PARBOABOA, Jakarta - Setelah hampir sepekan melakukan kunjungan ke Italia dan Spanyol, Syahrul Yasin Limpo akhirnya kembali ke Indonesia pada Rabu (6/10/2023).
Kedatangan mantan Gubernur Sulawesi Selatan itu langsung disambut sejumlah persoalan hukum yang berimbas pada jabatannya sebagai Menteri Pertanian (Mentan).
Penghargaan yang diterima Syahrul dari organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO) seakan luput dari perhatian. Konsentrasi publik tertuju pada kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan).
Ketika Syahrul masih berada di luar negeri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah melakukan penggeledahan di rumah dinasnya pada Kamis (28/9/2023).
Penggeledahan tersebut terkait dengan penyelidikan kasus dugaan korupsi di Kementan. KPK berhasil menyita uang senilai Rp30 Miliar dan 12 pucuk senjata api.
Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh sempat merasa terusik, mengapa KPK tidak menunggu melakukan penggeledahan setelah Syahrul tiba di Indonesia.
Asumsi publik pun terbelah. Ada yang menganggap penggeledahan KPK tak lepas dari motif politik. Ada semacam upaya untuk melibas kader-kader NasDem yang berbeda haluan politik dengan Istana jelang Pilpres 2024.
Tetapi, ada juga yang melihat hal itu sebagai bagian dari kerja-kerja KPK untuk memberantas korupsi yang semakin menjamur di Indonesia dan tak ada kaitannya dengan kepentingan politik Istana.
Baru sehari berada di Indonesia, tepat pada Kamis (6/10/2023), Syahrul langsung menyambangi Polda Metro Jaya. Syahrul datang memberikan keterangan kepada penyidik dalam laporan pemerasan yang diduga dilakukan oleh Pimpinan KPK.
Saat itu, mantan bupati Kabupaten Gowa itu menyatakan telah memberikan keterangan sesuai apa yang dia ketahui terkait peristiwa yang terjadi pada Jumat (12/8/2023) lalu.
Sayangnya, ia tak secara rinci menjelaskan soal peristiwa tersebut. Syahrul hanya menyebut semua yang diketahuinya sudah secara terbuka disampaikan untuk kepentingan penyidik.
Langkah yang diambil eks Mentan itu rupanya tak bisa dianggap sepele. Posisi KPK sedang digoyang. Pada satu sisi, KPK ingin mengusut kasus dugaan korupsi di Kementan, namun di sisi lain pimpinan lembaga antirasuah itu juga terseret kasus dugaan pemerasan.
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang menilai, apa yang dilakukan Syahrul merupakan bentuk perlawanan hukum terhadap pimpinan KPK.
"SYL melakukan perlawanan hukum terhadap pimpinan KPK tidak bisa dianggap sepele, karena sebagai politisi, SYL tidak sedang bermain-main dengan hukum," ungkap Ahmad saat dikonfirmasi PARBOBOA, Selasa (10/10/2023).
Menurut Ahmad, sebagai politisi, Syahrul tentu memiliki sejumlah bukti terkait dugaan pemerasan yang dilakukan pimpinan KPK.
Di sisi lain, kata dia, dengan dukungan kekuatan politik yang cukup besar, Syahrul pasti akan mendesak agar kasus dugaan pemerasan ini dibongkar tuntas.
"SYL tentu memiliki sejumlah fakta yang menjadi bukti adanya pemerasan yang dilakukan oleh pimpinan KPK. Tentu ada kekuatan politik di belakang kasus pemerasan ini agar diungkap secara tuntas," paparnya.
Dalam analisinya, Ahmad menilai, kasus ini tak hanya meruntuhkan moral aparat penegak hukum, tetapi juga menciptkan stigma buruk terhadap KPK sebagai lembaga penegak hukum.
"Dengan bergulirnya kasus tersebut, secara faktual sudah meruntuhkan moral aparat penegak hukum. Posisi KPK sebagai lembaga independen yang memiliki integritas saat ini menjadi taruhan di mata publik," kata dia.
Efeknya, kata Ahmad, kepercayaan publik terhadap KPK sebagai lembaga yang getol membongkar praktik korupsi di Indonesia akan menurun.
"Jika seandainya kasus ini benar terungkap maka trust dan ekspektasi publik terhadap pemberantasan korupsi menjadi hilang," ungkap Direktur Pacasarjana Universitas Muhammadiyah Kupang itu.
Oleh karena itu, kata dia, kasus yang menimpa Syahrul saat ini, menjadi batu ujian sekaligus batu sandungan bagi pimpinan KPK.
Publik pun diminta tetap memantau proses penanganan kasus ini agar berjalan sesuai prosedur hukum yang berlaku.
"Publik harus ikut mengawal kasus ini agar bisa berjalan sesuai koridornya. Jangan sampai terjadi bargaining yang menyebabkan kasus ini tenggelam di tengah jalan," kata dia.
Kronologi Dugaan Pemerasan
Kasus dugaan pemerasan yang dilakukan pimpinan KPK mencuat ke publik setelah muncul surat pemanggilan terhadap sopir Syahrul Yasin Limpo bernama Heri.
Dalam surat tersebut, Heri diminta menemui penyidik di ruang pemeriksaan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya pada Senin (28/8/2023) pukul 09.30 WIB.
Heri dipanggil untuk memberikan klarifikasi terkait kasus yang tengah ditangani oleh Subdit V Tipidkor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.
Subdit V Tipidkor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya disebut sedang melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan yang dilakukan oleh pimpinan KPK dalam penanganan perkara di Kementan tahun 2021 lalu.
Surat panggilan itu juga diketahui telah ditandatangani Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak, pada 25 Agustus 2023.
Tak lama setelah surat panggilan itu muncul, beredar catatan yang ditulis tangan yang menjelaskan kronologi pemerasan yang dilakukan pimpinan KPK Firli Bahuri terhadap Syahrul Yasin Limpo pada 2022 lalu.
Dalam kronologi dijelaskan, pada Juni 2022 Irwan yang diduga sebagai perwakilan Firli Bahuri menyampaikan kepada Syahrul terkait dengan akan adanya tim lembaga KPK yang masuk ke Kementan untuk menyelidiki dugaan korupsi.
Kemudian Irwan mengatur pertemuan Syahrul dengan Firli Bahuri. Irwan sempat mendatangi rumah dinas Syahrul yang menyampaikan permintaan dana dari Firli Bahuri.
Namun, Syahrul saat hanya menyanggupi Rp1 miliar yang convert ke dalam bentuk dollar Singapura.
Pada Desember 2022, pertemuan antara Syahrul bersama ajudannya bernama Panji dengan Firli Bahuri dijadwalkan akan dilakukan di lapangan bulu tangkis Mangga Besar.
Syahrul sempat berbincang dengan Firli Bahuri di pinggir lapangan. Saat hendak pulang, saat itulah uang Rp1 miliar diberikan ajudan Syahrul kepada ajudan Firli Bahuri.
Firli sebelumnya sudah menepis soal dugaan dirinya melakukan pemerasan dalam penanganan kasus dugaan korupsi di Kementan.
Begitu juga dengan beredarnya keterangan yang tertulis sebagai kronologi pemerasan yang diduga dilakukan olehnya melalui Irwan yang disebut sebagai salah satu ajudannya. Firli membantah bahwa hal itu tak pernah ada.
Firli juga mengklaim bahwa ajudannya hanya satu, bernama Kevin bukan Irwan sebagaimana yang disebutkan dalam kronologi yang beredar.