Jalan Panjang Kasus Lord Luhut, Haris Azhar dan Fatia Kembali Diperiksa sebagai Terdakwa

Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanty kembali diperiksa sebagai terdakwa dalam kasus Lord Luhut. (Foto: Pixabay)

PARBOABOA, Jakarta - Kasus pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (21/8/2023). 

Sidang digelar dengan agenda pemeriksaan dua terdakwa, yakni Direktur Lokataru, Hariz Azhar dan koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanty.

Seteru Luhut Pandjaitan dengan dua aktivis ini cukup mencuri perhatian publik setelah pada Maret 2022 lalu Polda Metro Jaya resmi menetapkan Haris dan Fatia sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik.

Kasus ini berawal dari unggahan video dalam kanal YouTube Hariz Azhar pada Jumat (20/8/2023) lalu dengan judul: “Ada Lord Luhut dibalik Relasi Ekonomi-Pos Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada.”

Konten video tersebut menyentil soal keterlibatan sejumlah purnawirawan TNI AD di balik bisnis tambang emas atau rencana eksploitasi daerah Blok Wabu di Intan Jaya, Papua.

Fatia kemudian menyinggung salah satu perusahaan, yakni PT Tobacom Del Mandiri yang merupakan anak perusahaan Toba Sejahtera Group. Perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh Luhut Pandjaitan itu disebut terlibat dalam bisnis tambang tersebut.

“[PT] Tobacom Del Mandiri ini direkturnya purnawirawan TNI, namanya Paulus Prananto. Kita tahu juga bahwa Toba Sejahtera Group dimiliki sahamnya salah satu pejabat kita, namanya adalah Luhut Binsar Pandjaitan,” kata Fatia, dikutip Parboboa.com, Senin (21/8/2023).

Haris yang mendengar pernyataan Fatia kemudian merespon; "LBP, the Lord." Menurut Fatia, Luhut menjadi salah satu pejabat yang ikut bermain di balik pertambangan Papua hari ini.

Topik yang diangkat Haris dan Fatia sebetulnya merujuk pada laporan yang dikeluarkan oleh sejumlah lembaga, di antaranya YLBHI, Walhi Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, Walhi Papua, LBH Papua, Kontras, JATAM, Greenpeace Indonesia, dan Trend Asia.

Dalam kajian yang menyoroti soal "Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya" itu, empat perusahaan di Intan Jaya yang teridentifikasi, yakni PT Freeport Indonesia (IU Pertambangan), PT Madinah Qurrata’Ain (IU Pertambangan), PT Nusapati Satria (IU Penambangan), dan PT Kotabara Miratama (IU Pertambangan).

Mengutip Kontras.org, dua dari keempat perusahaan tersebut, yakni PT. Freeport Indonesia dan PT. Madinah Qurrata'Ain diketahui terhubung dengan militer atau polisi, termasuk Luhut Pandjaitan.

Kajian tersebut juga secara rinci menyebut tiga nama aparat yang terhubung dengan PT. Madinah Qurrata'Ain, di antaranya purnawirawan polisi Rudiard Tampubolon, purnawirawan TNI Paulus Prananto, dan Menko Marves Luhut Pandjaitan.

Hasil laporan tersebut dibantah Luhut dan melalui kuasa hukumnya ia melayangkan somasi sebanyak tiga kali. Luhut mendesak Haris dan Fatia untuk meminta maaf. Sayanngya, permintaan maaf tersebut tidak dilakukan hingga akhirnya Luhut menempuh jalur hukum.

Pada 22 September 2021, Luhut melalui kuasa hukumnya secara resmi melaporkan Haris dan Fatia ke Polda Metro Jaya. Luhut mengaku menempuh langkah hukum karena pernyataan kedua aktivis itu telah menyinggung nama baiknya.

Tak hanya melapor, Luhut bahkan melayangkan gugatan perdata 100 miliar atas tudingan Hariz dan Fatia. Uang tersebut diklaim akan diserahkan kepada masyarakat Papua bila nanti gugatannya dikabulkan.

Gagal Mediasi, Haris dan Fatia Ditetapkan Tersangka

Polisi telah menyiapkan ruang mediasi sebanyak dua kali sebelum Haris dan Fatiah ditetapkan sebagai tersangka. Sayangnya, mediasi tersebut gagal dilakukan.

Pada 6 Januari 2022, penyidik menaikkan status perkara tersebut dari penyelidikan ke tahap penyidikan, dan status Haris dan Fatia saat itu masih sebagai saksi.

Haris dan Fatia juga sempat dijemput paksa oleh penyidik Polda Metro Jaya guna meminta keterangan terkait laporan yang dilayangkan Luhut. Namun, keduanya menolak untuk dibawa polisi tanpa didampingi pengacara. Mereka kemudian mendatangi Polda Metro Jaya pada 19 Januari 2022.

Kendatipun harus berhdapan dengan kasus hukum, Haris dan Fatia tetap berpegang pada keyakinannya bahwa apa yang disampaiakan dalam video tersebut adalah sebuah kebenaran.

Bahkan dalam konferensi persnya pada Sabtu (19/3/2023), Haris dengan tegas mengatakan bahwa penderitaan orang-orang di Papua tidak akan hangus di dalam penjara, mereka akan terus berteriak meminta pertolongan.

Penderitaan orang Papua, terutama di Intan Jaya, dia akan terus menjerit untuk mencari pertolongan,” tegas Haris saat itu.

Haris rupanya tidak peduli meskipun dirinya harus menjadi tersangka dan masuk jeruji tahanan, sebab bagi Haris, menjadi tersangka merupakan sebuah kehormatan.

Ia juga beranggapan bahwa penjara merupakan fasilitas yang disesiakan negara naginya karena sudah mengungkap kebenaran.

“Saya anggap itu sebagai sebuah hormatan buat saya, atau saya anggap sebagai fasilitas negara yang diberikan kepada saya ketika kita membicarakan atau membantu mengungkap sebuah fakta,” tandasnya.

Pada Senin (3/4/2023) PN Jakarta Timur menggelar sidang perdana dengan terdakwa Haris dan Fatia. Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menganggap Haris dan Fatia melakukan penghinaan terhadap Luhut Pandjaitan.

Editor: Andy Tandang
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS