PARBOABOA, Jakarta - Tradisi kontroversial kawin tangkap atau kawin paksa kembali terjadi di Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kebetulan, aksi para pria menangkap seorang perempuan berinisial DM (20) yang menjadi korban kawin tangkap ini terekam kamera dan viral di media sosial Kamis (7/9/2023).
Kejadian bermula saat korban tengah berdiri di depan sebuah rumah warga. Tak lama kemudian, dua pria menangkap korban dari belakang.
Mereka segera menaikkan korban ke atas mobil pikap yang telah siap dan membawanya pergi.
Suara teriakan korban sontak mengejutkan warga sekitar. Seorang perempuan tampak berupaya menghalangi pelaku namun gagal.
Para pelaku terdengar tertawa puas sambil membawa pergi korban menggunakan mobil.
Setelah video itu viral, tak butuh waktu lama, polisi yang mendapatkan laporan aksi ini segera bertindak dan berhasil menangkap pelaku.
Dari 20 pelaku yang terlibat, empat di antaranya telah ditetapkan menjadi tersangka yakni BT (45), HT (25), VS (25), dan MN (50).
Atas perbuatannya, para pelaku dijerat dengan Pasal 328 KUHP sub Pasal 333 KUHP Junto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 10 Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Sayangnya, kasus ini makin pelik karena ada dugaan keterlibatan pihak keluarga DM yakni sang ibu.
Diketahui ibu DM merupakan tulang punggung keluarga dengan sebagai pedagang di pasar di Sumba Barat Daya. Sedangkan sang ayah telah lama menjadi buruh migran di kebun kelapa sawit di Malaysia.
Korban bahkan telah meminta polisi tak melanjutkan proses hukum terhadap empat tersangka.
Reaksi Komnas Perempuan
Menanggapi insiden kawin tangkap, Komnas Perempuan menyesalkan terjadinya kembali tindak kawin tangkap.
Menurut Komnas Perempuan, tindakan ini jelas merampas hak perempuan untuk menikah secara sukarela.
Padahal itu merupakan syarat sah perkawinan menurut UU perkawinan. Kawin tangkap juga bertentangan dengan tujuan perkawinan yaitu mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan.
Berdasarkan aturan tersebut, tindak kawin tangkap telah melanggar hak konstitusional warga untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Dalam keterangan tertulisnya, Komnas Perempuan juga mengapresiasi langkah tanggap dan kerjasama Kepolisian, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta kelompok masyarakat sipil yang berupaya menghentikan tindak kawin tangkap.
Komnas Perempuan mengapresiasi langkah kepolisian untuk memproses hukum peristiwa tersebut dengan menggunakan laporan model A.
Kini korban diharapkan dapat mengakses sejumlah layanan yang menjadi haknya, termasuk atas pelindungan, pendampingan dan pemulihan.
Menurut Komnas Perempuan, layanan pemulihan penting mengingat dampak psikis yang dihadapi korban.
Komnas Perempuan mendesak semua pihak berperan mencegah tindak pidana kekerasan seksual khususnya kawin tangkap kembali terulang.