PARBOABOA - Presiden Soekarno meninggalkan Perguruan Cikini usai menghadiri bazaar. Namun, di halaman sekolah milik yayasan Masyumi tersebut langkahnya tertahan. Soalnya, anak-anak SD tempat Guntur, Megawati, Rachmawati, dan Guruh menimba ilmu itu mengerubungi dan ada yang minta berfoto.
Ledakan beruntun memecah di saat sang proklamator masih bercengkerama dengan para bocah. Tujuh orang tewas seketika. Yang luka berat 20 orang dan yang cidera ringan 40. Mobil Chrysler yang sedianya akan dinaiki Presiden hancur bagian depannya. Kejadian yang kemudian bersebutan ‘Peristiwa Cikini’ berlangsung pada Sabtu malam, 30 November 1957.
Mereka yang kehilangan nyawa adalah para kanak-kanak serta dua pengawal kepala negara. Granat tangan yang dilemparkan, penyebabnya.
Tiga hari berselang, Komandan Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya (KMKBDR) Mayor Dahyar menyatakan pelaku penggranatan adalah teroris asal Bima (Nusa Tenggara Barat) dan Pinrang (Sulawesi Selatan).
Sebuah rumah kontrakan di Gang Ampiun No. 21 Cikini, Jakarta Pusat, yang dikenal dengan sebutan Asrama Sumbawa lantas digrebeg tantara. Jusuf Ismail (24), Sa’adon bin Mohamad (18 tahun), Tasrif bin Hoesain (23), dan Mohamad Tasim bin Abubakar (22) yang merupakan penghuninya ditangkap.
Keempat orang yang dibekuk ini bagian dari Gerakan Anti Komunis (GAK) pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat periode 1952-1956. Mereka direkrut oleh Saleh Ibrahim (Bram), asisten dari sang kolonel yang merupakan bapak intelijen Indonesia. Mereka juga pegiat Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang sangat dipengaruhi oleh ideologi Darul Islam—Tentara Islam Indonesia (DI-TII) dan dekat dengan Partai Masjumi yang sedang berseberangan dengan Bung Karno.
Zulkifli Lubis yang merasa dirinya bakal dituduh sebagai otak penggranatan menyingkir kemudian ke Pulau Sumatra bersama Saleh Ibrahim. Benar saja! Kepala Staf Angkatan Darat AH Nasution dan kepala intelnya, Kolonel Soekendro, mengumumkan kemudian bahwa Zulkifli Lubis merupakan otak komplotan yang mencoba menghabisi Soekarno.
Para petinggi Partai Masjumi juga merasa kian tertekan. Pers serta massa yang berseberangan telah menuduh mereka sebagai bagian dari gerakan yang mencoba membunuh Bung Karno. Akibat tudingan dan gangguan yang makin keras, 3 mantan perdana menteri asal partai yang pro-syariat Islam ini—Muhammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara (masih merupakan Gubernur Bank Indonesia saat itu), dan Mohammad Roem—menyelamatkan diri ke Sumatra pada penghujung 1957. Mereka membawa serta keluarga.
Kelak, pada 15 Februari 1958 mereka bersama Zulkifli Lubis, Soemitro Djojohadikusumo (ayah Prabowo Soebianto dan merupakan tokoh Partai Sosialis Indonesia), Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel Maluddin Simbolon, dan yang lain memproklamasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sjafruddin Prawiranegara yang menjadi perdana menterinya. Tapi, seperti halnya Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara, PRRI akhirnya ditumpas oleh pasukan yang dikirim KSAD Abdul Harris Nasution dari Jakarta. Perlawanan mereka berakhir pada 1961.
Pada 30 Mei 1960 tiga pemuda penggranat Soekarno dieksekusi mati. Yang hidup tinggal Tahsin yang divonis hukuman penjara 20 tahun karena menyimpan dan mengeluarkan granat untuk digunakan kawan-kawannya.
