PARBOABOA, Jakarta - Sejumlah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) viral setelah mengaku mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kondisi itu jelas telah melanggar aturan netralitas dari Aparatur Sipil Negara (ASN).
Hal itu disampaikan Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat melalui keterangan tertulisnya kepada PARBOABOA, Jumat (5/1/2024).
Di sisi lain, Achmad Nur Hidayat merasa kecewa dengan pernyataan Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko. Pasalnya ia menyebut bahwa hal itu bukanlah suatu pelanggaran.
"Kalau menurut saya enggak. Ini sebuah organisasi yang belum terakui secara baik, belum mendapatkan posisi yang jelas, posisi di ASN itu, maka ya wajar mereka bisa menyampaikan kepada siapa pun," kata Moeldoko di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (3/1/2024) lalu.
Achmad menuturkan, pernyataan Moeldoko sangat tidak tepat, lantaran Satpol PP posisinya jelas sebagai aparatur negara yang penghasilannya dibiayai oleh negara.
"Sebagai KSP sangat memahami hal mendasar ini. Statement Moeldoko telah mengesampingkan prinsip netralitas yang seharusnya dilakukan oleh aparatur negara," papar Achmad.
Dikutip dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pematang Siantar, ASN semestinya menjaga netralitas sesuai dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 2 Tahun 2022, Nomor 246 Tahun 2022, Nomor 800-547 4 Tahun 2022, Nomor 30 Tahun 2022 dan Nomor 1447.1/PM.01/K/09/2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Neralitas Pegawai ASN dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan.
Adapun yang mengatur netralitas ASN adalah Undang-undang 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, tepatnya pada Pasal 2 Huruf f bahwa: Yang dimaksud dengan “asas netralitas” adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
Bagi Ahmad, ketika ASN yang melanggar netralitas sama dengan menciptakan preseden berbahaya. Namun yang menjadi pertanyaan bagi Achmad, mengapa Moeldoko membela Satpol PP yang jelas melanggar etis
Pembelaan
Viralnya video tersebut diketahui telah mendapatkan respons Bawaslu Garut dengan memanggil 13 anggota Satpol PP yang terlibat. Selain itu Bupati Garut, Rudy Gunawan menyebut bahwa dirinya juga akan memberikan sanksi dengan penghentian gaji kepada mereka yang terlibat.
Adapun Kepala Bidang Sumber Daya Manusia Satpol PP Garut Tubagus Agus Sofyan menyampaikan bahwa pihaknya tegas menjaga netralitas dan segera menyelidiki siapa yang membuat video.
"Jika Bawaslu, Bupati dan Kabid. SDM Satpol PP saja melakukan tindakan dengan memberikan sanksi maka KSP Moeldoko tidak memberikan contoh sebagai negarawan yang baik," paparnya.
Di samping itu Achmad Nur menyayangkan para penyelenggara negara justru semakin berani memperlihatkan ketidaknetralan tanpa rasa malu.
Bercermin dari Zulhas
Achmar Nur juga menyoroti Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) yang dinilai telah mempolitisasi bantuan sosial. Sebab bantuan itu diberikan dengan menyebut berasal dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam sebuah video yang beredar bahwa Zulhas menyebut "Yang kasih Bansos sama Bantuan Langsung Tunai (BLT) siapa, yang kasih Bansos sama BLT siapa, yangg suka sama Jokowi angkat tangan.. Pak Jokowi itu PAN, PAN itu pak Jokowi makanya kita dukung Gibran, Cocok?. Gibran itu sopo sih?" papar Zulhas.
Hal itu juga turut menjadi sorotan negatif, bagi Achmad cara Zulhas mendulang elektabilitas dengan cara tersebut cukup keterlaluan, apalagi BLT tersebut juga merupakan dari rakyat untuk rakyat. Namun hal itu seolah-olah diakuisisi sebagai pemberian dari pribadi Jokowi.
Ribuan Perangkat Desa
Achmad juga teringat dengan ribuan perangkat desa yang menghadiri acara deklarasi dukungan bagi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, di Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, pada Minggu (19/11/2023) lalu.
Mereka yang tergabung dalam kelompok Desa Bersatu tersebut, di antaranya seperti Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI), Dewan Pimpinan Nasional Persatuan Perangkat Desa Indonesia (DPN PPDI), Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional (ABPEDNAS).
Kemudian Asosiasi Kepala Desa Indonesia (DPP AKSI), Komunitas Purnabakti Kepala Desa Seluruh Indonesia (KOMPAKDESI), Persatuan Anggota BPD Seluruh Indonesia (PABPDSI), Persatuan Perangkat Desa Indonesia (DPP PPDI). Selain itu juga diikuti Persatuan Masyarakat Desa Nusantara.
Koordinator Nasional Desa Bersatu, Muhammad Asri Anas, sebelumnya mengklain bahwa pihaknya menjadi wadah perjuangan kepentingan organisasi desa secara nasional, dengan bukti dari surat undangan yang ditembuskan ke Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.
"Tentunya jika aparat desa digunakan untuk memenangkan salah satu paslon capres-cawapres artinya aparat desa didorong untuk menyalahi aturan untuk menjaga netralitas," papar Achmad Nur.
Intimidasi Pihak Kritis
Achmad Nur juga menyinggung tentang kasus Butet Kartaredjasa yang diminta menandatangani surat pernyataan tidak membahas politik selama pertunjukan di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Kemudian adanya kelanjutan laporan terhadap Aiman Witjaksono yang membongkar ketidaknetralan polisi. Termasuk juga acara “Desak Anies” yang selalu dibatalkan mendadak. Sementara itu yang menghalang-halangi Gibran menjadi cawapresmendapatkan teror aparat.
"Seperti yang terjadi pada Ketua BEM UI dan UGM yang gencar memprotes kebijakan pemerintah, termasuk terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres yang melahirkan Gibran sebagai cawapres," tutur Ahmad.
Bahkan keluarganya juga turut mendapatkan serangkaian teror dengan didatangi intel ke kampus dan doxxing di media sosial.
"Ini adalah kecurangan-kecurangan yang sangat sistematis dan terorkestrasi. Hal ini telah diprediksi, namun tindakan intimidasi ini jelas tidak bisa diteruskan atau ditoleransi," paparnya.
Bagaimana dengan Sikap Bawaslu?
Achmad menilai, dengan maraknya kasus aparatur negara yang masuk pusaran politik praktis, menimbulkan pertanyaan 'Mampukah Bawaslu bersikap tegas menghadapi kasus-kasus ini?'.
Sejarah telah menunjukkan bahwa tantangan dalam menegakkan netralitas sering kali rumit dan penuh dengan hambatan politik.
Publik Semakin Kritis
Menurutnya, kini publik semakin kritis seiring dengan banjirnya informasi, secara tidak langsung hal itu menuntut Bawaslu untuk menunjukkan tugasnya secara profesional terhadap pemilihan presiden 2024 mendatang.
"Kesimpulannya, insiden yang melibatkan anggota Satpol PP Garut mendeklarasikan dukungan politik telah menyeret kita ke dalam pusaran kekhawatiran mendalam tentang erosi netralitas aparatur negara," ujarnya.
Dari soal pernyataan Moeldoko kata dia, bukan hanya mengecewakan namun juga mengancam fondasi demokrasi di Indonesia. Termasuk Zulkifli Hasan yang dianggapnya jelas membawa mempolitisasi dalam tugasnya membagikan BLT.
"Ini adalah tentang tren yang mengkhawatirkan di mana garis antara pelayanan publik dan politik praktis semakin kabur," paparnya.
Editor: Aprilia Rahapit