PARBOABOA, Jakarta - Anisa (23), bukan nama sebenarnya, tak pernah melupakan hari yang membuatnya trauma hingga sekarang.
Saat itu, 23 September 2024, dirinya sedang mendata nama Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di salah satu kelurahan di Jakarta Timur.
Ia sempat bertanya pada SS (60), ketua Rukun Warga 05, mengenai data KPPS di wilayahnya. Namun bukannya menjawab, SS justru melecehkan Anisa: memegang pundak dan mencium pipinya.
Anisa adalah Petugas Pemungutan Suara (PPS) Kelurahan yang sudah bekerja selama enam bulan. Data KPPS itu dibutuhkan untuk mempersiapkan pemungutan suara pemilihan kepala daerah yang berlangsung 27 November 2024.
“Saat saya menunjukkan laptop, ia (SS) kemudian mencium pipi saya," kata Anisa kepada PARBOABOA, Selasa (15/01/2025).
Wanita berhijab itu sempat berteriak. Namun suaranya tenggelam di tengah keriuhan suasana Kantor Kelurahan yang sibuk mengurus pilkada.
"Waktu saya teriak, orang-orang sekitar tidak mendengar. Ketua saya, juga lagi sibuk, gitu kan, jadi gak peduli. Atau mungkin dia pikir saya teriak karena beban kerja. Saya lalu menangis, ” kata Anisa mengingat hari yang membuatnya marah.
Mengumpulkan keberanian, Anisa kemudian melaporkan kejadian itu ke pihak kelurahan. Bukannya diterima dan ditangani, pihak kelurahan justru meminta Anisa tidak memperkeruh situasi.
"Pihak kelurahan pengen bilang, ya, udahlah maafin aja gitu, kan. Gak usah diperpanjang lagi. Mediasinya cukup dengan meminta maaf."
Anisa tentu menolak permintaan maaf. Ia menuntut agar SS diberhentikan sebagai kepala rukun warga supaya tak ada lagi korban lain.
"Kelurahan itu kan tempatnya pelayanan. Maksud aku, biar gak ada korban-korban lain. Sekalian biar dia dapat balasan setimpal seperti yang aku rasakan sekarang."
Buntu di tingkat kelurahan, Anisa mencari keadilan dengan melapor ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta Timur.
Ia kemudian diminta untuk melaporkan kasus tersebut melalui aplikasi JAKI (Jakarta Kini), layanan pengaduan publik berbasis daring yang dibuat Pemerintah Provinsi Jakarta.
Laporan Anisa ditindaklanjuti oleh KPU Jakarta Timur dengan menggelar pertemuan pada bulan September.
Hadir di situ, perangkat kelurahan, seluruh ketua RW, terduga pelaku beserta keluarganya. Anisa datang didampingi kedua orang tuanya.
Pertemuan selama dua jam itu berlangsung alot. Permintaan Anisa agar terduga pelaku dicopot, diprotes oleh sebagian besar ketua RW yang menyebut tuntutan Anisa berlebihan.
"Nah, waktu pertemuan, ada salah satu ketua RW yang bilang kalau aku kan, gak lecet dan gak luka. Jadi, seolah-olah gak ada pelecehan gitu."
Hasil dari pertemuan itu, SS akhirnya mengundurkan diri sebagai ketua RW. Namun hal yang menyakitkan bagi Anisa, sebagai korban, ia tak mendapatkan banyak dukungan. Sejumlah ketua RW kompak keluar dari grup WhatsApp Pilkada sebagai ekspresi kemarahan terhadap Anisa.
"Mereka pada marah dan gak terima gitu kan. Mereka bilang, kok RW gak dibutuhin lagi? Memangnya si orang ini (Anisa) siapa? Bocah kok berani, ya?" katanya menirukan perkataan mereka.
Anisa berusaha tetap pada pendiriannya. Perasaan sebagai korban menguatkannya untuk tidak tinggal diam. Ia tak mau dianggap lemah, apalagi kalah. Ia yakin masih banyak perempuan yang mendukungnya di tengah ragam tekanan yang muncul.
Bukan Kasus Pertama
Kisah Anisa hanya satu dari rentetan panjang kasus kekerasan seksual yang terjadi di tubuh penyelenggara pemilu.
Data Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI sebagaimana dikutip dari website Rumah Pemilu (https://rumahpemilu.org/kekerasan-seksual-oleh-penyelenggara-pemilu-meningkat/) menunjukkan lonjakan kasus kekerasan seksual yang ditangani Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sejak 2017-2022.
DKPP mencatat sedikitnya 25 kasus kekerasan seksual pada periode tersebut. Dari jumlah ini, 21 kasus berujung sanksi pemberhentian tetap, sementara empat kasus lainnya hanya dikenakan peringatan keras.
Situasi semakin memburuk pada 2023 dengan meningkatnya laporan menjadi 54 kasus.
Menurut Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan (KMKP) Wahidah Suaib, mayoritas terlapor kasus kekerasan seksual tersebut melibatkan anggota dan staf Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu.
Ia merinci, sembilan kasus melibatkan ketua dan anggota Bawaslu daerah, 14 kasus dilakukan ketua atau anggota KPU daerah, serta dua orang dari sekretariat atau staf KPU RI.
Puncak kasus kekerasan seksual pada 2024 adalah diberhentikannya Ketua KPU RI, Hasyim Asyari karena melakukan kekerasan seksual kepada seorang anggota petugas pemilu luar negeri berinisial CAT.
Menurut Wahidah, data yang dilaporkan ke DKPP hanya gunung es dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang tak diungkap oleh korban.
Ia sendiri menerima banyak keluh-kesah staf perempuan penyelenggara pemilu mengenai kekerasan seksual di daerah.
Salah satu modusnya berupa gratifikasi seksual yang diminta oknum penyelenggara pemilu kepada peserta yang ingin lolos sebagai penyelenggara pemilu di daerah.
“Ada seorang komisioner menelepon peserta seleksi, minta gendong jika mau diloloskan,” ungkap Wahidah. Gendong adalah istilah yang dipakai untuk melakukan hubungan seksual.
Tingginya kasus kekerasan seksual di tubuh penyelenggara pemilu telah mendorong KPU dan Bawaslu pusat mulai menyusun Standard Operating Procedure (SOP) untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual.
KPU misalnya, telah mengeluarkan regulasi berupa Keputusan KPU Nomor 1341 Tahun 2024 tentang Pedoman Pencegahan Kekerasan Seksual (PPKS) di KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Poin lain yang dibahas dalam Keputusan KPU adalah soal pembentukan satgas pencegahan kekerasan seksual, pencegahan kekerasan seksual, dan penyelesaian kasus kekerasan seksual di tempat kerja.
Selain itu, Bawaslu menandatangani kerja sama dengan Komnas Perempuan untuk membangun ekosistem penyelenggara pemilu yang bebas dari kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual.
Meski demikian, sebagian petugas penyelenggara pemilu seperti KPPS dan PPS mengaku belum mendapat sosialisasi terkait poin-poin penting dalam Keputusan KPU.
“Saya baru tahu kalau ada peraturan begitu. Kalau di sini, saya tidak pernah mendapatkan sosialisasi soal kekerasan seksual,” ujar Ira (40), seorang ketua KPPS di RT. 001, RW. 012, Kelurahan saat diwawancara PARBOABOA, Selasa (07/01/2025) lalu.
Ketiadaan sosialisasi dari penyelenggara pemilu disebutnya menjadi salah satu penyebab yang membuat mereka tidak tahu harus melapor ke mana saat terjadi pelecehan seksual.
“Atau seperti korban di RW sebelah (Anisa). Kasihan kan dia harus urus sendiri masalah pelecehan kemarin. Ya, mungkin karena tidak tahu mau melapor ke mana,” ungkap Ira.
Akar Maraknya Kekerasan Seksual di Tubuh Penyelenggara Pemilu
Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka menilai rentetan kasus yang dialami petugas pemilu bersumber dari ketiadaan aturan normatif yang menjamin keamanan perempuan selama penyelenggaraan pemilu.
Hal ini berpengaruh pada sulitnya perempuan untuk mencapai rasa aman sehingga terhindar dari berbagai kekerasan, baik fisik, psikologi dan seksual.
"Kita tahu bahwa lembaga pemilu kita belum memiliki aturan khusus untuk menindak kekerasan berbasis gender. Sehingga ketika ada masalah, mereka tidak tahu harus merespons seperti apa," pungkas Mike kepada PARBOABOA melalui sambungan telepon, Rabu (15/01/2025).
Persoalan lain, perempuan yang menjadi korban justru tidak mendapat atensi dari pemerintah. Pengalaman Anisa membuktikan bahwa pasca kejadian, pemerintah melepas tangan untuk pemulihan psikologi korban.
"Atau jangan-jangan malah kekerasan tersebut dinormalisasi sebagai bagian dari 'ah itu kan bercanda', 'itu kan tidak disengaja'. Ini jelas memperkuat dugaan bahwa kekerasan di lingkungan kerja itu wajar-wajar saja," tambah Mike
Selain itu, ia juga menilai kekerasan yang dialami perempuan petugas pemilu memiliki akar persoalan pada relasi kuasa. Di mana pelaku memiliki jabatan, status ekonomi dan status politik yang lebih tinggi dibandingkan korban.
Dengan perbedaan status tersebut, para pelaku seperti memiliki kekuatan untuk mengintimidasi atau mengancam seseorang yang berkedudukan lebih rendah dari mereka.
Tingginya kekerasan seksual selama proses pemilu, menurut Mike, melucuti nilai-nilai demokrasi seperti keadilan dan emansipasi.
"Pemilu tidak berhasil membawa nilai-nilai demokrasi yang substantif," pungkasnya.
Mike berharap, ke depannya, lembaga penyelenggara pemilu harus memiliki komitmen yang kuat untuk menangani dan mencegah kekerasan berbasis gender, baik itu di internal KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Kekerasan berbasis gender harus diatur secara jelas sebagai bagian dari pelanggaran pemilu yang dikuatkan dengan ketentuan perundang-undangan.
Pun Wahidah mengingatkan perlunya pengintegrasian ketentuan pidana umum seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ke dalam Keputusan KPU, baik untuk penanganan pelanggaran maupun perlindungan terhadap korban kekerasan berbasis gender.
Hal ini lebih efektif karena UU TPKS sudah mengatur secara jelas tentang pencegahan, perlindungan, dan pemulihan serta restitusi terhadap korban.
PARBOABOA telah melayangkan beberapa kali permohonan wawancara dan mengirimkan daftar pertanyaan kepada Bawaslu sejak dua pekan lalu.
Namun, pihak Humas beralasan, mereka tidak bersedia diwawancarai karena padatnya kegiatan di Bawaslu pasca Pemilu 2024.
Nb: Liputan ini merupakan bagian dari kegiatan fellowship yang diselenggarakan oleh Konde.co.