Saleh Ibrahim (Bram) sendiri tak jelas rimbanya untuk selamanya setelah melarikan diri ke Sumatra bersama atasannya, Kolonel Zulkifli Lubis.
“Mungkin sudah dihilangkan Zulkifli Lubis. Itulah risikonya kalau bergaul dengan intel,” kata Farihin Ahmad, keponakannya.
Ada alasan menurut Farihin sehingga kelompok Bima ingin menghabisi Soekarno pada Sabtu malam, 30 November 1957. Mereka kecewa dan tersinggung berat.
Saat di Bima, tutur Farihin, Bung Karno pernah ingin menikahi putri raja setempat. Tapi itu tak kesampaian karena sang arsitek lulusan THS (kini: ITB) kemudian memiliki pertimbangan politik tertentu.
“Soekarno kan politiknya tingkat tinggi. Tapi, apa pun pertimbangannya yang pasti pembatalan perkawinan telah membuat orang-orang Bima marah, kecewa, dan ingin melepaskan diri dari NKRI. Klimaksnya adalah Peristiwa Cikini.”
Dari DI ke JI
Setelah Saleh Ibrahim hilang, sang adik dirangkul oleh AH Nasution yang merupakan sepupu sekaligus musuh bebuyutan Zulkifli Lubis.
“Keluarga kami dikasih Jenderal Nasution rumah di Menteng 58. Saya lahir dan besar di sana. Pak Nasution di Menteng 60. Jadi, bertetangga,” tutur Farihin Ahmad yang merupakan putra Ahmad Ibrahim. “Rumah Jenderal Soerjosoemarno (ayah Yapto Soerjosoemarno) dan Jenderal Kemal Idris juga tak jauh dari kediaman kami. Kalau soal Menteng saya tahu persis karena memang orang lama di sana.”
Ayah Farihin tidak pernah bercerita ke anak-anaknya ihwal garis politik yang dianutnya. Tapi, pada sisi lain, ia meminta mereka rajin bergaul. Ia sendiri sering menerima tetamu di Menteng 58. Lingkaran Muhammad Natsir terutama, yang unsurnya termasuk Kahar Muzakkar, Kasman Singodimedjo, dan Sjafruddin Prawiranegara.
Acap mengajak Farihin bercakap, dari mereka yang menghendaki tegaknya syariat Islam di Indonesia inilah Farihin kemudian mengetahui bahwa sang ayah (Ahmad Ibrahim) bagian dari Darul Islam—Tentara Islam Indonesia (DI-TII) yang dipimpin Sekar Madji Kartosoewirjo.
Farihin Ahmad (lahir tahun 1964) sendiri mengenal dunia gerakan perlawanan Islam di Indonesia baru setelah menjadi siswa kelas 2 SMP. Tepatnya, saat baru bergabung dengan Pelajar Islam Indonesia (PII). Organisasi ini kemudian sangat keras menolak azas tunggal Pancasila sebelum dan setelah diberlakukan penguasa Orde Baru.
Seturut peranjakan usia, dari PII ia berpaling ke Al Jamaah Al Islamiyah (JI) yang didirikan Abdullah Sungkar bersama 10 kawannya di Malaysia pada 1993. Ia mengenal untuk kali pertama sang ustadz tatkala dirinya berangkat tahun 1984 dari Tasikmalaya ke pesantren Al Mu’min, Ngruki, Solo, yang di masa itu merupakan ikon perlawanan terhadap azas tunggal.
Adalah Abdullah Sungkar yang memberangkat Farihin Ahmad ke akademi militer Al Iitihad Al Islamy, Afganistan, bersama 29 anggota JI asal Indonesia. Mereka bertolak tahun 1987 sebagai angkatan ke-7. Berlangsung 10 angkatan, pemberangkatan pertama pada 1985. Selain mendalami rupa-rupa ilmu tempur, ada kalanya para peserta dikirim ke palagan yang memperhadapkan pasukan Uni Soviet dengan pejuang Mujahidin yang didukung oleh sekutu dari belahan dunia Islam.
