Kabar dari Sekolah Jurnalisme Parboaboa: Menjadi Jurnalis Otentik di Era AI

AI bukanlah musuh. (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

PARBOABOA, Pematangsiantar - Suasana kelas daring Selasa (27/5/2025) pagi itu terasa hidup. Meski hanya bertatap muka lewat layar, peserta Sekolah Jurnalisme Parboaboa tampak semangat menyimak materi bertajuk “Pemanfaatan Teknologi Informasi Termasuk AI (Artificial Intelligence) dalam Jurnalisme Kekinian”.

Jurnalis Kompas, Heru Margianto, hadir sebagai pemateri. Ia membawakan sesi ini dengan pertanyaan untuk membawa peserta berpikir: apakah AI akan menjadi ancaman atau peluang bagi jurnalis masa depan?

“Sekarang orang tidak lagi otomatis membuka Google, mereka langsung bertanya ke AI seperti ChatGPT. Lalu, bagaimana nasib media yang selama ini mengandalkan trafik dari pencarian?” ujar Heru, melempar pertanyaan berikutnya.

Menurutnya, perubahan perilaku ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan menyentuh langsung fondasi model bisnis media digital. Ketika pembaca tak lagi datang ke laman berita, peluang iklan dan monetisasi pun ikut menghilang.

Meski begitu, Heru menegaskan bahwa AI bukanlah musuh. Kecerdasan buatan bukan pengganti, melainkan teman yang bisa membantu jurnalis bekerja lebih cepat dan rapi—selama manusia tetap memegang kendali berpikir.

Baginya, tantangan terbesar bukanlah teknologinya, namun bagaimana jurnalis mampu menjaga nilai dan integritas di tengah banjir informasi serba instan. Teknologi mungkin mempercepat proses, tetapi kebenaran tetap memerlukan ketekunan.

Di tengah realitas bahwa teknologi dan kecerdasan buatan terus berkembang, Heru mengingatkan pentingnya kesiapan literasi digital bagi calon jurnalis. Tanpa bekal itu, mereka akan tertinggal dalam ekosistem media yang semakin digital.

Menurutnya, kemampuan memahami persoalan adalah inti dari kerja jurnalistik. Mustahil menulis atau melakukan reportase dengan baik jika seorang jurnalis tidak benar-benar memahami apa yang sedang dihadapi.

Literasi digital tersebut bukan sekadar kemampuan membaca, namun juga berpikir kritis terhadap informasi yang melimpah. Bagi Heru, ini menjadi syarat mutlak agar jurnalis mampu membaca persoalan secara jernih.

"Tanpa kemampuan literasi digital, calon jurnalis akan tertinggal, sulit bersaing, dan kurang relevan karena media modern mengandalkan teknologi untuk produksi dan distribusi berita," jelas Heru kepada Parboaboa, Selasa (27/5/2025).

Selain literasi digital, Heru juga menekankan pentingnya keterampilan analisis kritis, pemahaman etika jurnalistik, kemampuan bercerita yang kuat, serta adaptasi terhadap tren di media sosial.

Kendati teknologi AI mampu menulis, menyunting, bahkan menyampaikan berita, Heru menegaskan bahwa peran jurnalis tetap tak tergantikan. Kecerdasan buatan tak memiliki pengalaman manusiawi sebagai fondasi jurnalisme yang bermakna.

“Seperti empati, intuisi, dan kemampuan menangkap konteks sosial, politik, budaya untuk menghasilkan laporan yang komprehensif dan mendalam,” ungkapnya.

Dari materi yang disampaikannya, ia hendak mengingatkan ke para peserta saat kelak menjalani profesi sebagai jurnalis jangan menjadi pribadi yang artificial di era Artificial Intelligence.

Ia mendorong para calon jurnalis untuk mengembangkan jati diri yang otentik. Sebagai manusia yang dapat berpikir, merasakan dan memahami konteks.

"Teknologi adalah alat bantu. Kreativitas yang otentik akan membantu kita berkembang berdampingan bersama segala macam perkembangan teknologi," ujarnya.

kelas menyimak jurnalis

Peserta kelas antusias menyimak paparan jurnalis Kompas Heru Margianto. (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

Tak lupa, Heru juga mengingatkan para peserta perihal pentingnya membiasakan diri membaca. Menurutnya, tulisan yang baik selalu tumbuh dari kebiasaan tersebut. Semakin banyak membaca, akan terasah kepekaan dalam merangkai kata.

Bijak Menggunakan AI

Amelia Wulandari Pardede (22), peserta lulusan STIE Sultan Agung Pematangsiantar, menyadari bahwa menjadi jurnalis di era digital menuntut kemampuan memanfaatkan kecerdasan buatan secara bijak. Teknologi ini sebaiknya diposisikan sebagai alat bantu atau pendamping akal sehat, bukan pengganti nalar kritis manusia.

Amelia menjadi paham bahwa kecerdasan buatan dapat mempercepat proses riset, membantu penyuntingan naskah, hingga menyajikan referensi yang relevan. Namun tanggung jawab utama dalam menulis tetap berada di tangan jurnalis sebagai subjek yang berpikir.

"Ternyata, bijak menggunakan AI itu penting. Bukan hanya di dunia jurnalistik, tapi juga di berbagai aspek kehidupan. AI adalah peluang, bukan ancaman. Ia bisa meringankan beban kerja, bukan mengambil alih peran manusia," ungkapnya pada Parboaboa, Selasa (27/5/2025).

Senada dengan peserta lainnya, Alberto Nainggolan (22), mahasiswa Universitas HKBP Nomensen Pematangsiantar, mengaku wawasannya bertambah dalam penggunaan AI. Ulasan yang disampaikan Heru membuatnya mengerti bagaimana kecerdasan buatan dapat digunakan sebagai pendamping.

Ia juga teringat saat pemateri membahas perbedaan tulisan yang dihasilkan AI dengan manusia. Dijelaskan bahwa setiap penulis memiliki gaya khas yang membentuk sidik jari unik dalam tulisannya, membedakannya dari mesin.

"Meski AI bisa digunakan sebagai alat bantu, saya harusnya tetap menyimpan ciri pribadi. Ciri khas menulis sebagai manusia yang memiliki rasa dan intuisi, sebagai hal yang tak boleh hilang," ungkapnya pada Parboaboa, Selasa (27/5/2025).

Begitu pula dengan Novriani Tambunan (25), lulusan FISIP USU, ia mengatakan sudut pandangnya perihal AI mulai berubah. Awalnya, ia menganggap teknologi ini sebagai ancaman.

"Rupanya, teknologi bukan pengganti, tapi pendamping akal sehat. Kita bisa pakai AI untuk membantu, tapi wartawanlah yang menentukan arah dan isi tulisan," ujarnya pada Parboaboa, Selasa (27/5/2025).

Ia menjadi paham bahwa teknologi AI mampu membantu riset, penyuntingan, hingga visualisasi data. Namun ciri khas manusia, seperti intuisi dan empati, tak bisa digantikan sistem yang hanya mengandalkan algoritma.

"Saya juga jadi memahami kalau jurnalis masa kini harus serba bisa. Kemampuan mengolah data, membuat visual menarik, hingga memahami SEO menjadi bagian penting dalam menjangkau publik secara lebih luas" ungkapnya.

Dengan wawasan barunya, Novriani mengaku akan untuk terus belajar, mengembangkan keterampilan multimedia, dan tetap memegang teguh kode etik jurnalistik.

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS