Toko Buku Umega: Bertahan dari Gempuran Teknologi dan Turunnya Minat Baca di Pematangsiantar

Pengelola Toko Buku Umega di Pematangsiantar, Nasrun Pulungan. (Foto: PARBOABOA/David Rumahorbo)

PARBOABOA, Pematangsiantar - Terik mentari yang kian menyengat mengiringi aktivitas masyarakat di Kota Pematangsiantar.

Deru kendaraan tak habis hilir mudik melintasi jalanan, kala dilintasi Parboaboa, Sabtu siang tadi. 

Klakson dari becak Birmingham Small Arm atau lebih dikenal dengan becak BSA pun bersahutan, menambah riuh suasana kota.

Gaduh serupa juga terjadi di kawasan Pasar Hongkong Pematangsiantar. Lokasinya tak besar, hanya berupa jalan kecil dengan akses terbatas, karena hanya bisa dilalui dari arah Jalan Diponegoro dan Jalan Bandung.

Meski hanya satu lajur, bangunan toko yang menjual aneka dagangan tampak berderet rapi.

Berbagai kebutuhan sehari-hari seperti warung kelontong, aksesoris, ikan hias, hingga buku bekas dijual di kawasan yang juga menjadi jantung Pematangsiantar ini.

Dari sederet toko di Pasar Hongkong tadi, ada satu toko yang membuat Parboaboa tertarik untuk singgah. Toko tersebut merupakan toko buku bernama Umega, yang berasal dari singkatan "usaha menambah gaji". 

Pemiliknya Nasrun Pulungan. Perawakan sepuh terlihat dari raut wajahnya.

Benar saja, saat ditanya Parboaboa, usia sudah 68 tahun.

Meski terkesan tak lazim bagi orang seusianya, namun Nasrun tak gentar menghadapi zaman.

Ia tetap menekuni pekerjaannya sebagai penjual buku bekas. 

Jika ditilik dari usahanya, toko Nasrun hanya berdiameter sekitar 2x3 meter. Tampak beberapa rak kayu tua yang didalamnya tersusun buku dengan berbagai genre bacaan.

Sebenarnya, usaha yang digeluti Nasrun hingga saat ini merupakan warisan keluarga. 

Kepada Parboaboa, Nasrun bercerita bahwa nama Umega diberikan oleh ayahnya yang pensiun mengajar teknik di salah satu sekolah Belanda yang ada di Pulau Jawa. 

Awalnya toko ini bukanlah toko buku seperti sekarang. Ia lebih seperti toko kelontong, yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga Nasrun.

Baru pada 1972, keluarga Nasrun menjadikannya toko buku.

"Karena orang tua itu pensiunan guru teknik. Anaknya banyak, jadi nggak cukup uang pensiunannya,” tutur Nasrun.

"Dibukalah toko ini, usaha menambah gaji, itulah makanya disebut umega," timpalnya.

Nasrun merupakan generasi ketiga di keluarganya yang mengelola toko buku Umega. Pendahulunya adalah Djapangkat Pulungan, kakek Nasrun yang telah mengawali usaha jual buku bekas di Tahun 1926.

Di penghujung tahun 1932, Djapangkat kemudian menjual toko buku karena ingin meneruskan usaha lainnya. 

Toko buku milik Djapangkat itu bernama Goedang Ilmu, sebelum berganti nama menjadi Umega.

“Saya itu generasi ketiga. Dulu opung yang pertama membuka toko buku kemudian lanjut ke orangtua saya,” ungkap Nasrun.

Sebelum akhirnya menetap di Pasar Hongkong, toko ini awalnya berlokasi di Jalan Sutomo, bersama usaha kaki lima lainnya kala itu.

Dari Jalan Sutomo, Toko Umega juga sempat pindah ke Jalan Surabaya.
 
"Dulu ada kios pemerintah di Jalan Surabaya. Habis itu pemerintah tidak setuju karena terlalu jorok dijadikan pasar dan dipindahkan ke pasar Parluasan (sekarang dikenal dengan Pasar Horas) yang sekarang," jelas pria yang tinggal di Timbang Galung, Kecamatan Siantar Barat itu.

Di Pasar Hongkong, keluarga Nasrun menyewa sebuah toko dari seorang langganan pembeli dan juga penyewa tetap di toko bukunya. Langganan itu menyewakan tempatnya kepada Nasrun dengan harga murah.

Toko Buku Umega Akan Tutup?

Di usia yang sangat renta ini, Nasrun mengeluhkan tidak sanggup lagi meneruskan usaha toko bukunya. Belum lagi minat pelajar untuk membeli buku telah berkurang. 

"Kemajuan teknologi dan internet telah mengubah peran buku," kata dia. 

Nasrun juga menyebut, belakangan generasi muda di Pematangsiantar tak lagi mencari buku. 

Gudang ilmu pengetahuan itu seolah kalah oleh ponsel pintar atau handphone. Generasi muda dewasa ini dibutakan teknologi.

"Rusaklah sekarang generasi ini. Tidak tahu politik, tidak tau agama. Ujung-ujungnya mereka buta politik, buta agama dan buta mata karena game aja dipikirin," kesalnya. 

Meski turut menyayangkan kondisi generasi muda saat ini, Nasrun ternyata masih menaruh harapan terhadap penerus bangsa ini.

Ia yakin, anak-anak muda ini akan kembali membaca buku, seperti yang ia lakukan dimasa mudanya dulu.
 
"Semoga nanti ada waktunya baca buku lagi," ungkap Nasrun.

"Buku ini bisa abadi dan tetap jadi saksi," imbuhnya sembari kembali melayani pembeli di tokonya. 
 

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS