Mobil Bak Terbuka Jadi Satu-satunya Angkutan Warga dan Penggerak Aktivitas Dusun Bornoh, Simalungun

Mobil bak terbuka jadi satu-satunya angkutan warga dan penggerak aktivitas Dusun Bornoh . (Foto: PARBOABOA/Patrick Damanik))

PARBOABOA, Simalungun – Setelah berkenalan dengan kondisi geografis, akses jalan dan tradisi, kali ini PARBOABOA mengajak pembaca melihat lebih dekat aktivitas perekonomian masyarakat di Dusun Bornoh.

Saat itu akhir pekan, kala PARBOABOA menyambangi Dusun Bornoh.

Terlihat warga dusun, terutama ibu-ibu sudah mulai bersiap. Ada dari mereka yang berpakaian rapi dan berdandan. Ada pula yang hanya berpakaian seadanya. Bahkan dari mereka terlihat membawa serta anak-anak.

Akhir pekan menjadi waktu bagi kaum perempuan Dusun Bornoh untuk keluar dusun, baik sekadar jalan-jalan atau berbelanja kebutuhan di pasar yang terletak di ibu kota Kecamatan Raya.

Kaum perempuan warga Dusun Bornoh ini biasanya menggunakan kendaraan bak terbuka atau pick up milik salah seorang warga. Pick up jenis Hiline ini yang menjadi alat transportasi utama warga dari dan ke Dusun Bornoh.

Bagi warga yang hendak keluar dusun, mereka biasanya berkumpul di depan rumah pemilik pick up, karena keberangkatan dilakukan setiap pukul 08.00 WIB.

Warga juga merasakan kebersamaan lewat percakapan sepanjang jalan dari dusun hingga ke ibu kota kecamatan. Kebiasaan ini mereka lakukan setiap Sabtu.

“Biasanya berangkat itu setiap pagi minimal jam 8 pagi sudah berangkat dan hanya di hari Sabtu. Apalagi anak-anak sudah mulai masuk sekolah. Pasti hari ini (Sabtu pekan lalu) ramai yang mau berangkat,” tutur salah seorang warga Dusun Bornoh, Nurpina Damanik.

Biaya transportasi yang dibebankan pemilik pick up sebesar Rp50 ribu per orang, untuk pulang dan pergi.

“Belum lagi kalau ada barang, bayar lagi Rp10 ribu per karungnya,” jelas Nurpina.

Berdesak-desakan di bak mobil sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka yang ingin pergi ke kota.

Kadang warga terpaksa duduk di atas tumpukan barang karena tidak ada lagi tempat yang bisa digunakan untuk sekadar duduk atau bersandar.

“Kalau lagi ramai yang mau berangkat, biasanya ada kami yang duduk di atas tumpukan barang. Karena setengah dari bak pick up itu sudah diisi titipan barang dan sisanya diduduki penumpang seperti kami lah,” tutur Nurpina.

Selain menjadi angkutan orang, pick up juga menjadi angkutan hasil pertanian masyarakat untuk dijual kembali ke pasar di ibu kota kecamatan.

Mobil bak terbuka menjadi satu-satunya angkutan warga di Dusun Bornoh. (Foto: PARBOABOA/Patrick Damanik) 

Hasil pertanian warga Dusun Bornoh yang dititipkan ke pemilik pick up untuk dijual ke ibu kota kecamatan yaitu cabai, kemiri, jengkol atau petai.

Biasanya warga mengumpulkan hasil pertanian mereka sejak Jumat, dan pagi Sabtu dibawa ke ibu kota Kecamatan Raya.

Belanja Sehari-hari Lewat Pedagang Keliling

Sementara untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, masyarakat, terutama kaum perempuan lebih memilih membeli lewat pedagang keliling, atau yang biasa disebut warga dusun dengan paralong-along.

Paralong-along ini datang ke dusun menggunakan sepeda motor dengan keranjang berisi bahan makanan. Sebagian besar berisi bahan pangan berprotein seperti daging, ikan dan ayam. Termasuk tempe dan tahu.

Biasanya Paralong-along ini ngetem di satu lokasi di dusun dan menunggu pelanggan untuk membeli.

Sebagian besar pelanggannya adalah ibu-ibu yang tidak bisa berbelanja ke luar dusun karena keterbasan transportasi dan buruknya akses jalan.

Membeli lewat pedagang keliling ini pun hanya untuk mencukupi keperluan memasak warga, karena warga biasanya mengandalkan hasil pertanian sendiri seperti sayur mayur dan buah dari ladang mereka.

Warga membeli bahan makanan seperti ikan dan daging dari pedagang keliling. (Foto: PARBOABOA/Patrick Damanik) 

Menurut salah seorang warga, Ruth Dayanti Lubis, keperluan bahan makanan yang biasa ia beli dari pedagang keliling seperti ikan atau daging. Sementara kebutuhan sayur mayur, ia cukupi dari hasil pertaniannya di rumah.

“Biasanya untuk lauk kami menunggu paralong-along. Kalau mengharapkan hasil perangkap dari hutan, tidak pasti. Tapi kalau seandainya ada dapat babi hutan masuk perangkap di ladang, jadi seminggu itu kami makan daging babi lah terus,” ungkapnya.

Perbedaan harga yang dijual oleh paralong-along ini pun hanya sedikit. Oleh karena itulah, warga yang tidak sempat ke pasar besar di ibu kota kecamatan setiap Sabtu, memilih berbelanja di paralong-along.

“Paling hanya selisih Rp2000 saja dengan pedagang keliling, mempertimbangkan ongkos kami ke kota, lebih baik beli lauk dari pedagang keliling,” ucap Ruth.

Sakit Hari ini, Berobat Besok Hari

Keterbatasan akses di Dusun Bornoh tak hanya berlaku untuk aktivitas perekonomian tapi juga menyangkut kesehatan warga setempat. Belum adanya puskesmas pembantu (pustu) di DusunBornoh membuat warga yang sakit tepaksa menunggu satu hari untuk pergi berobat.

Puskesmas terdekat hanya ada di Dusun Bah Pasunsang, ibu kota Desa Siporkas yang jaraknya lebih kurang 5 kilometer dari Dusun Bornoh.

“Kalau ada dari kami yang sakit pada malam hari dan harus diberi pertolongan, selama masih bisabertahan, maka kami tahankan di sini. Obatnya kami racik dulu dari ramuan untuk mengatasi sakitnya,” ungkap Nurpina Damanik.

Selain karena jaraknya yang cukup jauh, kesulitan warga Dusun Bornoh lain saat hendak berobat yaitu jadwal buka-tutup puskesmas yang sangat singkat. Bahkan di puskesmas terdekat saja, pusat layanan kesehatan itu hanya buka hingga tengah hari.

Dengan kondisi seperti itu, masyarakat akhirnya mensiasati dengan pergi ke pusat ibu kotakecamatan atau mengunjungi rumah salah seorang petugas puskesmas di dusun terdekat.

“Kalau sakit sudah lewat jam 2 siang, lebih baik kami antarkan ke Desa Durian Baggal, Kecamatan Raya Kahean atau kami antarkan ke pusat kota di Raya atau mau tidak mau harus menunggu hingga besok pagi,” tutur Nurpina. (bersambung…)

Laporan ini merupakan bagian ketiga dari liputan khusus ‘Menilik Dusun Terpencil “Bornoh” di Simalungun’

Reporter: Patrick Damanik

Editor: Kurnia
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS