PARBOABOA, Jakarta - Sejumlah akademisi yang tergabung dalam Aliansi Akademik Independen menyoroti proses hukum terhadap Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, sebagai bagian dari dinamika politik nasional.
Dalam dokumen “amicus curiae” atau sahabat pengadilan, para akademisi menilai bahwa kasus yang menjerat Hasto tidak dapat dipisahkan dari sikap kritisnya terhadap Presiden Joko Widodo.
Menurut mereka, Hasto merupakan salah satu figur partai yang cukup vokal menyampaikan kritik terhadap pemerintahan Jokowi.
Dalam pendapat hukum yang disampaikan, mereka menyatakan bahwa penuntutan terhadap Hasto tampaknya bermuatan politik, terlebih mengingat posisinya sebagai tokoh oposisi internal.
Para akademisi mempertanyakan dasar hukum atas tuntutan tujuh tahun penjara yang diajukan jaksa dalam kasus dugaan suap dan upaya menghalangi penyidikan kasus Harun Masiku.
Mereka menilai bukti-bukti yang diajukan lemah dan tidak disertai argumentasi hukum yang kokoh. Bahkan, ada "kejanggalan dalam proses persidangan, di mana jaksa justru menghadirkan penyelidik dan penyidik dari institusi yang sama sebagai saksi."
Hal ini, menurut mereka, mengundang keraguan atas objektivitas proses hukum tersebut. Lebih jauh, para akademisi menyatakan dakwaan jaksa telah dipatahkan oleh fakta-fakta dalam persidangan.
Mereka berpendapat bahwa proses hukum terhadap Hasto dapat dilihat sebagai "bagian dari upaya membungkam suara kritis dan mempertahankan kekuasaan."
Dalam pandangan mereka, apabila majelis hakim tidak membebaskan Hasto, maka putusan tersebut berpotensi menjadi preseden buruk bagi independensi lembaga peradilan serta kredibilitas demokrasi Indonesia.
Mereka mengingatkan bahwa penuntutan yang bermotif politik dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi peradilan dan melemahkan fondasi keadilan yang seharusnya netral.
Berikut adalah daftar akademisi dan tokoh yang turut menandatangani dokumen amicus curiae dalam kasus ini:
1. Prof. Franz Magnis Suseno (STF Driyarkara)
2. Prof. Maria W. Soemardiono (UGM)
3. Mayling Oey-Gardiner (UI)
4. Prof. Riris Sarumpaet (UI)
5. Prof. Ramlan Surbakti (Unair)
6. Prof. Manneke Budiman (UI)
7. Prof. Francisia Saveria Sika Seda (UI)
8. Prof. Daldiyono (UI)
9. Prof. Teddy Prasetyono (UI)
10. Prof. Melani Budianta (UI)
11. Marzuki Darusman (Jaksa Agung RI 1999–2001)
12. Prof. P.M. Laksono (UGM)
13. Prof. Masduki (UII)
14. Prof. Asvi Warman Adam (BRIN)
15. Dr. Suparman Marzuki (UII)
16. Dr. Hilmar Farid (sejarawan)
17. Dr. A. Prasetyantoko (Unika Atmajaya)
18. Dr. Suraya Afif (UI)
19. Dr. Haryatmoko (STF Driyarkara)
20. Dr. Setyo Wibowo (STF Driyarkara)
21. Dr. Pinky Wisnusubroto (Unair)
22. Usman Hamid (STH Jentera)
23. Prof. Sulistyowati Irianto (UI)
Melalui pernyataan bersama ini, para akademisi berharap pengadilan mampu bersikap independen dan tidak tunduk pada tekanan politik.
Mereka menegaskan pentingnya menjaga sistem hukum agar tetap berpihak pada kebenaran dan keadilan, bukan menjadi alat bagi kepentingan kekuasaan.
Intervensi Politik
Sebelumnya, Hasto menyatakan tuntutan tujuh tahun penjara yang diajukan Jaksa KPK bukan semata didasarkan pada pertimbangan hukum, melainkan diduga kuat merupakan hasil tekanan dari pihak eksternal.
Pernyataan ini disampaikan saat membacakan duplik dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap yang melibatkan Harun Masiku serta upaya menghalangi proses penyidikan, yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Jumat (18/7/2025).
Dalam keterangannya di hadapan majelis hakim, Hasto mengungkapkan bahwa dirinya telah lama bersikap kritis terhadap kemunduran demokrasi, bahkan sejak Pemilu 2009.
Menurutnya, sikap tersebut adalah bagian dari nilai perjuangan politik yang ia yakini.
Ia pun menyatakan keterkejutannya ketika tiba-tiba dijerat dengan tuntutan pidana tujuh tahun penjara dan denda sebesar Rp600 juta, yang dianggap tidak masuk akal.
Hasto menduga jaksa menerima tekanan dari kekuatan politik di luar lembaga antirasuah tersebut.
Ia mengaitkan situasi yang dihadapinya dengan kasus-kasus yang juga dinilai sarat intervensi, seperti kasus bocornya surat perintah penyidikan Anas Urbaningrum serta proses hukum yang menimpa mantan Ketua KPK, Antasari Azhar.
Ia menilai ada pola intervensi politik serupa yang mengancam independensi hukum.
Lebih lanjut, Hasto mempertanyakan dasar tuntutan denda yang dijatuhkan kepadanya, terutama karena perkara yang dihadapi tidak menyebabkan kerugian negara.
Ia menyebut hal itu sebagai bentuk kriminalisasi hukum terhadap warga negara. Ia juga menekankan bahwa negara tidak semestinya mengambil keuntungan dari penderitaan hukum yang dialami warganya.
Dalam pembelaannya, Hasto juga menyinggung peran jaksa penuntut umum, dengan mempertanyakan apakah tuntutan yang diajukan benar-benar lahir dari nurani profesional dan etika hukum.
Ia menilai bahwa tindakan para jaksa akan dikenang dalam sejarah penegakan hukum Indonesia dan menjadi catatan penting terkait keberpihakan terhadap keadilan.
Sebagaimana diketahui, Hasto didakwa melanggar Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP, serta Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Atas dakwaan tersebut, jaksa menuntut pidana penjara selama tujuh tahun dan denda Rp600 juta, dengan subsider enam bulan kurungan.