ruang pergaulan anak muda, terutama di kedai kopi atau kafe yang menjadi tempat nongkrong populer. Monang Naipospos, sang pengamat budaya Batak, menilai hal ini sebagai konsekuensi dari dinamika pasar yang kini banyak dipengaruhi selera generasi muda.

“Ini hukum pasar. Kalau tidak ada permintaan, tidak akan ada yang menyediakan,” ujar Monang Naipospos. Pemilik usaha seperti kedai kopi, menurut dia,  hanya akan berani menyajikan produk yang sesuai dengan permintaan pengunjung. Dan dalam konteks saat ini, permintaan terhadap makanan tradisional seperti lampet terbilang rendah.

Salah satu dugaan yang muncul adalah soal penyajian. Lampet paling nikmat disantap saat masih hangat. Hal ini dianggap tidak praktis oleh sebagian pelaku usaha kedai kopi, yang lebih memilih sajian siap santap atau bisa disajikan berulang kali. Tapi bagi Monang Naipospos, ini bukan alasan yang cukup kuat. Ia membandingkan dengan roti bakar yang juga harus disantap dalam keadaan hangat agar teksturnya tetap lembut dan rasanya maksimal—dan tetap banyak dijual di kafe-kafe.

penggemar lintas usia

katgamb Penggemarnya lintas usia (Foto:PARBOABOA/Triveni) #end

Persoalan sebenarnya terletak pada persepsi visual dan nilai simbolik yang kini melekat pada makanan. Menu kekinian yang tampil dengan kemasan scantik dan nama-nama asing dianggap lebih modern, lebih keren. Sebaliknya, lampet yang dibungkus daun pisang dan tidak memiliki tampilan mencolok, dianggap kurang menarik bagi mata generasi yang tumbuh dalam budaya visual ini.

“Anak muda sekarang lebih tertarik pada gaya Barat. Mereka merasa lebih gaul kalau makan menu luar negeri. Jadi buat apa, pikir mereka, ke kafe hanya untuk membeli makanan tradisional seperti lampet? Bukankah itu bisa ditemukan di kampung?” terang Monang Naipospos.

Meski begitu, dari sisi pengamat budaya Batak ia tetap optimistis. Lampet, menurutnya, masih punya masa depan. Kuncinya ada pada keberanian untuk berinovasi. Bukan dengan menghilangkan jati dirinya sebagai makanan tradisional, melainkan memperbarui cara penyajiannya agar lebih relevan dengan selera masa kini. Inovasi dalam bentuk kemasan, kombinasi rasa, hingga penyajian visual bisa menjadi jalan tengah untuk membuat lampet lebih diterima di ruang-ruang modern, tanpa mengorbankan akar budayanya.

Menjaga kelestarian lampet bukan semata urusan nostalgia, tapi bagian dari mempertahankan identitas dan warisan leluhur Batak di tengah perubahan zaman. Bukankah begitu? (Bersambung)

Penulis: Triveni Gita Lestari Waloni, jurnalis Zonautara.com, Manado. Liputan ini merupakan Tugas Akhir di  Sekolah Jurnalisme Parboaboa (SJP) Pematangsiantar, Batch 2. SJP merupakan buah kerja sama Parboaboa.com dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

Editor: P. Hasudungan Sirait

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS