PARBOABOA, Jakarta- Produksi minyak bumi di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Ini terjadi karena cadangan minyak di Indonesia kian menipis.
Anggota Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Abdul Halim mengatakan, produksi minyak bumi pada 2022 sebesar 612 ribu barel per hari (MBOPD), sedangkan kebutuhan konsumsi minyak bumi sekitar 1,3 juta barel per hari.
Sementara, produksi gas bumi mencapai 1.147 Milion Barrel Oil of Equivalent Per Day (MBOEPD). Jumlah tersebut turun drastis sejak 7 tahun terakhir.
Berdasarkan data BPH Migas, produksi minyak pada 2015 mencapai 786 MBOPD dengan produksi gas bumi mencapai 1.428 MBOEPD. Produksi minyak bumi tertinggi terjadi pada tahun 2016 yang mencapai 831 MBOPD.
Untuk mengatasi selisih tersebut, pemerintah terpaksa melakukan impor. Hal serupa juga diprediksi akan terjadi pada tahun 2023 jika melihat pola konsumsi saat ini.
Halim melanjutkan, jika kondisi itu berlangsung secara terus menerus maka berpotensi menggoncangkan keuangan negara dan menimbulkan dilema di tengah masyarakat.
“Kalau tidak ada penemuan-penemuan yang baru, suatu saat ini akan menjadi masalah untuk kita, menjadi permasalahan besar bagi bangsa Indonesia,” kata Halim dalam diskusi publik bertajuk ‘Urgensi Reformasi Subsidi Energi’ yang difasilitasi oleh INDEF, Selasa (14/02/2023).
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah tengah gencar melakukan eksplorasi sumber-sumber minyak dan gas sebagai upaya mengantisipasi kekurangan produksi di dalam negeri.
Halim tak menampik jika kilang minyak di Indonesia belum cukup untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri, terutama untuk permasalahan Bahan Bakar Minyak (BBM) berjenis bensin sehingga opsi impor menjadi pilihan terbaik.
Pada tahun 2022, produksi kilang untuk komoditas Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) minyak bensin mencapai 13.685.399 kilo liter. Jumlah itu jauh dari kuota yang dibutuhkan, sehingga pemerintah mengimpor 21.612.052 kilo liter.
“Minyak bensin itu, atau yang dibilang di sini pertalite, pertamax, atau pertamax turbo, itu tidak hanya hasil dari kilang. Karena kilang domestik kita belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat,” kata dia.
Sedangkan solar, lanjut Halim, sudah diproduksi oleh Pertamina. Akan tetapi, jumlahnya tetap tidak bisa memenuhi sehingga masih tetap diimpor dari luar negeri.
Sementara itu, Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF, Abra Talattov mengatakan, pemerintah harus mengambil langkah bijak untuk mengantisipasi lonjakan tajam terhadap harga minyak dunia.
Di mana pada tahun 2022 silam, ketika Indonesia menghadapi ketidakpastian geopolitik global, pemerintah menambah anggaran subsidi energi bersumber dari APBN hingga Rp502,4 triliun demi meredam inflasi.
Namun, realisasi subsidi energi tersebut membengkak Rp48,7 triliun menjadi Rp551,2 triliun.
“Dari catatan kami, memang sudah sangat mendesak atau urgen bagi pemerintah agar bisa belajar dari pengalaman sebelumnya untuk melakukan transformasi subsidi energi,” katanya.
Abra melanjutkan, untuk melakukan transformasi subsidi energi, pemerintah tak hanya disarankan untuk melakukan revisi Perpres No.191 Tahun 2014, tetapi juga mengubah mekanisme yang sebelumnya terbuka menjadi sistem tertutup dan tepat sasaran.
Sehingga nantinya APBN tak lagi terbebani seperti yang sudah terjadi di tahun lalu.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan umur minyak Indonesia hanya tinggal sembilan sampai sepuluh tahun.
Maka dari itu, Arifin mengatakan, pihaknya tengah berupaya memompa produksi minyak bumi di Indonesia dengan memetakan sejumlah lokasi yang mempunyai prospek bagus.
"Kalau kita gak punya yang baru dengan konsumsi yang sekarang ya 9-10 tahun, tapi kita juga masih punya kurang lebih 6-7 potensi area baru yang bisa kita kembangin dan ini bisa juga meningkatkan kita punya," ujar Arifin di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (10/02/2023).
Editor: Betty Herlina