Ancaman Brain Rot di Era Doomscrolling

Banyak pengguna media sosial kini terpapar Brain Rot atau penurunan fungsi kerja otak. (Foto: Unsplash)

PARBOABOA, Jakarta - Penurunan daya pikir atau lazim dikenal dengan istilah brain rot tengah menjadi penyakit yang diderita masyarakat dunia.

Brain rot, seperti kebanyakan penyakit lain, bukan muncul tanpa penyebab. Sejumlah penelitian mutakhir menyebut, penyakit ini lahir karena kebiasaan orang menghabiskan waktu di depan layar handphone. 

Aktivitas tersebut, terutama menyimak video pendek dan menjelajahi media sosial, telah memicu perilaku doomscrolling, yakni kebiasaan menelusuri konten secara terus-menerus tanpa henti. 

Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun rentan terjebak dalam arus konten yang sering kali tak berkualitas.

Menurut laporan Data Reportal tahun 2024, rata-rata global waktu yang dihabiskan seseorang di depan layar mencapai 6 jam 40 menit per hari. 

Generasi Z (Gen-Z) bahkan mencatatkan waktu layar hingga 9 jam sehari. Sejak 2013, durasi ini meningkat lebih dari 30 menit setiap harinya.

Meski tampak biasa, kebiasaan konsumsi konten digital yang berlebihan dapat berdampak buruk pada kesehatan mental. 

Paparan terhadap konten dangkal dalam waktu panjang memicu kemunduran intelektual, atau kondisi yang kini dikenal dengan istilah brain rot

Fenomena ini mencerminkan penurunan kualitas berpikir akibat terlalu sering mengkonsumsi konten ringan dan berulang.

Makna Brain Rot

Istilah brain rot pertama kali diperkenalkan oleh Henry David Thoreau dalam bukunya "Walden" (1854). 

Saat itu, ia mengkritik kecenderungan masyarakat untuk larut dalam hiburan yang mengikis daya pikir. 

Istilah ini kembali populer di kalangan Gen Z dan Alpha yang menggambarkan dampak buruk dari konten digital berkualitas rendah. 

Bahkan, pada tahun 2024, brain rot resmi masuk dalam Kamus Oxford dengan definisi yang serupa dengan penggunaan di media sosial.

Meskipun brain rot belum dikategorikan sebagai diagnosis medis resmi, sejumlah psikolog telah mengaitkannya dengan gangguan kognitif dan kesehatan mental. 

Salah satunya ditunjukkan dalam studi Laurie Ann Manwell dan tim yang dimuat dalam International Journal of Mental Health and Addiction (2021). 

Laporan ini menjelaskan bahwa penggunaan layar yang berlebihan berdampak pada perkembangan sistem saraf, memori, dan kapasitas pembelajaran, serta meningkatkan risiko penurunan fungsi kognitif dini.

Kajian yang melibatkan 44 laporan dari 16 negara itu menemukan konsumsi konten cepat sambil multitasking dapat melemahkan konsentrasi, mengganggu kemampuan belajar dan mengingat, serta meningkatkan stres dan ketidakseimbangan emosi.

Gejala brain rot yang umum terjadi mencakup penurunan fokus, disorientasi, gangguan memori jangka pendek, perubahan dalam interaksi sosial, serta kesulitan dalam mengambil keputusan. 

Temuan ini berasal dari riset tim Fakultas Psikologi Universitas Wilfrid Laurier, Kanada

Lebih lanjut, jurnal Translational Psychiatry (2021) mengungkap bahwa kecanduan smartphone berkaitan dengan gangguan kontrol atensi. 

Studi pada 33 individu dengan penggunaan smartphone bermasalah menunjukkan bahwa meskipun otak mereka bekerja keras, mereka tetap mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas yang membutuhkan konsentrasi tinggi. 

Hal ini disebabkan oleh lemahnya aktivitas lobulus parietal inferior sebagai bagian otak yang bertanggung jawab terhadap fokus, serta lemahnya konektivitas antarbagiannya.

Menangkal Brain Rot

Meski hidup tanpa ponsel pintar terasa mustahil, ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak brain rot

Mengutip laman berita Health, membatasi waktu layar adalah langkah awal yang penting. Mengambil jeda secara rutin dari perangkat digital memberi kesempatan otak untuk beristirahat.

Mengatur waktu penggunaan media sosial, menjadwalkan waktu online, serta memanfaatkan aplikasi produktivitas adalah strategi yang dapat diterapkan. 

Di samping itu, aktivitas fisik seperti berjalan kaki, bersepeda, atau berenang dapat meningkatkan aliran darah ke otak, mendukung fungsi kognitif, dan mengurangi waktu menatap layar

Latihan mindfulness seperti meditasi atau teknik pernapasan pun mampu meningkatkan fokus dan meredakan stres. Sementara itu, membaca buku secara teratur menjadi salah satu ‘obat’ efektif untuk menangkal brain rot

Studi Bernard Perbal dalam Journal of Cell Communication and Signaling (2017) menunjukkan bahwa membaca meningkatkan pemahaman dan kemampuan menyerap ide kompleks. 

Penelitian lain dalam Jurnal Psicologia: Reflexão e Crítica (2022) mengaitkan kegiatan membaca dengan penguatan area otak yang berkaitan dengan bahasa dan imajinasi.

Bercengkerama langsung dengan orang-orang terdekat juga bisa menjadi cara efektif untuk menghindari efek buruk digitalisasi. 

Meski koneksi online terasa praktis, interaksi langsung menghasilkan kedekatan emosional yang jauh lebih kuat. 

Seperti yang dijelaskan dalam publikasi CDC berjudul "Improving Social Connectedness", komunikasi tatap muka bisa mencegah isolasi sosial yang sering terjadi saat individu terlalu terpaku pada layar

Jika berbagai cara tersebut belum cukup, tidur menjadi solusi pamungkas. 

Dalam artikel "Memory and Sleep: How Sleep Cognition Can Change the Waking Mind for the Better" yang terbit di Annual Review of Psychology (2021), disebutkan bahwa tidur berperan penting dalam konsolidasi memori. 

Tidur cukup memungkinkan otak mengolah informasi yang diperoleh saat terjaga, meningkatkan daya ingat dan fungsi kognitif secara keseluruhan.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS