Nyaris Tak Dianggap! Ini Sosok Raden Ayu Lasminingrat Pahlawan Wanita Pelopor Pendidikan

Raden Ayu Lasminingrat (Foto: wikimedia)

PARBOABOA - Mungkin banyak yang belum mengenal nama Raden Ayu Lasminingrat di Indonesia, padahal kontribusinya dalam bidang pendidikan dan kepenulisan bagi perempuan Sunda sangat berarti. 

Dia adalah salah satu tokoh utama dalam gerakan perempuan di bidang pendidikan dan kepenulisan pada masanya, bahkan sebelum tokoh terkenal seperti Raden Ajeng Kartini, Raden Dewi Sartika, dan Rahmah El-Yunusiyah muncul. 

Meskipun begitu, nama Raden Ayu Lasminingrat seringkali terlupakan dalam sejarah gerakan perempuan, overshadowed oleh ketiga tokoh tersebut.

Meski begitu, karya-karya Raden Ayu masih bisa ditemukan dalam bentuk buku bacaan di Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar di Jawa Barat.

Jejak perjuangannya juga masih terlihat melalui sekolah yang didirikannya yang masih berdiri kokoh di Kota Garut. 

Pemerintah provinsi bahkan telah mengakui pentingnya bangunan sekolah tersebut dengan menetapkannya sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) di kota Garut.

Jadi, meskipun namanya mungkin kurang terkenal, warisannya dalam dunia pendidikan dan kepenulisan tetap ada. Bagaimana sebenarnya perjalanan hidup Raden Ayu Lasminingrat?

Biografi Raden Ayu Lasminingrat

Raden Ayu Lasminingrat (Foto: wikimedia)

Berdasarkan informasi dari buku Her Story: Perempuan Nusantara di Tepi Sejarah, Oleh Magdalene.co, Raden Ayu Lasminingrat lahir pada 1843 dengan nama Soehara.

Ia adalah anak dari seorang Ulama/Kyai dan Sastrawan Sunda bernama Raden Haji Muhamad Musa dan Raden Ayu Ria. Raden Ayu memiliki kecerdasan yang istimewa.

Ayahnya, Raden Haji Muhamad Musa, adalah seorang tokoh Sunda yang berperan dalam perkembangan kesusastraan cetak Sunda, sekaligus seorang pengarang, ulama, dan tokoh penting pada abad ke-19.

Sejak kecil, Raden Ayu harus berpisah dengan keluarganya dan pindah dari Garut ke Sumedang untuk belajar membaca, menulis, dan mempelajari bahasa Belanda.

Pendidikan Raden Ayu dilanjutkan di sekolah Belanda di wilayah Sumedang.

Raden Ayu diasuh oleh seorang teman Belanda ayahnya, Levyson Norman. Karena bimbingan dari Norman, Lasminingrat menjadi satu-satunya perempuan pribumi pada masanya yang mampu menulis dan berbicara dalam bahasa Belanda dengan baik.

Raden Ayu menjadi istri kedua dari Rd. Adipati Aria Wiratanudatar VII, yang merupakan Bupati Garut. Ia meninggal pada tanggal 10 April 1948 pada usia 105 tahun dan dimakamkan di belakang Mesjid Agung Garut, bersebelahan dengan makam suaminya.

Awal Mula Perjuangan Raden Ayu Lasminingrat dalam Bidang Pendidikan

Raden Ayu Lasminingrat (Foto: wikimedia)

Perjuangan Raden Ayu Lasminingrat dimulai dalam bidang kepenulisan. Salah satu pencapaiannya adalah menerbitkan buku Carita Erman, yang merupakan terjemahan dari karya Christoph von Schmid, serta buku Warnasari atau Roepa-roepa Dongeng.

Kedua karya ini telah menjadi bahan bacaan penting, tidak hanya di Garut, tetapi juga tersebar hingga ke daerah di luar Jawa setelah diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu.

Setelah menikah dengan seorang Bupati, perhatian Raden Ayu beralih ke bidang pendidikan, terutama pendidikan untuk perempuan. Ia mendirikan Sekolah Kautamaan Puteri pada tahun 1911, yang merupakan hasil dukungannya bagi usaha Dewi Sartika dalam mendirikan Sekolah Kautamaan Putri.

Sayangnya, sedikit orang yang mengenal atau mengapresiasi Raden Ayu, yang "Sang Pemula" sebut sebagai sosok perempuan yang jauh berada di luar zamannya. Padahal, gelar tersebut mencerminkan penghargaan yang mendalam terhadap perempuan yang tampil berbeda dari kebanyakan perempuan pada masanya. 

Pada usia 32 tahun, dalam sibuknya sebagai istri kedua seorang Bupati, ia berhasil menerjemahkan banyak cerita karya Grimm yang populer di Eropa.

Ia melakukannya dengan tujuan agar kaumnya dapat membaca karya-karya penulis Eropa tersebut dan memetik pelajaran darinya, terutama oleh perempuan Sunda. 

Kumpulan terjemahannya kemudian pertama kali diterbitkan pada 1875 oleh percetakan milik pemerintah dengan judul Tjarita Erman. Pada tahun berikutnya, tahun 1876, ia menerbitkan karya keduanya yang berjudul Warnasari atau Roepa-roepa Dongeng.

Memiliki Mimpi Mengangkat Status Perempuan melalui Pendidikan

Raden Ayu Lasminingrat (Foto: nchiehanie.com)

Setelah menikah dengan Bupati Garut RAA Wiratanudatar VIII, Raden Ayu menghentikan aktivitas menulisnya dan memilih untuk berfokus pada bidang pendidikan khususnya untuk perempuan Sunda.

Keputusannya ini sejalan dengan impian yang telah Raden Ayu miliki sejak masa kecilnya, yaitu untuk meningkatkan status perempuan melalui pendidikan.

Cita-cita ini akhirnya terwujud pada tahun 1907 ketika Raden Ayu mendirikan Sekolah Keutamaan Istri di ruang gamelan Pendopo Kabupaten Garut.

Dalam sekolah ini, Raden Ayu merancang suatu kurikulum yang sesuai dengan visinya.

Beruntungnya, sekolah yang dibuka oleh Lasminingrat ini mengalami perkembangan pesat pada 1911.

Pada saat itu, jumlah muridnya mencapai 200 orang, dan lima kelas tambahan dibangun di samping pendopo.

Akhirnya, pada 1913, pemerintah Hindia Belanda secara resmi mengakui sekolah ini melalui akta nomor 12, 12 Februari 1913.

Selanjutnya, pada 1943, cabang-cabang baru dari Sekolah Keutamaan Istri dibuka di Kota Wetan Garut, Bayongbong, dan Cikajang.

Di sekolah ini, para siswa perempuan diajarkan berbagai keterampilan rumah tangga seperti memasak, merapikan pakaian, mencuci, menjahit pakaian, dan berbagai tugas rumah tangga lainnya.

Tujuan dari pendidikan ini adalah agar ketika mereka telah dewasa dan menikah, para perempuan dapat menjadi istri dan ibu yang mampu membahagiakan suami dan anak-anak mereka serta memiliki kemampuan untuk mengurus segala kebutuhan rumah tangga dengan baik.

Nyaris Tak pernah Mendapat Pengakuan yang Pantas

Saat Raden Ayu aktif berkarya pada tahun 1875, tokoh-tokoh perempuan seperti R.A. Kartini, Raden Dewi Sartika, dan Rahmah El-Yunusiyah, yang kemudian diakui sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Republik Indonesia, semuanya belum lahir. 

Kartini lahir pada tahun 1879, El-Yunusiyah pada tahun 1900, dan Dewi Sartika pada tahun 1884. Namun, sayangnya, Lasminingrat hampir tidak pernah mendapatkan pengakuan yang pantas. 

Namanya tidak pernah muncul dalam sejarah gerakan perempuan atau sejarah nasional Indonesia. Nama Raden Ayu tenggelam di tengah ketiga tokoh tersebut, bahkan kurang dikenal dibandingkan dengan tokoh perempuan lainnya yang muncul setelah ketiga tokoh tersebut. 

Meski begitu, karyanya tetap relevan, jasa-jasa Raden Ayu Lasminingrat baik dalam bentuk tulisannya yang masih digunakan sebagai bahan bacaan di Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar di Jawa Barat, maupun melalui jejaknya dalam bentuk sekolah yang ia dirikan, yang hingga kini masih berdiri tegak di salah satu sudut Kota Garut.

Pemerintah provinsi bahkan telah mengakui pentingnya bangunan sekolah tersebut dengan menetapkannya sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) di Kota Garut.

Editor: Sari
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS