PARBOABOA-Jakarta - Isu pemulihan lingkungan hampir pasti tak menjadi agenda prioritas kandidat capres-cawapres.
Dalam debat ke 4 cawapres, Minggu (21/1/2024), tema lingkungan memang sempat disentil, tetapi terbatas pada komitmen mencari titik keseimbangan pembangunan dengan memperhatikan keutuhan lingkungan hidup.
Cawapres 01, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menyinggung hal tersebut dengan menekankan pentingnya pertobatan ekologis sebagaimana diserukan oleh Paus Fransiskus.
Namun, apa yang disampaikan Cak Imin tak disertai dengan peta jalan untuk memulihkan kerusakan lingkungan saat ini akibat pembangunan ekstraktif, termasuk pertambangan.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai, isu pemulihan lingkungan tak jadi agenda prioritas karena orientasi masing-masing kandidat saat ini fokus pada akumulasi elektoral untuk memenangkan pertarungan.
Dalam bahasa sederhana, Isu ini tak banyak memberikan kontribusi untuk meningkatkan sekaligus menjaring sebanyak mungkin pemilih dalam rangka meraih kemenangan.
"Saya kira memang, isu lingkungan, isu pangan apalagi tambang memang tidak dianggap sebagai sesuatu yang seksi bagi para kontestan, karena secara elektoral barangkali dia tidak banyak mendapatkan atau memberikan keuntungan bagi capres-cawapres itu sendiri," kata Koordinator JATAM, Melky Nahar dalam diskusi publik bertajuk, Jejaring Oligarki Tambang & Energi di Jakarta, Senin (22/1/2024).
Melky mengatakan, dalam setiap kunjungan ke berbagai daerah, alih-alih menunjukkan komitmen untuk memperbaiki lingungan yang rusak, mereka justru menawarkan sesuatu yang populis atau membikin daya pikat.
Apalagi, isu pemulihan lingkungan terutama yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan terlampau berat dan tidak banyak orang yang tertarik untuk mengurusnya.
"Itu yang kemudian saya kira, membuat para kontestan ini kemudian tidak menjadikan ini prioritas, meskipun secara faktual mestinya itu sangat-sangat penting untuk dikerjakan sesegera mungkin."
Hal lain adalah, isu pemulihan lingkungan tak menjadi agenda strategis karena mereka sendiri merupakan aktor yang membuat daya rusak lingkungan terjadi.
Ketika mereka membuka hal itu, kata Melky, itu sama saja mereka memukul diri sendiri. "Dan secara elektoral pasti akan merugikan, jadi masuk akal."
Penegakan hukum dan hilirisasi dipertanyakan
Di sisi lain kata Melky Nahar, penegakan hukum dan hilirisasi bukan menjadi satu-satunya solusi untuk membereskan banyak masalah di sektor pertambangan, termasuk masalah lingkungan.
Ia menyampaikan hal itu meresposn cawapres 03, Mahfud MD yang menekankan pentingnya ketegasan penegakan hukum di sektor pertambangan, sekaligus merespons cawapres 02, Gibran Rakabuming Raka yang menyingung pentingnnya hilirisasi pada debat ke 4 cawapres.
Menurut Melky, ada masalah besar ketika kita berorientasi pada penegakan hukum, sementara hukum itu sendiri banyak yang bermasalah.
Sejak awal, produk hukum yang ada saat ini kata Melky tidak mengakomodasi kepentingan rakyat dan kepentingan lingkungan seperti Undang-Undang (UU) minerba dan UU cipta kerja.
"Bagiamana ceritanya, lu bersihkan penegak hukum lalu kemudian terjadi penegakan hukum, sementara produk hukumnya itu sendiri bermasalah. Itu menjadi ruang untuk mengkriminalisasi warga dan dengan mudah perusahan-perusahan tambang bisa ekspansif" kata Dia.
Karena itu, JATAM, kata Melky menyarankan agar UU yang bermasalah tersebut segera direvisi sehingga warga tidak menjadi korban.
Demikian soal hilirisasi yang beberapa kali disebut Gibran dalam debat. Menurut Melky, Gibran mengabaikan realitas yang terjadi, bahwa hilirisasi justru memiskinkan warga.
Melky mengutip data BJS yang menunjukkan, tingkat kemiskinan di beberapa daerah semakin tinggi seiring dengan program hilirisasi dilakukan.
"Sulwesi Tengah, Sulawesi Tenggara sampai di Maluku Utara, Lalu tiba-tiba Gibran bicara hilirisasi adalah solusi." kata Melky menegaskan rakyat di daerah tersebut merasakan efek buruk dampak hilirisasi.
Hal lain adalah, hilirisasi pada kenyataanya tidak menguntungkan perusahaan dalam negeri. Proyek itu hanya memberi keuntungan pada perusahaan luar negeri terutama Tiongkok.
"Bukan sentiman rasil, tetapi memang begitu datanya," cetus Melky.
Editor: Rian