Membom Dubes
Jakarta geger pada siang 1 Agustus 2000. Soalnya, bom meledak di halaman rumah dinas Duta Besar Filipina, di Jalan Imam Bonjol. Dua orang tewas seketika yakni satpam dan tukang sampah warga Indonesia. Adapun Dubes Leonides Caday yang disasar, ia cedera kepala dan tangan. Kakinya juga harus diamputasi.
Media massa kelak mewartakan bahwa pelaku pemboman adalah kelompok Fathurrahman Al Ghozi dari Jamaah Islamiyah.
“Eksekutornya adik saya yang nomor dua [Abdul Jabar]. Dia kena hukuman 20 tahun. Sudah bebas tahun 2012 setelah menjalani 15 tahun hukuman penjara,” kata Farihin. “Bom meledak saat mobil Dubes mau masuk ke halaman. Kan sebelumnya kita observasi tiga bulan.”
Farihin dan Imam Samudra yang menjadi penyedia bahan peledaknya. “Saya juga yang membuat situsnya. Di website itu kami menjelaskan alasan kami untuk menyerang,” ungkapnya. Selain mereka, yang juga terlibat waktu itu adalah Hambali dan Amrozi. Aksi itu sebagai solideritas terhadap Moro Islamic Liberation Front (MILF).
Di Afganistan Farihin Ahmad berkenalan dengan Imam Samudra. Hubungan mereka berlanjut sekembali ke Tanah Air.
“Saya yang membuat KTP semua pelaku bom Bali satu termasuk Iman Samudra, Hambali, Amrozi...semua saya bikin di Menteng. Kasihan lurah Menteng waktu itu. Ia diperiksa. Tapi, dia tidak bersalah. Dianggap lengah saja.”
Konflik Poso
Medan pertempuran sesungguhnya dari Farihin dan kawan-kawan JI-nya yang lulusan Afghanistan adalah kawasan Indonesia Timur. Awalnya mereka bertempur di Poso, Sulawesi Tengah. Kemudian bergeser ke Ambon. Ia bertolak ke Poso pada Agustus 2000, tak lama setelah membom rumah Dubes Filipina.
Poso membara sejak Natal 1998, sedangkan Ambon sedari 19 Januari 1999. Musuh utamanya laskar Kristen. Di Poso Farihin Ahmad dua kali membui sebagai kombatan. Yang pertama setahun dan yang kedua dua setengah tahun. Ia mendekam pada periode 2000-2004. Kala itu ia pernah sepenjara dengan Pendeta Rinaldy Damanik yang merupakan tokoh dari kelompok Kristen. Keduanya kemudian menjadi sahabat.
Farihin tertangkap untuk kali pertama seusai mereka berperang dengan Densus 88. “Saya turun dari hutan setelah perang. Waktu itu tiga hari tiga malam tidak tidur. Eh..ternyata nyasar ke markas Brimob. Ditangkap, deh.”
Yang kedua, dia dijebak. “Intelnya Hendropriyono [Kepala Badan Intelijen Negara, BIN, saat itu] yang ngejebak. Kita dikasih peluru dan tiket kapal laut. Ternyata tiket itu nggak bisa ditukar sehingga saya naik kapal. Ternyata di kamar sudah bersiap empat orang untuk membekuk saya.”
Di tahun 2008 ia baru pulang ke Jakarta dengan membawa serta perempuan Gorontalo yang dinikahinya di sana. Istri pertamanya orang Ngruki. Cucu lelaki yang sebagai kombatan pernah 2 minggu menjadi tahanan di Ambon kini 3 orang sudah.
Budi, si Anak Priok
Sama-sama berakarkan Darul Islam, Farihin Ahmad dan Budi Waluya berkarib meski beda generasi. Lebih belia Budi, namun kisah hidupnya sebagai pejuang Islam sama menarik lika-likunya.
Dia punya tujuh anak dari dua istri, yang paling besar sudah 30 tahun. “Saya menikah muda, umur 19 tahun. Kadang ada rasa menyesal, kenapa nggak dari lebih awal lagi,” kata Budi Waluya sambil tersenyum kecil.
Lelaki tegap-gempal yang humoris meski pernah berpredikat ‘teroris’ lahir dari keluarga dengan latar belakang unik. Ayahnya berasal dari Kediri, Jawa Timur, sementara ibunya dari Kuningan, Jawa Barat. Jadi, dia Jasun: Jawa-Sunda.
Ayahnya asli Kediri; lahir dan besar di kota yang kental dengan tradisi Hindu itu. Kakeknya tokoh masyarakat yang dihormati di sana. Ia mengenang kakeknya sebagai sosok yang mengajarkan karmaphala, sebuah konsep Hindu tentang sebab akibat: kebaikan akan menuai kebaikan. Pun, sebaliknya.
Sang ayah datang ke Jakarta sebagai pemuda yang hanya punya satu tujuan: sukses. Soal bagaimana caranya, dia tidak tahu. Kehidupannya di Ibukota dimulai dari pelabuhan Tanjung Priok, tempat di mana para keluarga marinir sering berkumpul. Di sana ia mendalami banyak hal. Dia menjadi pandai memasak karena belajar dari orang-orang Ambon di sana.
Keluarga ibunya beda latar. Perempuan itu lahir di Kuningan, Jawa Barat, namun ayahnya, kakek Budi, berasal dari Pekalongan.
"Kakek saya seorang letnan. Polisi yang jujur, hidupnya sederhana, dan tidak pernah neko-neko,” Budi berkisah dengan bangga. “Jatah beras kepolisian waktu itu betul-betul untuk keluarga. Tidak ada makanan yang berasal dari sumber yang haram.”
Perkenalan ayah-ibu Budi berlangsung di Jakarta Utara. Si Bapak sering berada di mess marinir di Priok. Di sana dia berinteraksi dengan banyak orang dan belajar ini-itu. Ia sempat menjadi bartender, umpamanya. Priok itu sudah seperti dunianya.
Pria Kediri itu kemudian menjadi anak kapal. Ia bekerja di Andika Lines, perusahaan swasta yang sahamnya sebagian dimiliki Angkatan Laut. Marinir yang sudah pensiun banyak yang menjadi pegawai di sana.
Sebagai pelaut, ayah Budi kerap berlayar sampai ke Eropa. Kalau pergi, paling cepat setengah tahun baru pulang. Terkadang sampai setahun. Karena bapaknya sering tak di rumah, Budi yang mendidik adik-adik agar survive dan mandiri. Prinsipnya, kalau nggak berani maju dari depan ya dari belakang saja.
Sewaktu di SD dan SMP, Budi Waluya sering berkelahi. Kalau adiknya bermasalah dengan teman-teman seumuran mereka, biasanya dia akan dipanggil dan turun tangan. Ada kalanya ia adu jotos juga dengan teman sebaya atau yang lebih tua.
Budi kecil tumbuh di lingkungan pelabuhan, tempat di mana laut menjadi jagat kesehariannya. Selain sering berkecibak-kecibak, ia kerap lari-larian di daerah Sampur, bagian dari Tanjung Priok yang sekarang mungkin sudah tidak dikenal lagi termasuk oleh orang setempat.
Setelah dibeli oleh Humpuss-nya Tommy Soeharto, menurut pria yang sekarang bekerja sebagai terapis yang menggunakan bekam, ribuan kepala keluarga di sana digusur. Tanah itu dijadikan pelabuhan. Sekarang kawasan ini dimiliki Jakarta Internasional Container Terminal (JICT] dan PT Pelabuhan Indonesia (PT Pelindo); tapi ada juga yang dikuasai PT Humpuss.
