Apa yang Harus Dilakukan Terhadap Eks Jamaah Islamiyah?

Jamaah islamiyah saat membubarkan diri di Bogor, Jawa Barat. (Foto: Kemenag.go.id)

PARBOABOA, Jakarta - Pada 30 Juni lalu, 16 tokoh senior Jamaah Islamiyah (JI) secara resmi mendeklarasikan pembubaran kelompok tersebut di sebuah hotel di Bogor, Jawa Barat. 

Momen ini kemudian direkam dalam sebuah video yang diunggah ke kanal YouTube Arrahmah_id 4 hari setelahnya, tepatnya pada 3 Juli 2024.

Deklarasi itu dipimpin oleh Abu Rusydan, mantan amir Jamaah Islamiyah, didampingi tokoh-tokoh lain seperti Zarkasih, Para Wijayanto, dan Abu Dujana. 

Melalui deklarasi, mereka menyatakan kesiapan untuk kembali ke pangkuan NKRI, mematuhi hukum yang berlaku, serta aktif dalam memajukan bangsa.

"Menyatakan pembubaran Al-Jamaah Al-Islamiyah dan kembali ke pangkuan NKRI," bunyi pernyataan deklarasi seperti terekam dalam video, disampaikan langsung oleh Abu Rusydan.

Sebagai bagian dari transformasi tersebut, ia menegaskan bahwa kurikulum dan materi ajar di pesantren yang terkait dengan JI akan dibebaskan dari unsur ekstremisme.

Nantinya, kurikulum baru akan berlandaskan pada nilai-nilai ahlussunnah wal jamaah, yang mengacu pada ajaran yang selaras dengan sunah Nabi Muhammad SAW.

Untuk memastikan perubahan ini berjalan sesuai rencana, sebuah tim pengkajian akan dibentuk guna meninjau dan menyusun kurikulum serta materi ajar yang lebih relevan. 

Selain itu, koordinasi lebih lanjut dengan negara, khususnya Densus 88 Antiteror Mabes Polri, kata dia, akan dilakukan untuk merealisasikan komitmen yang telah disepakati.

Abu Mahmudah, eks tokoh JI yang lain menjelaskan, keputusan pembubaran kelompok tersebut diambil berdasarkan kajian mendalam tanpa ada tekanan dari pihak manapun, termasuk Densus 88. 

Keputusan ini, menurutnya, bukan didasari oleh pertimbangan transaksional atau keuntungan duniawi, melainkan atas dasar ketulusan untuk mengakhiri sesuatu yang dianggap tidak memiliki arah yang jelas.

"Kecuali karena ketulusan ingin mengakhiri sesuatu yang tidak jelas pangkal ujung dan tujuannya," pungkas Abu Mahmudah.

Setelah pembubaran, dia menegaskan bahwa langkah berikutnya adalah kembali bergabung dengan komunitas besar umat Islam. Ia menyebut ini sebagai "sawadul a'dzam," merujuk pada mayoritas umat Muslim yang berpegang teguh pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.

Tak hanya itu, mereka juga dapat memilih bergabung dengan lembaga-lembaga yang sesuai dengan keahlian masing-masing atau mengambil peran sebagai pendakwah yang mendidik masyarakat untuk memajukan lingkungan mereka secara islami.

Ia berharap langkah ini dapat menghapus stigma yang selama ini melekat pada mereka, serta memberikan peluang untuk memulai lembaran baru sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas.

Apa yang Harus Dilakukan?

Keputusan JI untuk membubarkan diri tentu saja perlu diapresiasi. Namun, solusinya tidak sebatas itu. Pemerintah harus melakukan pendampingan khusus, sehingga upaya deradikalisasi berjalan lancar.

Pengamat terorisme Zaki Mubarak dari UIN Syarif Hidayatullah, menyoroti pentingnya pendekatan khusus ini. 

Ia merekomendasikan agar BNPT mengadopsi strategi yang pernah dilakukan pemerintah Mesir. 

Pada era 1990-an, ketika Jamaah Islamiyah di Mesir dibubarkan, tokoh-tokoh utamanya, seperti Syaikh Najih Ibrahim, dilibatkan untuk secara terbuka mengajak para anggotanya meninggalkan ideologi lama yang ekstrem.

Harus ada "special treatment terhadap para leaders JI itu dengan mencontohkan pemerintahan Mesir," kata Zaki.

Namun demikian, ia mengingatkan bahwa ancaman terorisme belum sepenuhnya hilang. Zaki menyebut masih ada potensi serangan dari kelompok-kelompok kecil pendukung ISIS. 

Sel-sel jihad ini, yang masih memegang ideologi ekstrem dan menganggap pemerintah sebagai musuh, kata dia berpotensi menimbulkan ancaman serius. 

