PARBOABOA, Jakarta - Langkah besar menuju energi hijau kembali menjadi perhatian masyarakat.
PT Pertamina (Persero) memastikan dukungannya terhadap kebijakan pemerintah yang akan mewajibkan pencampuran 10 persen etanol ke dalam bahan bakar minyak (BBM) mulai tahun depan.
Kebijakan ini menjadi bagian dari strategi nasional untuk menekan emisi karbon sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak.
Direktur Utama PT Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, menegaskan komitmen perusahaan dalam mendukung arahan pemerintah terkait kebijakan mandatori pencampuran 10 persen etanol (E10) ke dalam BBM.
Pernyataan itu disampaikan Simon usai mengikuti rapat bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta Pusat, Jumat (17/10/2025).
“Kami akan selalu mendukung arahan dari pemerintah,” ujarnya.
Menurut Simon, penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar bukan hal baru di dunia. Ia mencontohkan Brasil yang telah lama menerapkan kebijakan serupa bahkan sampai pada level E100, atau bahan bakar yang seluruhnya terdiri dari etanol.
Di negara lain, seperti beberapa wilayah di Amerika Selatan dan Asia, pemerintah telah menetapkan penggunaan E20, yang berarti campuran 20 persen etanol ke dalam bensin.
“Kami tahu bahwa di beberapa negara sudah banyak yang menerapkan pencampuran etanol. Bahkan di Brazil, ada kota tertentu yang wajib E100, sementara di tempat lain masih E20,” jelasnya.
Simon menjelaskan bahwa penerapan E10 di Indonesia akan dilakukan secara bertahap. Pertamina kini tengah menyiapkan infrastruktur dan teknologi pendukung agar proses peralihan berlangsung mulus.
“Ini adalah bagian dari inisiatif kita untuk mendorong transisi energi dan menciptakan emisi yang lebih rendah, terutama dari produk-produk BBM kita,” kata Simon.
Menurutnya, keberhasilan program ini akan menjadi tonggak penting dalam memperkuat ketahanan energi nasional, sembari mendukung target penurunan emisi gas rumah kaca yang menjadi komitmen Indonesia dalam agenda Net Zero Emission 2060.
Kebijakan pencampuran etanol ini sebelumnya telah disetujui langsung oleh Presiden Prabowo Subianto, seperti disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, Selasa (7/10/2025).
“Bapak Presiden sudah menyetujui untuk direncanakan mandatori 10 persen etanol (E10),” ujar Bahlil di Jakarta, dikutip dari Antara.
Langkah ini dinilai strategis untuk mengurangi emisi karbon serta menekan ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM, yang selama ini menjadi salah satu penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan energi nasional.
Pemerintah berharap, dengan implementasi E10, Indonesia tidak hanya menekan impor tetapi juga mendorong tumbuhnya industri bioetanol berbasis bahan baku lokal seperti tebu dan singkong.
Efek Etanol pada Kinerja Mesin dan Lingkungan
Wacana penggunaan etanol dalam BBM kerap menimbulkan perdebatan di kalangan pengguna kendaraan.
Sebagian pihak khawatir bahwa campuran etanol dapat membuat konsumsi BBM lebih boros atau bahkan menimbulkan gangguan pada mesin.
Namun, hasil berbagai penelitian menunjukkan efek yang kompleks—ada sisi negatif dan positif yang perlu dipahami secara seimbang.
Menurut kajian ilmiah Mortadha K. Mohammed dkk dan Paolo Iodice, etanol memang memiliki nilai energi (LHV) lebih rendah dibanding bensin murni, yakni sekitar 27 MJ/kg berbanding 43–44 MJ/kg.
Akibatnya, kendaraan mungkin membutuhkan lebih banyak bahan bakar untuk menghasilkan tenaga yang sama, terutama pada campuran etanol tinggi (E20 ke atas).
Selain itu, etanol juga dapat menyebabkan kesulitan menyalakan mesin pada suhu dingin, karena tekanan uapnya (RVP) lebih rendah dibanding bensin.
Namun, di balik tantangan tersebut, etanol menawarkan sejumlah keunggulan signifikan: angka oktan yang lebih tinggi (RON 110) membuat mesin lebih tahan terhadap knocking, pembakaran menjadi lebih sempurna, serta emisi beracun seperti CO dan HC berkurang drastis.
Bahkan, penelitian menunjukkan campuran E30–E40 bisa menurunkan emisi karbon monoksida hingga 26% dan hidrokarbon hingga 31%.
Lebih jauh, karena etanol berasal dari biomassa, siklus karbonnya jauh lebih pendek dibanding bensin fosil.
Artinya, pembakaran etanol menghasilkan jejak karbon lebih rendah, membantu menekan emisi CO₂ hingga 25% dibanding bahan bakar konvensional.
Penggunaan campuran etanol bukan hal baru di dunia. Amerika Serikat misalnya, telah lama menerapkan campuran E10 secara luas.
Berdasarkan data US Energy Information Administration (EIA), hampir seluruh bensin yang beredar di pasar AS mengandung 10 persen etanol, menjadikannya standar nasional.
Bahkan, varian lain seperti E15 dan E85 juga digunakan, meskipun terbatas pada kendaraan dengan teknologi khusus flex-fuel.
Sementara itu, Brasil menjadi pionir dengan implementasi kebijakan energi bioetanol secara agresif.
Negara tersebut tidak hanya mewajibkan penggunaan E20, tetapi juga mengembangkan E100 yang sepenuhnya berbasis etanol dari tebu.
Keberhasilan mereka menjadi inspirasi bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mempercepat transisi menuju bahan bakar rendah emisi.