Penanganan Stunting di Indonesia Lancar, Yakin Penuhi Target 14 Persen Tahun 2023

Stunting mempengaruhi pertumbuhan fisik anak seperti tinggi badan. (Foto: iStockphoto)

PARBOABOA, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy melaporkan penanganan masalah stunting di Indonesia pada tahun ini berjalan dengan hasil yang positif.

Pada pertemuan dengan Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin, pada Jumat (18/08/2023), Muhadjir mengungkapkan harapannya agar hasil survei mengenai stunting yang akan dilakukan pada bulan September ini dapat menunjukkan angka prevalensi di bawah 20 persen, bahkan mendekati target 14 persen yang telah ditetapkan oleh Presiden RI Joko Widodo.

Sebelumnya, pada awal tahun ini, Kementerian Kesehatan mengumumkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) dalam sebuah Rapat Kerja Nasional BKKBN. Laporan tersebut menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia telah menurun dari 24,4 persen pada tahun 2021 menjadi 21,6 persen pada tahun 2022.

Dari segi wilayah, penurunan angka stunting paling signifikan terjadi di provinsi-provinsi seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Banten.

Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan stunting?

Menurut definisi yang dirilis oleh WHO pada tahun 2015, stunting merujuk pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan kurangnya stimulasi psikososial yang memadai.

Penting untuk diingat bahwa tidak semua balita yang pendek mengalami stunting. Namun, anak-anak yang mengalami stunting tentu memiliki tinggi yang lebih rendah dari rata-rata.

Anak yang mengalami stunting akan mengalami kegagalan dalam pertumbuhan fisik (berat badan rendah, pendek, kurus), serta mengalami hambatan dalam perkembangan kognitif dan motorik.

Selain itu, anak-anak tersebut juga memiliki risiko mengalami gangguan metabolik ketika mereka dewasa. Ini termasuk risiko terkena penyakit tidak menular seperti diabetes, obesitas, stroke, penyakit jantung, dan lain-lain.

Berbagai faktor dapat menjadi penyebab seorang anak mengalami stunting. Beberapa di antaranya termasuk asupan kalori yang tidak memadai. Faktor-faktor ini dapat melibatkan:

Faktor sosio-ekonomi seperti kemiskinan:

- Kurangnya pendidikan dan pengetahuan mengenai praktik pemberian makan pada bayi dan balita (seperti pemberian ASI)
- Peranan protein hewani dalam makanan pendamping ASI (MPASI)
- Penelantaran anak
- Pengaruh budaya
- Ketersediaan makanan di lingkungan setempat

Selain asupan kalori yang tidak mencukupi, faktor lain yang dapat mempengaruhi stunting adalah kondisi individu bayi atau anak itu sendiri, seperti:

- Kelainan jantung bawaan
- Alergi terhadap susu sapi
- Kelahiran dengan berat badan sangat rendah
- Gangguan metabolisme bawaan
- Infeksi kronis yang disebabkan oleh kurangnya kebersihan personal dan lingkungan (seperti diare kronis) serta penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi (seperti tuberkulosis/TBC, difteri, pertusis, dan campak).

Lalu, bagaimana cara mencegah stunting?

- Tangani stunting sebelum usia 2 tahun

Perhatikan anak sebelum usia 2 tahun, atau yang masih dalam fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Masa ini adalah saat yang paling efektif untuk mengatasi masalah stunting.

- Berikan ASI dengan cukup dan pastikan teknik pemberian ASI yang benar

Jika berat badan anak di bawah 6 bulan tidak naik, pertumbuhannya harus ditingkatkan dengan meningkatkan frekuensi pemberian ASI.

- Berikan protein hewani dalam MPASI

Cara memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) yang benar dapat memengaruhi pertumbuhan bayi dan meningkatkan risiko stunting. MPASI yang diberikan seharusnya mengandung baik protein nabati maupun protein hewani.

- Imunisasi rutin

Anak harus mendapatkan seluruh rangkaian imunisasi sesuai jadwal untuk melindungi mereka dari berbagai penyakit berbahaya. Anak yang sering sakit lebih mudah terancam stunting karena energinya lebih banyak digunakan untuk proses pemulihan daripada untuk pertumbuhannya. 

Editor: Umaya khusniah
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS