PARBOABOA, Jakarta - Negara mengeluarkan dana bantuan sosial (bansos) mencapai Rp500 triliun jelang Pilpres 2024. Besarnya penggelontoran dana tersebut sebagai yang terbesar selama masa reformasi.
Sayangnya, kepentingan bansos menjadi standar ganda antara demi politik atau rakyat.
Guru Besar Ekonomi Universitas Paramadina, Prof. Didin S Damanhuri, menyampaikan bahwa dana bansos menjadi indikasi kemiskinan meningkat. Padahal, tingkat kemiskinan sudah cenderung menurun.
"Nyatanya kemiskinan sudah agak menurun,” katanya pada diskusi bertajuk Bansos, Pengentasan Kemiskinan atau Tujuan Politik?, Kamis (8/2/2024).
“Bansos alat politik jelang Pemilu 2024,” urainya lagi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendata tingkat kemiskinan terpantau menurun hingga Maret 2023. Jumlah penduduk miskin mencapai 25,9 juta orang atau 9,36%.
Angka tersebut menurun dibandingkan September 2022, yaitu sebanyak 26,36 juta orang atau sebesar 9,57%.
BPS juga mendata jumlah penduduk miskin Maret 2023 lebih turun, jika dibandingkan Maret 2022. Angka tingkat kemiskinannya sebesar 9,54% atau 26,16 juta orang.
Prof Didin menuturkan, bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih banyak terlihat membagikan bansos ketimbang Kementerian Sosial (Kemensos).
Bahkan, pemangku kebijakan Kemensos sendiri jarang mendampingi Jokowi saat membagikan bansos.
Menurutnya, hal itu memperkuat proses politisasi bansos untuk kepentingan pemilu.
Tidak sedikit daerah mendapat bansos disusupi label, salah satu pasangan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres).
“Capres dan Cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming,” ungkapnya.
Bahkan, ada kampanye negatif soal bansos. Apabila paslon capres-cawapres 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, atau capres-cawapres 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD menang. Maka, keduanya tidak akan membagikan lagi bansos.
Neo-otoritarianism
Gejala fase neo-otoritarianism mulai masuk ke Indonesia, lima tahun terakhir belakangan ini.
Guru Besar Universitas Paramadina, Prof. Didin S Damanhuri, menuturkan beberapa pihak sudah memastikan gejala-gejala itu dengan bukti-bukti sangat kuat.
Pada era Soekarno, isu Nasakom cukup mencuat dengan perimbangan kekuasaan antara TNI-AD versus PKI.
Soekarno menciptakan suatu ekosistem, hingga MPR ketika itu memutuskan keputusan presiden seumur hidup. Meski dengan dekrit Soekarno sendiri.
Adapun pada era Suharto tercipta partai pelopor agar pembangunan ekonomi terus berlanjut, yakni dengan industrialisasi tanpa instabilitas politik.
Sementara itu, Presiden Jokowi tampil dengan sejumlah program nyata dan populis sejak 2014.
“Hal itu terindikasi parlemen yang pro kekuasaan semula 65% menjadi 85% pro kekuasaan,” ungkap Guru Besar Ekonomi Universitas Paramadina itu.
Prof. Didin meneruskan, hingga kini tidak sedikit mekanisme pelumpuhan check and balance terjadi di parlemen.
Kondisi itu telah mengontrol proses legislasi dan lainnya, sehingga terdapat delapan undang-undang (UU).
Di antaranya adalah UU KPK, UU Minerba, UU Ciptaker, dan UU Kesehatan.
"Konon bukan kepentingan rakyat,” ujarnya.
Gejala lainnya yang terakhir adalah memasukkan Gibran Rakabuming, sebagai putra Presiden Jokowi melalui Mahkamah Konstitusi.
“Yang memanipulasi proses hukum dan politik sehingga menjadi cawapres,” ungkap Guru Besar Ekonomi Universitas Paramadina, Prof. Didin S Damanhuri.
Editor: Aprilia Rahapit