PARBOABOA, Jakarta - Kontroversi Revisi UU TNI dan UU Polri menjadi diskusi publik yang hangat belakangan.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menyatakan penolakannya terhadap revisi. Mereka khawatir, dua Lembaga tersebut akan menjadi super power seperti masa Orde Baru.
YLBHI, PBHI, Imparsial, ELSAM, Public Virtue, Centra Initiative dan KontraS merupakan koalisi masyarakat sipil yang getol meminta revisi dibatalkan.
Soal revisi UU TNI, misalnya. Dalam keterangan tertulis kepada Parboaboa belum lama ini, mereka menyatakan, rencana tersebut harus dievaluasi.
Kalau dipaksakan, alih-alih mendorong profesionalisme TNI, yang terjadi justru sebaliknya, yaitu kemunduran reformasi. "Sejumlah usulan perubahan memundurkan Kembali agenda reformasi TNI," tegas mereka.
Beberapa yang paling mengganjal, koalisi sebutkan, antara lain penambahan fungsi TNI sebagai alat keamanan negara, pencabutan kewenangan presiden mengatur TNI dan penambahan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Selain itu, yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah RUU a quo memberikan ruang bagi TNI untuk menduduki jabatan sipil. Menurut Koalisi, ketentuan ini membuka ruang kembalinya Dwi Fungsi ABRI.
Sejumlah ketidakberesan inilah yang menyatukan mereka menolak revisi UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI.
Begitupun dengan revisi UU Polri. KontraS menilai, belum ada kegentingan memaksa untuk merevisi UU No. 2 Tahun 2002 Tentang kepolisian.
Paling tidak, ada 4 poin yang disorot KontraS. Pertama, pengawasan ruang siber melalui pemblokiran internet rentan disalahgunakan.
Hal ini tegas mereka terkonfirmasi dari kejadian di Papua tahun 2021 lalu - pemblokiran internet secara massif dilakukan secara sewenang-wenang.
Tak hanya itu, ketentuan adanya pembinaan terhadap ruang siber berpotensi untuk menjustifikasi masyarakat yang bersuara kritis, seperti aktivis, jurnalis, pembela HAM dan lain-lainnya.
"Seperti yang dialami oleh Jurnalis Narasi," kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya dalam keterangan tertulisnya kepada Parboaboa.
Di sisi lain, kewenangan penggalangan intelijen yang diberikan kepada polisi menciptakan tumpang tindih tugas karena mengambil kewenangan Badan Intelijen Negara (BIN).
Dimas menegaskan, kondisi seperti ini menimbulkan kekaburan karena memberi kewenangan yang sama kepada dua lembaga sekaligus.
Sementara itu, adanya usulan perpanjangan usia pensiun anggota polisi dari yang semula 58 tahun menjadi 60 tahun justru berpengaruh pada proses regenerasi internal kepolisian.
Menurut Dimas, jika Langkah tersebut diambil untuk menyelesaikan masalah penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah, caranya bukan dengan revisi UU tetapi mengevaluasi secara menyeluruh proses rekrutmen.
Revisi mengacu pada konstitusi
Dalam keterangan terpisah, Pengamat Politik dan Militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting menegaskan, UU TNI, Polri, dan bahkan UU Pertahanan Negara dan Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara mesti direvisi.
Ia menegaskan, revisi tersebut tidak asal dilakukan tetapi mengacu pada UUD 1945, terutama mengenai pertahanan keamanan negara (hankamneg), seperti disebutkan pada Pasal 30 Ayat (2) dan Pasal 27 Ayat (3) UUD 1945.
Lebih-lebih pasal tersebut di atas terang dia memuat dua norma yang harus menjadi pedoman bagi TNI, Polri, serta Kementerian Pertahanan.
Pertama, usaha hankamneg dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata), dan kedua, dilaksanakan oleh satu kekuatan utama yang terdiri atas TNI dan Kepolisian Negara RI.
Ia menegaskan, berdasarkan nomenklatur yang digunakan dalam UUD 1945, TNI dan Polri merupakan kekuatan utama, sementara rakyat sebagai kekuatan pendukung usaha hankamneg.
"Oleh karena itu tidak ada pencampuran antara kekuatan utama dan kekuatan pendukung," kata Slamet Ginting dalam keterangan tertulisnya kepada Parboaboa.
Karena TNI-Polri merupakan kekuatan Utama pertahanan-keamanan, maka demikian tegas dosen tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu, TNI-polri harus tetap berada dalam satu wadah Kementerian Pertahanan dan Keamanan (Hankam).
Dalam rangka itulah kata Slamet Ginting UU TNI dan Polisi harus direvisi. Apalagi Presiden Sukarno, pada 1962 tegasnya menyadari bahwa urusan pertahanan dan keamanan harus berada dalam satu kesatuan wadah.
Implementasinya diwujudkan dengan membentuk Kementerian Hankam hingga akhir kekuasaannya, dan dilanjutkan Presiden Soeharto dalam departemen Hankam.
Berdasarkan sejarah dan konstitusi UUD 1945, maka , "militer dan polisi Indonesia mesti berada dalam satu wadah dalam sistem hankamrata."
Karena itu, tidak bisa Indonesia meniru militer dan polisi di negara liberalis, sosialis dan komunis.
Ia melanjutkan, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, cikal bakal polisi Indonesia berawal dari polisi Istimewa yang kemudian berganti nama menjadi mobil brigade. Istilah ini lalu di-Indonesia-kan menjadi brigade mobil sebagai para militer.
Dengan demikian, Korps Brimob idealnya masuk dalam Kementerian Hankam, bukan di bawah Kementerian (Dalam) Negeri) atau Kementerian Hukum dan HAM, maupun Kejaksaan Agung.
Sedangkan polisi umum atau konvensional, kata Slamet Ginting, bisa dimasukkan dalam Kementerian (Keamanan) Dalam Negeri atau Kementerian Hukum dan HAM maupun Kejaksaan Agung .
"Sama-sama memiliki kewenangan sebagai penyelidik dan penyidik. Mengingat fungsinya juga terkait dengan penegakan hukum," Pungkas Slamet Ginting.
Ia menambahkan bukan seperti UU TNI dan UU Polri bahwa TNI hanya mengurusi masalah pertahanan, sedangkan Polri mengurusi masalah keamanan. Menurut dia, itu jelas-jelas keliru dan harus dikembalikan kepada roh konstitusi UUD 1945.
Saat ini kata dia, ada ancaman keamanan dari dalam dan dari luar negeri, termasuk ancaman serangan siber terhadap pertahanan dan keamanan negara.
"Ancaman pertahanan keamanan negara mesti ditangani bersama oleh TNI dan Polri," tegas Slamet Ginting.
Ia juga menegaskan dalam konstitusi disebutkan, setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya bela negara sebagai bentuk sikap dan tindakan menjaga kedaulatan NKRI dari berbagai ancaman.
Apalagi membela negara merupakan hak sekaligus kewajiban bagi setiap warga negara. Pernyataan itu tertuang dalam pasal 27 ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi, "setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam Upaya pembelaan negara."
Adapun terkait penyebutan bahwa ada tiga komponen yang terlibat dalam Upaya bela negara, menurutnya keliru. Dalam UU itu disebutkan komponen utama dalam bela negara adalah TNI. Sementara Polri sebagai komponen pendukung bersama warga terlatih, tenaga ahli, dan warga lain unsur warga negara, yaitu sarana dan prasarana.
“Itu jelas keliru dan bertentangan dengan UUD 1945. Polri bersama TNI sebagai kekuatan utama Sishankamrata. Jadi UU No.23 Tahun 2019 itu mesti direvisi total, karena bertentangan dengan UUD 1945," ujar Slamet Ginting.
Lantas ia berharap sekali, pemerintah harus mengacu kepada UUD 1945 soal bela negara, sehingga tidak perlu harus membuat komponen cadangan (komcad), tetapi harus ditingkatkan menjadi wajib militer (wamil) bela negara.
“Bela negara itu wajib," katanya sambil menegaskan agar tidak boleh ragu kalau telah memenuhi syarat.
Ia berpesan, tidak usah takut dengan tudingan sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Sebab, bela negara, kata Slamet Ginting merupakan perintah konstitusi.
Di Asia sendiri ada sekitar 20 negara yang memberlakukan wajib militer. Untuk lingkungan Asia Tenggara ada Singapura, Thailand, Myanmar, Timor Leste. Negara Asia lainnya, seperti: Uzbekistan, Kazakhstan Korea Selatan, Korea Utara, Taiwan, Bhutan, Iran, Israel, Lebanon, Suriah, Yaman, Pakistan dan Turkmenistan.
Slamet Ginting menyampaikan, umumnya bela negara diberlakukan kepada warga negara yang telah berusia 18 tahun ke atas atau lulus setingkat sekolah menengah atas dan dilakukan selama 1-3 tahun.
Indonesia bisa menerapkan itu mengingat situasi geopolitik global yang sedang tidak baik-baik saja.
Ia mengingatkan, jangan menunggu di invasi negara lain baru membuat aturan wajib militer.