Minim pengetahuan soal agama. Begitulah si Budi kecil. Hingga remaja juga begitu. Baginya ibadah itu cuma formalitas. Padahal, ibunya sebenarnya rutin yasinan setiap malam Jumat.
“Ibu pandai mengaji tapi tidak memahami arti isi Al-Qur’an. Dari kecil, saya sudah diajari Ibu menghapal ayat-ayat terutama Ayat Kursi. Namun, pelajaran itu hanya sebatas hapalan.”
Tarbiyah
Budi Waluya bersekolah negeri sedari SD. Masa-masa bersekolah di SMA Negeri 72—terletak di antara Kelapa Gading dan Perumahan Kodamar Angkatan Laut—sangat istimewa bagi dia yang lulusan tahun 1993 ini.
"Saya punya pacar waktu SMA. Dia yang sekarang jadi istri saya," katanya sambil tersenyum. Namun, hubungan itu sempat putus karena sebuah peristiwa yang tak pernah dibayangkannya bakal terjadi.
Di semester kedua kelas 1, ia berkelahi dengan kakak kelas. Orang itu ditusuknya. Musebabnya panjang. Yang pasti ada fitnah dan konflik masa di SMP Negeri 151 yang ternyata berlanjut. Peristiwa itu berbuntut panjang. Kakak kelas yang ditusuk akhirnya dipecat karena Budi dianggap merupakan korban.
Nama Budi Waluya di SMA Negeri 72 antara jelek dan bagus sesudah kejadian itu. Di mata guru-guru, nama dia buruk. Ia dikenal sebagai anak yang suka membuat masalah. Sedangkan di mata teman-tamannya bagus karena berani melawan kakak kelas walaupun dikeroyok.
Reputasi buruk itu mulai terkikis kemudian akibat sebuah kejadian kecil.
Ceritanya, ia lapar saat pulang dari sekolah pada satu siang. Jambu di pekarangan orang pun diambilnya begitu saja. Saat asyik memetik, ia mendengar sapaan yang tak biasa:
“Assalamualaikum.” Nadanya lembut bersahabat.
Lagi nyolong jambu tiba-tiba ada yang mengucapkan salam. Ia pun menoleh. Ternyata kakak kelasnya yang aktif di kegiatan Rohani Islam (Rohis) si pemberi salam. Ternyata, sapaan tadi menjadi awal keakraban keduanya.
Sebelumnya, Budi selalu menghindar dari kegiatan Rohis, terutama acara membaca Al-Qur'an. Ia malas ikut karena tidak mahir membaca kitab suci itu. Saat di mushola, lazimnya ia lebih banyak bermain. Perang-perangan pakai sarung, misalnya.
Kakak kelas itu gigih. Dengan pendekatan yang santai dan penuh kesabaran ia terus mengajak. “Saya bilang, ‘Bang, saya nggak bisa ngaji.’ Tapi dia jawab, ‘Baca artinya saja, nggak apa-apa’.”
Di semester kedua kelas 1 SMA, tahun 1991, Budi mulai terlibat dengan gerakan dakwah yang saat itu dikenal sebagai tarbiyah. Inilah cikal bakal Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Ia mulai membaca terjemahan Al-Qur’an, dan itu ternyata menjadi pintu masuk baginya. “Ternyata enak juga, karena hanya perlu memahami maknanya,” ujarnya. Sedikit demi sedikit, ia mulai terbiasa mengikuti kegiatan keagamaan.
Ia mulai menemukan kenyamanan dalam mendengarkan, belajar, dan berdiskusi dengan teman-teman. Dari hanya sekadar membaca terjemahan Al-Qur’an, ia mulai memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. "Ternyata belajar agama itu menyenangkan, apalagi kalau dilakukan bersama-sama."
Kenakalan masa remaja yang dulu menjadi ciri khasnya perlahan hilang. “Kalau dulu saya dikenal suka bikin masalah, sekarang mulai dikenal sebagai orang yang ikut kajian,” katanya sambil tersenyum.
Komunitas yang diikutinya ternyata lebih dari sekadar kelompok belajar agama. Pimpinannya kakak-kakak kelas. Ada juga sejumlah mahasiswa yang aktif dalam gerakan dakwah membantu mereka sebagai pengarah.
Komunitas itu menggunakan pendekatan yang unik dan efektif. Setiap hari Ahad (Minggu) mereka mengadakan perhelatan bernama Studi Islam Intensif. Tidak hanya membahas materi agama, kegiatan diawali dengan bimbingan belajar gratis untuk pelajaran sekolah termasuk matematika, fisika, dan kimia.
Mereka yang jago dalam pelajaran akan mengajari juniornya secara gratis. Tapi sebelum belajar, hadirin diajak ngaji dulu. Konsep ini menarik banyak siswa, termasuk Budi, yang berhasrat memperbaiki nilainya di sekolah.
Para senior itu juga jauh dari kaku. “Cara mereka mengajar simpel. Kalau guru sering bikin ribet, kakak-kakak kelas ini kasih rumus singkat yang gampang dipahami. Misalnya, unsur besi itu ferrum, langsung hapalin. Jadi belajar terasa mudah dan menyenangkan.”
Kegiatan bukan sekadar peningkatan kemampuan akademis. Kakak-kakak kelas memperkenalkan konsep dakwah dengan cara alami dan bertahap. Mereka menanamkan nilai-nilai ke-Islam-an sambil menciptakan suasana belajar yang hangat.
Pesantren Kilat
Suatu hari, Budi Waluya diajak mentornya mengikuti dauroh yang dalam bahasa umum bersebutan pesantren kilat. Hanya dua hari acaranya. Jumat sore berangkat, Sabtu belajar, dan Minggu malam sudah pulang. Kegiatan ini di sebuah vila sederhana di Puncak. Tanpa biaya, siswa hanya perlu izin dari orang tua.
Di sana, Budi ternyata menemukan suasana yang berbeda. Para peserta belajar nilai-nilai Islam dengan cara yang interaktif dan menyenangkan. Bukan agama belaka materinya tapi banyak lagi termasuk ihwal kebersamaan. Di sana, dia merasa diterima apa adanya, tanpa dipandang dari sisi masa lalunya.
Sepulang dari vila, Budi merasakan ada semangat baru yang membakar dirinya. Ia tidak lagi melihat dunia dengan cara yang sama. “Kami pulang dengan pikiran yang penuh, semangat yang besar, dan kesadaran yang baru tentang pentingnya hidup sesuai dengan sistem Islam.”
Setelah Dauroh, para peserta dimasukkan ke dalam tim kecil (5 orang) yang dipimpin oleh seorang mentor atau murobi. Kelompok menjadi tempat mereka belajar dan berdiskusi secara lebih personal. Para mentor tidak hanya membimbing dalam memahami agama tetapi juga menjadi teman berbagi yang mendukung perkembangan mereka.
Salah satu bagian yang paling berkesan bagi Budi saat menjadi bagian dari kelompok kecil adalah latihan bela diri. Bukan sekadar latihan bertarung biasa yang dijalani. Mereka belajar jurus-jurus mematikan. Fokusnya bukan adu silat di lapangan tapi bagaimana bertahan hidup. Kalau sampai berhadapan, itu urusannya sudah hidup atau mati.
Darul Islam
Sebuah pertemuan tak terduga dengan pamannya, seorang anggota Darul Islam (DI), telah mengguncang keyakinan Budi Waluya kemudian.
Sang paman bertanya materi apa saja yang sudah dipelajarinya. Dengan bangga ia menerangkan soal Ma'rifatullah. Ternyata oom itu hanya tertawa kecil dan bilang, “Ah, ini masih cetek. Materi anak TK.”
Pamannya lalu memberikan penjelasan yang jauh lebih mendalam. Ia mengutip ayat Al-Qur’an: Inna hadainahu as-sabeela, imma syaakiro wa imma kafuro (Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan: jalan kebaikan atau jalan keburukan). Namun, interpretasi dia berbeda dari yang pernah Budi pelajari.
“Menurut dia, dua jalan itu adalah jalan DI [Darul Islam] dan jalan RI [Republik Indonesia]. Jalan DI dianggapnya benar, sementara RI dianggap tidak sesuai dengan Islam,” kenang Budi.
Sebagai siswa SMA yang baru mulai mendalami agama, ia merasa bingung. Pikirannya diganduli pertanyaan besar: apakah yang selama ini ia pelajari di kelompok dakwah sudah cukup?
Pamannya lantas mengajak dia mengikuti pengajian kelompoknya, malam itu. Penasaran, ia pun setuju.
Di pengajian ia bersua dengan teman-teman pamannya. Pembawaan mereka sangat lain: serba santai. Mereka berkaos oblong dan bercelana jeans. Ustadz-nya pun merokok. Sangat berbeda dengan Budi Waluya dan kawan-kawannya yang di lingkungan sesama orang PKS selalu terlihat Islami termasuk lewat pakaian koko.
Meskipun merasa asing, Budi terkesan dengan kedalaman ilmu mereka. Setiap ustadz menyampaikan dalil dengan sangat fasih. Hal yang membuatnya teringat pada gaya pengajaran ustadz-ustadz terkenal macam Adi Hidayat yang muncul belakangan. Hapalan ayat mereka luar biasa.
Kendati kagum, Budi tidak langsung menerima ajaran mereka. Ia merasa ada pertentangan besar dalam dirinya.
Ia mengalami pergolakan batin. Di satu sisi, dia cinta pada murobi, guru pertama yang membimbingnya sejak awal. Tapi di sisi lain, dalil-dalil dari paman seperti mematahkan apa yang sudah dipelajarinya.
Dia mendua. Hatinya terbelah. Namun, di tengah pergulatan ini, murobinya, seorang psikiater lulusan IKIP (sekarang UNJ), memainkan peran penting. Ia membimbing dengan sabar, tidak pernah memaksa, dan selalu menjawab pertanyaannya dengan logis.
Pengalaman ini menjadi salah satu momen terpenting dalam hidup Budi. Ia mulai belajar untuk tidak hanya menerima apa yang diajarkan tanpa berpikir panjang. Murobinya selalu mengingatkan: kalau ada sesuatu yang tidak sesuai, jangan langsung tolak, tapi pahami dulu sampai tuntas.
ISIS
Perjalanan keimanan seorang Budi Waluya panjang dan terjal-berliku. Sempat menjadi bagian dari Darul Islam, di tahun 2015 ia sudah merupakan unsur dari ISIS (singkatan dari Negara
Islam Irak dan Syam) yang dipimpin Abu Bakar Al Baghdadi.
Pada 11 Agustus 2015 The Sydney Morning Herald mengutip ucapannya bahwa 300 orang dari kelompoknya siap berangkat dari Jakarta ke Suriah untuk berjihad. Basis kelompok ISIS ini di Masjid Al-Fattah, Menteng, yang diapit oleh sekolah Kanisius dan Gedung Pusat Dakwah Muhammadyah. Mereka yang sudah menyiapkan paspor itu, lanjut dia, bukan hanya warga biasa tapi ada yang PNS, Polisi, dan TNI.
Otoritas Indonesia sempat geger setelah media Australia itu mewartakan ucapan Budi Waluya, yang kini menghidupi diri dengan menjadi terapis bekam.
Reporter: Rien HP dan P. Hasudungan Sirait