PARBOABOA, Pematangsiantar - Pematangsiantar saat ini dikenal sebagai kota dengan kualitas air terbaik Se-Provinsi Sumatra Utara (Sumut).
Bahkan, untuk seluruh Kepulauan Sumatra, kualitas air di daerah tersebut menempati posisi kedua terbaik setelah Kota Palembang.
Namun demikian, ada ancaman nyata di depan mata seiring dengan pembangunan kota yang kian pesat.
Glorifikasi pembangunan ini berpotensi mengurangi ketersediaan lahan hijau sebagai pemasok kestabilan air.
PDAM Tirtauli, penanggung jawab ketersediaan air di Pematangsiantar mengingatkan pentingnya keberadaan lahan hijau.
Kata mereka, pembangunan harus seimbang karena perubahan tata guna lahan bisa mengurangi kuantitas dan kualitas air di masa depan.
Apalagi, selama ini pasokan air bagi masyarakat lebih banyak bergantung pada kondisi alam. Karenanya, konservasi lahan hijau harus jadi agenda prioritas pembangunan.
"Konservasi lahan hijau sangat penting untuk keseimbangan pasokan air," kata Humas PDAM Tirtauli, Jimmy Simatupang kepada Parboaboa, Rabu (19/6/2024).
Pengamat Tata Ruang, Marulam Simarmata juga mewanti-wanti pembangunan kota yang tidak memperhatikan keseimbangan alam.
Marualam menjelaskan, ketersediaan kualitas dan kuantitas air tergantung pada ketersediaan kawasan hijau.
Hal ini tidak boleh dianggap sepele. Karena, demikian ia menegaskan, dampaknya memang belum terasa saat ini tetapi di masa depan.
Terkait ketersediaan air di Pematangsiantar, Marualam menyampaikan sumbernya berada jauh dari kota, yaitu dari daerah Simalungun.
Itu artinya, selama lokasi sumber air di Simalungun tetap terjaga dengan baik, kualitas air di Pematangsiantar akan tetap terjaga.
"Kalau dikatakan Pematangsiantar airnya bagus, berterima kasihlah pada Simalungun," kata Marualam kepada Parboaboa, Kamis (20/6/2024).
Di kota sendiri memang ada sumur bor tetapi suplai airnya tidak sebanyak dengan sumber mata air dari Simalungun.
Karena itu, Marualam meminta PDAM Tirtauli supaya ke depan mempertimbangkan metode memanen air hujan dan mengedukasi masyarakat untuk menerapkannya secara luas.
Ini penting agar suplai air tetap terjamin.
"Takutnya, ke depan nanti, jika suatu saat sumber mata air dari Simalungun bermasalah dan tidak bisa memberi suplai ke Pematangsiantar, kebutuhan air akan tidak mencukupi," pungkas Marualam.
Perluasan RTH
Agar kuantitas dan kualitas air di Pematangsintar tetap terjaga, Marualam mengusulkan perluasan pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Ia mengatakan, semakin banyak RTH maka semakin banyak pula tanaman yang bisa menyerap air hujan sehingga meningkatkan infiltrasi.
Namun sayangnya kata dia, Pemko Pematangsiantar tidak punya keseriusan untuk menata dan memperluas RTH.
"Padahal, RTH itu secara esensial itu memiliki sifat ekologis," pungkas dia.
Alih-alih memperhatikan RTH, pembangunan gedung-gedung di Pematangsiantar, tambahnya, justru tidak berdasarkan prinsip ramah lingkungan.
"Pembangunan tanpa penghijauan akan sulit membuat air terserap atau infiltrasi. Kalau benton semua, air tidak bisa diserap," jelasnya.
Ia menyarankan untuk menjaga keseimbangan pembangunan dan konservasi lingkungan, masyarakat harus terlibat aktif.
Sementara itu, dari sisi pemerintah, Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) harus jelas, transparan dan setiap kebijakan harus dipublikasikan secara luas.
"Siantar ini aneh menurut saya, masyarakatnya hanya menjadi penonton. Pemkot jarang melibatkan masyarakat dalam menjalankan kebijakan," kata Marulam.
Kepala Bidang Tata Ruang dan Bangunan Dinas PUTR, Henry John Musa Silalahi mengatakan, dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) salah satu fokus yang tengah dipersiapkan pemerintah adalah mewujudkan Pematangsiantar sebagai kota hijau, nyaman untuk bisnis, tempat tinggal, wisata dan belajar.
Dan, dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) tegas dia, masalah ketersedian air bersih akan diprioritaskan selain masalah sampah dan genangan air.
Juga,"Kemacetan, jalan tol, Kawasan strategis Pariwisata Danau Toba yang menjadi isu-isu strategis di kota Pematangsiantar," kata Musa kepada parboaboa.
Ia mengatakan, proyeksi kebutuhan air di Pematangsiantar pada tahun 2022 sebesar 1.534.303,77 m3/hari. Kemudian meningkat setiap tahunnya menjadi 18.364.531,8 m3/tahun di tahun 2023.
Untuk mengantisipasi kebutuhan air yang semakin meningkat ke depannya, pihaknya akan melakukan pengendalian dalam pemanfaatan ruang khususnya perlindungan terhadap badan air dan pemenuhan RTH.
Selain itu, juga akan fokus kepada arahan pemanfaatan ruang yang telah disusun dalam peraturan kepala daerah tentang RDTR Kota Pematang Siantar.
Musa menjabarkan, langkah konkret yang dilakukan Dinas PUTR Kota Pematangsiantar sesuai tupoksi, yaitu:
Pertama, dalam memberikan keterangan rencana kota kepada masyarakat yang memohon dokumen persetujuan bangunan gedung, selalu menegaskan adanya koefisien dasar hijau yang harus dipenuhi oleh masyarakat dan wiraswasta ketika membangun rumah ataupun usaha serta wajib menyediakan RTH.
Kedua, setiap rekomendasi persetujuan bangunan Gedung yang berada di kawasan DAS (Daerah Aliran Sungai) diwajibkan membangun rumahnya menghadap sungai, tidak lagi membelakangi sungai.
Ketiga, tahun 2024 telah dibentuk tim pengawasan pengendalian dan pemanfaatan ruang yang berasal dari berbagai unsur perangkat daerah. Ini akan bekerja berdasarkan dokumen RDTR yang akan segera disahkan melalui Perwa (Peraturan Walikota).
Musa sendiri mengakui, tantangan terbesar yang dihadapi Pemkot Pematangsiantar adalah minimnya RTH yang disebabkan maraknya pembangunan rumah atau gedung tanpa mengurus persetujuan, serta banyaknya alih fungsi lahan.
Strategi yang akan dilakukan pihaknya setelah Perwa tentang RDTR keluar adalah mewajibkan masyarakat dan investor menyediakan alokasi lahan sebagai ruang terbuka hijau sebesar 20% dari luasan lahan yang mereka miliki.
Kemudian, Pemkot mengalokasikan anggaran pembelian lahan untuk dijadikan RTH yang dapat dimanfaatkan.
Terakhir, melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan ruang yang ada melalui tim pengawasan dan pengendalian tata ruang yang telah dibentuk.
Editor: Gregorius Agung