Mempersoalkan Istilah Korban dalam Konteks Penanganan Judi Online

Pakar Psikologi Forensik sekaligus Kriminolog Reza Indragiri Amriel. (Foto: tangkapan layar youtube Reza Indragiri)

PARBOABOA, Jakarta - Usul pemberian bantuan sosial (bansos) kepada mereka yang disebut sebagai korban judi online (judol) disikapi secara beragam.

Yang menarik, selain beredarnya pendapat pro dan kontra, ada pihak yang coba menjernihkan istilah 'korban' judol.

Kriminolog sekaligus Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel, misalnya. Dalam sebuah keterangan baru-baru ini, ia mengatakan penyematan istilah korban kepada pelaku judol sangat serampangan.

Menurut pria yang akrab disapa Reza ini, mereka tidak layak disebut korban karena merupakan pelaku yang aktif bermain judi.

Istilah 'korban judol' sebelumnya disebutkan oleh Menko PMK, Muhadjir Effendy. Ia melontarkan hal itu kala mengusulkan pemberian bansos kepada kelompok-kelompok ini (penjudi).

Namun menurut Reza, narasi sekaligus usulan Menteri Effendy merupakan sesuatu yang sebut sebagai victimhood culture.

Kata dia, victimhood culture adalah upaya menggeser pelaku pelanggar hukum dan mereka yang hidupnya berkecukupan sebagai pihak yang harus dikasihani.

"Seolah mereka adalah pihak yang harus dikasihani dan diberikan simpati," kata Reza.

Reza setuju-setuju saja jika mereka disebut korban, tetapi sebagai korban dari gagalnya program kesejahteraan sosial pemerintah.

Itulah sebabnya ia menyarankan agar istilah ini perlu segera diluruskan bahwa mereka bukan korban judi online tetapi korban kegagalan program kesejahteraan.

Jangan sampai, gagalnya kebijakan kesejahteraan kata Reza, "menjadikan judi online sebagai jalan keluar yang salah atas kemiskinan yang disebabkan oleh kegagalan pemerintah itu."

Reza menambahkan aktivitas perjudian merupakan masalah pidana. Karena itu menyebut pelakunya sebagai 'korban', sangat tidak masuk akal.

Menteri Muhadjir Effendy mengatakan, praktik judi, baik yang dilakukan secara langsung maupun online dapat mendatangkan kemiskinkan.

Dalam rangka itu ia mengusulkan agar mereka mesti berada di bawah tanggung jawab pemerintah terutama di bawah kementrian yang ia pimpin.

Bahkan, kata dia, pihaknya telah melakukan sejumlah advokasi korban judol dan mendaftarkan mereka ke dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai penerima bansos.

Termasuk mereka yang mengalami gangguan psikososial. "Kita minta Kemensos untuk turun melakukan pembinaan dan memberi arahan," kata Eeffendy, Kamis (13/6/2024).

Namun, usai usulan ini menuai polemik di tengah masyarakat, Menteri Effendy mengklarifikasi dan meluruskan apa yang ia maksudkan.

Ia menegaskan, yang dimaksud sebagai korban judol bukan pelaku melainkan pihak keluarga. Kalau pelaku, demikian ia menambahkan jelas merupakan perbuatan pidana.

Adapun maksud penerima bansos itu ialah anggota keluarga, seperti anak, istri/suami.

Ia menyampaikan, gagasan pemberian bansos terhadap korban judol menjadi salah satu materi yang diusulkan Menko PMK dalam persiapan pembentukan Satgas Pemberantasan Perjudian Online.

Ia berkata, nantinya, Menko PMK berkapasitas sebagai Wakil Ketua Satgas, sementara Menko Polhukam, Hadi Tjahjanto menjabat sebagai ketua dalam struktur tim ad hoc tersebut.

Pembentukan satgas pemberantasan judol tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2024 yang terbit di Jakarta 14 Juni 2024.

Adapun bansos tersebut kata Eeffendy akan membantu pihak keluarga yang menjadi korban perilaku judi online. 

Khususnya anak dan istri karena mereka bukan hanya mengalami kerugian secara materi tetapi juga kesehatan mental, bahkan sampai berujung kematian sebagaimana terjadi dalam banyak kasus.

"Kondisi ini yang ditimbulkan itu menjadi tanggung jawab pemerintah, khususnya kami Menko PMK," kata Effendy sembari menegaskan kebijakan tersebut sedang dalam pembahasan bersama kemensos.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS