PARBOABOA, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan banding atas keputusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terkait kasus gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang menjerat Rafael Alun Trisambodo.
Langkah ini diambil lembaga anti rasuah itu pada Jumat (12/1/2024), setelah Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 14 tahun penjara kepada Rafael Alun.
Ali Fikri, Kepala Bagian Pemberitaan KPK, mengungkapkan bahwa keputusan banding ini didasarkan pada analisis Tim Jaksa KPK terhadap pertimbangan majelis hakim.
Menurut Ali, ada beberapa fakta hukum, terutama terkait aset hasil korupsi, yang belum sepenuhnya dipertimbangkan oleh hakim.
KPK berupaya memaksimalkan pemulihan aset hasil korupsi untuk dikembalikan ke negara.
Sebelumnya, pada Senin (8/1/2024), Rafael Alun, mantan pejabat Ditjen Pajak, dinyatakan bersalah atas korupsi dan TPPU oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.
Ia dinyatakan telah melanggar Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP dan Pasal 3 ayat 1a dan c UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP serta Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Dalam sidang putusan, ia divonis 14 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp500 juta dan uang pengganti sebesar Rp10 miliar.
Edi Hardum, pengamat hukum, menilai bahwa langkah KPK mengajukan banding adalah hak mereka, terutama jika vonis hakim tidak sesuai dengan tuntutan jaksa.
“Secara hukum benar karena itu haknya dia, kalau tidak sesuai dengan tuntutan dia bisa melakukan banding. Dalam ketentuan KUHP, jaksa itu bisa banding kalau tidak sesuai dengan tuntutannya,” jelas Edi kepada PARBOABOA, Sabtu (13/1/2024).
Menurutnya, meskipun vonis dan tuntutan hampir sama, jaksa memiliki hak untuk banding, terutama terkait dengan perampasan aset.
“Kalau kita baca tuntutannya kan tuntutannya sama ya, 14 tahun. Hanya mungkin, berbeda dengan tuntutannya ya yakni bagian perampasan aset,” ungkapnya.
Edi juga menekankan perlunya koruptor untuk dimiskinkan dan aset-asetnya diambil, karena telah merugikan negara.
Vonis Terhadap Rafael Terlalu Ringan
Edi mengkritik, vonis yang dijatuhkan kepada Rafael terlalu ringan jika dibandingkan dengan dakwaan yang dihadapinya.
“Karena ini kejahatan korupsi yang liat biasa ini gratifikasi, apalagi di junto kan dengan UU pencucian uang, itu jaksa menuntutnya terlalu rendah itu,” imbuhnya.
Menurutnya, dakwaan terhadap Rafael yang bisa berujung pada hukuman maksimal 20 tahun penjara bahkan hukuman mati, tuntutan jaksa seharusnya lebih tinggi dari 14 tahun.
“Kemarin itu seharusnya di tuntut 20 tahun penjara ya, mungkin hakim bisa memvonisnya di bawah itu mungkin bisa 15 atau 18 tahun hukuman,” ujar Edi.
Ia menekankan bahwa kejahatan korupsi, terutama yang berkaitan dengan pajak, sangat merugikan ekonomi negara dan harus ditangani dengan tegas.
“Karena kejahatan orang-orang pajak ini sudah terlalu lama dan sudah yang kesekian. Kenapa sampai jaksa masih memberikan tuntutan ringan dan hakim vonis juga mengikuti tuntutan jaksa,” tegasnya.
Menurutnya, korupsi memiliki dampak yang tidak kalah besar karena bisa merusak masyarakat juga merugikan ekonomi negara.
Editor: Atikah Nurul Ummah