Dengan demikian, tambahnya, upaya deradikalisasi harus diimbangi dengan langkah antisipasi terhadap potensi gerakan dari kelompok-kelompok tersebut.

Pengamat terorisme Noor Huda Ismail juga menilai, meskipun JI telah menyatakan pembubaran diri dan berikrar setia kepada NKRI, pemerintah masih memiliki tugas besar untuk membina dan mengawasi para mantan anggotanya. 

Secara organisasi, JI, kata dia, mungkin telah bubar, tetapi pemikiran radikal yang pernah dianut para anggotanya memerlukan pengawasan jangka panjang agar transformasi menuju ideologi yang moderat berjalan dengan baik.

Pada intinya, ia menekankan pentingnya pembinaan berkelanjutan untuk memastikan komitmen para mantan anggota JI tidak hanya sebatas deklarasi formal.

Tugas ini, lanjutnya, "menjadi tanggung jawab dan tugas semua pemangku kebijakan guna proaktif menindaklanjuti itikad baik mereka (JI) karena bersedia ikrar setia pada NKRI."

Ia mengingatkan bahwa tanpa tindak lanjut yang konkret, mantan anggota JI bisa merasa kecewa dan rentan kembali terpengaruh oleh kelompok lamanya. Karena itu, proses dialog dan diskusi rutin dianggap penting untuk memantapkan perubahan ideologi mereka menuju kecintaan pada NKRI.

Dalam pertemuannya dengan beberapa eks anggota JI, Noor menangkap optimisme atas perubahan sebagian dari mereka yang kini mulai mengadopsi pemahaman jihad yang lebih moderat dan relevan dengan konteks zaman.

Itulah sebabnya, kata dia, langkah strategis untuk mendukung mereka beradaptasi dalam masyarakat menjadi sangat penting.

Hal itu bisa dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat luas, untuk memastikan tidak kembalinya mereka ke pola lama dan benar-benar menjadi bagian penting dari pembangunan bangsa.

JI dan Jejak Teror Bom di Indonesia

Melansir buku NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia ditulis oleh Solahudin, JI di nusantara didirikan oleh 2 tokoh terkenal, yaitu Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir pada tahun 1993.

Dikenal sebagai bagian dari jaringan global Al Qaeda, Organisasi ini bertanggung jawab atas sejumlah aksi teror yang mengguncang Indonesia dan meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat.

Salah satu aksi awal JI terjadi pada malam Natal tahun 2000. Di bawah komando Encep Nurjaman alias Hambali, serangkaian bom diledakkan di gereja-gereja di 13 kota, termasuk Medan, Jakarta, Mojokerto, dan Mataram. 

Serangan serentak itu menewaskan 16 orang dan melukai 96 lainnya. Peristiwa ini menjadi salah satu tanda awal aktivitas besar kelompok JI di Indonesia.

Tragedi bom Bali pada 12 Oktober 2002 menjadi puncak aksi teror JI yang paling mematikan. Ledakan di depan Diskotek Sari Club, Diskotek Paddy’s, dan dekat Konsulat Amerika Serikat di Denpasar menewaskan 202 orang, mayoritas wisatawan asing, dan melukai ratusan lainnya. 

Para pelaku, termasuk Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron, dihukum mati, sementara Ali Imron dan beberapa lainnya dijatuhi hukuman seumur hidup. Otak di balik serangan ini, Arif Sunarso alias Zulkarnaen, baru berhasil ditangkap pada 2020 dan divonis 15 tahun penjara pada 2022.

Pada 5 Agustus 2003, JI kembali melancarkan serangan dengan bom yang meledak di Hotel JW Marriott, kawasan Mega Kuningan, Jakarta. 

Ledakan ini menewaskan 14 orang dan melukai 156 lainnya. Serangan tersebut menandai kelanjutan dari rangkaian teror JI, yang sebelumnya juga melakukan serangan di beberapa lokasi seperti bandara Soekarno-Hatta dan gedung DPR/MPR.

Tiga tahun kemudian, pada 1 Oktober 2005, bom Bali II kembali terjadi. Ledakan mengguncang RAJA’s Bar and Restaurant di Kuta serta Menega Cafe dan Nyoman Cafe di Jimbaran, menewaskan 23 orang, termasuk para pelaku, dan melukai ratusan lainnya. Peristiwa ini kembali melibatkan Noordin M. Top, salah satu tokoh utama JI yang berhasil meloloskan diri hingga 2009.

Pada 17 Juli 2009, serangan bom bunuh diri mengguncang dua hotel bintang lima di Jakarta, JW Marriott dan Ritz Carlton, menewaskan sembilan orang dan melukai 53 lainnya. Serangan ini didalangi oleh kelompok yang dipimpin Noordin M. Top, yang akhirnya tewas dalam operasi penangkapan di Solo, dua bulan setelah peristiwa tersebut.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS