Seniman Musik dan Batik Sejati, Sarijah Niung (Ibu Soed)
PARBOABOA - Lama sudah saling mengagumi. Belakang hari keduanya pun berkarib, terutama ditautkan oleh batik yang memang sama-sama mereka sukai. Bung Karno sangat mendukung batik kreasi baru yang dikembangkan Ibu Soed.
Lihatlah: kalau ada tamu negara yang datang dari luar biasanya ia akan memanggil ke Istana Negara mantan guru bernama asli Sarijah Niung untuk berpameran dan memperagakan cara membuatnya. Tak hanya itu.
Proklamator itu juga menyiapkan ruang khusus untuk Ibu Soed di Hotel Indonesia. Sri Sadono namanya, tempat itu dimanfaatkan oleh sang pencipta lagu anak-anak untuk memajang dagangan serta menunjukkan ketrampilan membatik kepada para turis yang datang dari pelbagai negara.
Guru yang terkenal sebagai komponis sejak paruh kedua tahun 1920-an memiliki toko batik di seberang Istana Negara. Arti Warna, namanya. Bung Karno juga sangat memerhatikannya. Selain menjambangi, ia juga acap memesan sesuatu dari sana.
Suatu waktu Bung Karno memanggil Ibu Soed. Saat bermuka-muka, kepala negara itu berbicara berapi-api tentang pameran raksasa yang akan berlangsung di New York dan ihwal betapa strategisnya jika Indonesia tampil di sana.
Sampailah kemudian ke inti percakapan. Dia meminta istri Bintang Soedibyo—pengusaha terkemuka ini meninggal di Singapura tahun 1954 saat pesawat yang dicarternya jatuh—memimpin pameran batik di World’s Fair New York 1964-1965.
Bu Soed yang sebagai seniman ikut bergiat dalam persiapan Kongres Pemuda ke-2 tahun 1928 tentu saja tak menampik. Toh memajukan Indonesia merupakan obsesi lamanya.
Begitupun, ke sosok yang sangat dihormatinya itu diutarakannya juga kendala dirinya. Tubuhnya tak bersahabat dengan cuaca dingin. Di Indonesia yang beriklim tropis saja badannya bisa menggigil; apalagi di negeri yang berempat musim.
Seperti biasa, ayah Guntur-Megawati pandai membujuk-meyakinkan. Ia bilang, puspa pakaian penghangat akan disiapkan khusus untuk Ibu Soed sebelum keberangkatan.
Tak ada lagi yang bica diucapkan Ibu Soed. Persuaan hari itu berujung indah karena kesepakatan dicapai tanpa kesulitan. Namanya juga percakapan dua yang berkarib.
New York, New York
Presiden Soekarno bersemangat betul menyahuti begitu terbetik kabar bahwa New York World’s Fair 1964-1965 akan dihelat. Ia memerintahkan agar Indonesia lekas ambil bagian.
Maka, jadilah negara kita pendaftar perdana dari Asia (yakni pada 29 Januari 1961 atau 4 hari setelah undangan panitia datang) dan ke-14 untuk lingkup dunia.
Perhelatan bertema Peace through Undestanding (Perdamaian melalui Pengertian) ini memang tak main-main. Merupakan yang terakbar dan terambisius di zaman itu, ajangnya berluas 260 hektar dengan peserta yang berasal dari 80 negara, 24 negara bagian, dan 50 korporasi. Nyatanya nanti, acara yang dimulai pada 22 April 1964 dikunjungi 51 juta orang.
Bagi Bung Karno, ini merupakan peluang emas untuk mengenalkan Indonesia yang merupakan salah satu motor penting Asia-Afrika ke dunia luar.
Sebab itu, ia pun turun langsung untuk mengurusinya. Ia memilih sendiri lokasi Anjungan Indonesia yakni pada 12 September 1961 saat melawat ke negeri Paman Sam yang dipimpin Presiden John F. Kennedy.
Luas Paviliun Indonesia (sebutan lain dari Anjungan Indonesia) sekitar 12 ribu meter per segi. Transaksi saat itu juga sehingga Indonesia menjadi negara pertama yang menjadi tenant (Sharyn Elise Jackson, 2005).
Soekarno merancang sendiri konsep Anjungan Indonesia. Ekspresi dari ideologi, semangat, dan kemajuan Indonesia merdeka nanti, bangunan itu. Begitu menurut dia.
Thema yang dipilihnya adalah To Build The New World. Artinya, Indonesia yang lahir sebagai buah revolusi panjang turut membangun dunia baru dengan cara yang sesuai dengan garis politik anutannya: netralitas dan bebas aktif.
Sketsa ia buat sendiri. Tak percuma memang dirinya arsitek lulusan Technische Hoogeschool Bandung (kelak menjadi Institut Teknologi Bandung).
Wujudnya adalah bangunan bundar dengan atap berupa payung berlipat. Unsur modern dan tradisional berpadu di sana. Miniatur Candi Bentar, misalnya, tegak di atas pintu utamanya.
Gambar kasar itu kemudian diterjemahkan ke dalam rancangan arsitektur eksibisi oleh RM Soedarsono dengan bantuan dari sebuah tim dari AS yang berunsurkan Abel Sorensen (arsitek Hotel Indonesia) dan mitranya, Max O. Urbahn. RM Soedarsono sendiri adalah arsitek Istana Presiden Tampak Siring, Bali.
Selain membentuk kepanitiaan, Bung Karno juga menunjuk orang yang mengisi posisi tertentu. Sultan Hamengku Buwono IX yang dipercayainya menjadi Komisaris Jenderal Anjungan Indonesia sekaligus ketua pelaksana pembangunan paviliun.
Perempuan semata yang menjadi pemandu di Paviliun Indonesia. Ini juga kebijakan Soekarno. Kepada kaum putri itu ia berpesan agar jangan ‘goyah’ seperti wanita Prancis atau Amerika melainkan tetap menjadi perempuan Indonesia dalam setiap lelakunya.
Bersambung...Editor: Rin Hindrayati