Tanah Adat Bakal Dicaplok Perusahaan Sawit, Suku Awyu Boven Digoel Melawan

Suku Awyu di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan. (Foto: Greenpeace/Jurnasyanto Sukarno)

PARBOABOA, Jayapura - Suku Awyu di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan mengajukan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim terhadap Pemerintah Provinsi Papua dan perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL). 

Dalam sidang kedua di PTUN Jayapura, Kamis (10/8/2023), ada tiga anggota masyarakat adat Suku Awyu yang diperiksa sebagai saksi fakta. Ketiganya yakni Tadius Woro, Antonia Noyagi, dan Yustinus Bung. 

Dalam keterangannya, Tadius Woro mengamini jika Hendrikus Woro memang benar ketua marga yang ditetapkan melalui musyawarah adat. Hendrikus Woro juga bertugas mewakili marga Woro dalam memperjuangkan tanah adat lewat gugatan ke pengadilan ini.

Tujuan diangkatnya seorang pemimpin marga untuk mempertahankan tanah adat, sehingga hutan dan isinya, termasuk tempat keramat, tidak dibongkar perusahaan. 

Saksi kedua, Antonia Noyagi dalam sidang mengaku keberadaan perkebunan sawit akan merugikan para perempuan Suku Awyu yang sangat bergantung pada hutan dan sungai untuk memenuhi kebutuhan mendasar sehari-hari. Bahkan, single mom ini mengaku mampu menyekolahkan sembilan anaknya karena adanya hasil hutan.

Hampir saban hari para perempuan pergi ke hutan dan sungai guna mengambil sagu, mencari bahan obat-obatan, berburu dan memancing, mencari kayu bakar hingga kayu gaharu. 

Ada juga kebiasaan perempuan-perempuan Yare pergi bersama ke hutan demi mempererat persaudaraan.  

Saksi fakta terakhir, Yustinus Bung yang merupakan warga Kampung Yare dari marga Mukragi atau Mukri mengatakan, sama seperti masyarakat Awyu lainnya, mereka memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupan. Dia berharap hutan tersebut dapat diwariskan ke generasi berikutnya.

Sebagai informasi, tanah adat marga Mukri berbatasan langsung dengan marga Woro dan dipisahkan oleh kali.

Dalam kesaksiannya, Yustinus mengaku sama sekali tidak pernah melihat pengumuman atau sosialisasi tentang rencana beroperasinya perkebunan sawit di wilayah mereka. 

Yang dia dengar hanya adanya pertemuan di Kampung Ampera soal perusahaan. Dia juga mengaku tidak pernah tahu ada pembahasan soal amdal.

Ketiga saksi sama-sama mengaku hanya mendengar tentang adanya perusahaan yang masuk, tapi tidak pernah ikut dalam sosialisasi perusahaan atau pemerintah daerah.

Mereka juga menggambarkan kehidupan rata-rata masyarakat Suku Awyu yang tidak punya akses terhadap koran atau internet. Maka pengumuman yang diklaim sudah dilakukan oleh perusahaan nyatanya tidak menjangkau mereka.

Sekar Banjaran Aji, anggota kuasa hukum masyarakat adat Suku Awyu mengatakan, amdal dibuat tanpa pelibatan dan persetujuan masyarakat. Artinya, pemerintah tidak memperhatikan keberadaan masyarakat yang terdampak. 

Kepada Parboaboa.com, Sekar menginformasikan, konsesi PT IAL saat ini baru ada pembukaan logpond atau Izin Tempat Penimbunan Kayu sehingga belum ada operasi dari perusahaan. 

Namun yang membuat masyarakat Suku Awyu marah dan sakit hati, perusahaan menempatkan longpond seluas 4 hektare di area sakral masyarakat yang merupakan tempat bersejarah suku. Lokasi longpond merupakan kampung lama Suku Awyu sebelum mereka dipindahkan ke kampung administratif pemerintah.

Saat ini, masyarakat memalang lokasi longpond sehingga tidak beroperasi. 

Sebagai informasi, merujuk laporan Greenpeace Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua, PT IAL mengantongi izin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 39.190 hektare sejak 2017. Perusahaan ini diduga dikendalikan oleh grup perusahaan asal Malaysia Whole Asia Group. 

PT IAL memperoleh lahan yang sebelumnya dikuasai PT Energy Samudera Kencana yang merupakan anak perusahaan Menara Group yang sempat bakal menggarap Proyek Tanah Merah di Boven Digoel.

Gugatan diajukan oleh pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus ‘Franky’ Woro pada 13 Maret 2023 ke PTUN Jayapura. Gugatan itu terkait izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu (PTSP) Provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT IAL.

Tidak hanya itu, gugatan dilayangkan lantaran Pemprov Papua diduga menutup informasi tentang izin lingkungan PT IAL, yang konsesinya diduga akan mencaplok wilayah adat masyarakat Awyu.

Sidang pertama digelar pada 27 Juli di mana ada dua saksi menguatkan gugatan Hendrikus Woro. Sidang selanjutnya akan digelar pada 31 Agustus 2023 dengan agenda mendengarkan saksi-saksi.

Editor: Umaya khusniah
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS