PARBOABOA, Jakarta - Pemerintah telah menetapkan serangkaian sanksi dan denda bagi perusahaan tambang yang terlambat membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian alias smelter.
Dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif mengatakan bahwa sanksi-sanksi tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No 89 Tahun 2023.
Keputusan itu berisi tentang Pedoman Pengenaan Denda Administratif Keterlambatan Pembangunan Fasilitas Pemurnian Mineral Logam di Dalam Negeri yang diberlakukan sejak 16 Mei 2023 lalu.
Sanksi pertama yang diberlakukan adalah penempatan jaminan kesungguhan sebesar 5 persen dari total penjualan perusahaan pada periode 16 Oktober 2019 hingga 11 Januari 2022. Jaminan tersebut harus disimpan dalam bentuk rekening bersama (escrow account).
Arifin mengatakan, apabila pada tanggal 10 Juni 2024 target pembangunan smelter belum mencapai 90 persen, maka jaminan kesungguhan akan disetorkan kepada kas negara.
Sanksi kedua berupa pengenaan denda administratif sebesar 20 persen dari nilai kumulatif penjualan ke luar negeri untuk setiap periode keterlambatan.
Menurutnya, dalam menentukan denda ini, pemerintah juga mempertimbangkan dampak pandemi COVID-19. Perusahaan diwajibkan untuk menyetorkan denda ini kepada pemerintah paling lambat dalam 60 hari kerja setelah Kepmen 89/2023 mulai berlaku.
Selain itu, kata Arifin, pemerintah juga menetapkan sanksi ketiga yang berlaku bagi perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang masih melakukan ekspor pada periode perpanjangan.
Sanksi dan denda tersebut akan diatur lebih lanjut oleh Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Arifin menambahkan, saat ini, terdapat lima perusahaan yang akan diberikan perpanjangan ekspor bahan mentah dan dikenakan sanksi serta denda.
Perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT Freeport Indonesia, PT Amman Mineral Industri, PT Sebuku Iron Lateritic Ores, PT Kapuas Prima Coal, dan PT Kobar Lamandau Mineral.
Sebelumnya, pemerintah telah mengatur bahwa ekspor mineral mentah hanya diizinkan hingga Juni 2023, sehingga perusahaan diwajibkan untuk membangun smelter.
Aturan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Namun, lanjut Arifin, mengingat masih banyak perusahaan IUP/IUPK yang menghadapi kendala dalam menyelesaikan pembangunan smelter, terutama akibat pandemi COVID-19, pemerintah memberikan perpanjangan waktu selama satu tahun hingga Juni 2024.
Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan tersebut harus siap menghadapi konsekuensi berupa sanksi dan denda yang akan dikenakan.
Editor: Sondang