Sekolah Jurnalisme Parboaboa: Ikhtiar Menyemai Kesadaran Generasi Muda

Suasana belajar di Sekolah Jurnalisme Parboaboa. (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

PARBOABOA, Pematangsiantar - Arus informasi kini melaju tanpa jeda. Media tak lagi sekadar penyampai kabar, namun telah menjadi ruang di mana tafsir atas dunia dibentuk, disebar, dan dipertarungkan.

Apa yang ditulis dan disiarkan tak hanya merekam kenyataan, tapi juga turut menentukan arah berpikir masyarakat. Di tangan yang tepat, media dapat menyalakan kesadaran. Sementara jika gegabah, bisa memunculkan kekacauan.

Ketika narasi yang dibangun sarat kepentingan, publik kehilangan pegangan. Jurnalistik bukan hanya perkara teknis, melainkan juga tanggung jawab etis dan kultural—sebagai penjaga kewarasan bersama.

Berangkat dari kesadaran pentingnya peran media, Parboaboa membuka Sekolah Jurnalisme  sebagai ruang belajar yang menanamkan bahwa jurnalisme bukan sekadar menulis, tetapi menata perspektif, menjaga makna serta menyuarakan yang luput.

Kamis (10/4/2025), menjadi awal dari perjalanan baru di ruang belajar Parboaboa. Di lantai dua kantor redaksi yang terletak di Jl. Nias Pematang Siantar, Sumatera Utara, program kembali digelar dengan sebutan Sekolah Jurnalisme Parboaboa.

Program ini memasuki angkatan kedua dan akan berlangsung selama tiga bulan ke depan. Sebelumnya, perhelatan serupa telah diadakan pada Januari hingga Maret 2025.

Namun kali ini, Sekolah Jurnalisme Parboaboa menggandeng Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Ketua AJI Indonesia Nany Afrida menyambut baik kerjasama ini.

“Ini kerjasama yang penting karena misinya jelas yaitu meningkatkan skill dan wawasan  jurnalis. Bukan orientasi profit semata. Kami senang. Banyak teman kehilangan pekerjaan. Mereka butuh fellowship,” kata Nany beberapa waktu lalu di kantor AJI Indonesia di Jakarta.

Nany sendiri akan datang ke Pematangsiantar membawakan dua materi, yakni: menjadi jurnalis profesional di era digital dan memperjuangkan hak perempuan, anak, dan kelompok minoritas.

Program ini telah dimulai sejak Kamis, 9 April dipandu langsung oleh Pemimpin Redaksi Parboaboa.com P. Hasudungan Sirait atau yang akrab disapa Bang Has. Kelas dimulai pukul 08.00 dan berakhir hingga 16.00.

Ia menjelaskan dalam merancang pendidikan jurnalisme ini pendekatan yang digunakan bukan sekadar menyampaikan teori, tetapi juga banyak praktek lapangan. Selain itu peserta juga akan dibekali knowledge yang memadai termasuk soal ekonomi, politik, sosial, budaya, lingkungan, budaya, dari para pembicara yang mumpuni di bidangnya. Tujuannya agar nantinya peserta dapat memahami persoalan secara mendalam saat turun ke lapangan mengerjakan tugas yang diberikan.

p hasudungan sirait

 

Pemimpin Redaksi Parboaboa, P Hasudungan Sirait sedang menjelaskan program (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

Fokus utama pelatihan bukan semata pada kemampuan teknis, tetapi membentuk cara berpikir yang tajam dan reflektif terhadap realitas sosial, budaya, lingkungan, ekonomi, hingga persoalan lainnya yang ada di sekitar mereka.

"Jadi, tujuan utama pendekatan ini adalah membangun kesadaran kritis, karena itu sebagai bekal utama bagi siapa pun yang ingin menjadi jurnalis dan penulis," jelas Bang Has, Kamis (10/4/2025).

Pada minggu-minggu awal, pelatihan difokuskan bukan pada teknik menulis dan jurnalistik, melainkan cara memandang dunia. Public speaking dipilih sebagai materi pembuka untuk melatih kejernihan dan keteraturan dalam menyampaikan gagasan.

"Kemampuan berbahasa itu hanyalah alat, sedangkan yang lebih penting di awal pelatihan adalah menanamkan cara berpikir kritis," tambahnya.

Peserta diajak untuk mengasah kepekaan, membebaskan diri dari bias dan prasangka yang mungkin tidak disadari. Sebab, objektivitas hanya bisa dicapai bila seseorang mampu melihat dunia dengan pikiran terbuka.

Agar proses belajar tidak sekadar menjadi ajang transfer ilmu, pelatihan ini dimulai dengan membongkar pola pikir lama yang masih melekat.

"Setiap pemahaman yang terbentuk sejak kecil coba dikaji ulang—dilepaskan dari selera pribadi, kepentingan golongan, atau prasangka yang tak disadari," demikian kata Bang Has.

Tujuannya agar peserta kembali pada rel atau kejernihan berpikir, sebagai fondasi dalam membentuk sikap jurnalis yang kritis dan bertanggung jawab.

Narasumber Pakar 

Pada bulan pertama, peserta akan berdialog dengan pengajar yang pakar di bidangnya termasuk aktivis masyarakat adat, pegiat budaya, pengamat politik, hingga aktivis pro-demokrasi. Memasuki bulan kedua, fokus bergeser ke praktik jurnalistik dan keterampilan menulis. Di bulan ketiga, peserta akan menyusun tugas akhir berupa reportase mendalam.

Bang Has menambahkan, nantinya ide liputan peserta akan dipresentasikan dan didiskusikan sebelum dikerjakan. Tugas ini bernilai 30 persen dari total penilaian. Peserta terbaik berpeluang besar menjadi kontributor Parboaboa.

Setelah menyelesaikan seluruh proses pelatihan selama tiga bulan, setiap peserta akan menerima sertifikat yang dikeluarkan secara bersama antara Parboaboa.com dan AJI Indonesia.

Kelas yang hangat

Pada hari pertama, suasana kelas di lantai dua kantor redaksi Parboaboa tampak hangat khususnya saat sesi perkenalan dimulai. Satu per satu peserta menyebutkan nama, latar belakang, dan alasan mereka datang.

Triveni Gita Lestari Waloni (26), adalah salah satu peserta terjauh yang berasal dari Manado, Sulawesi Utara. Ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Pulau Sumatera. Sebuah langkah sekaligus keberanian besar. Ia merasa inilah saatnya menentukan arah hidup dan perempuan muda ini memilih jurnalisme.

kelas magang siantar

Suasana kelas di hari pertama (Foto: PARBOABOA/P Hasudungan Sirait)

"Di dunia jurnalisme, saya merasa bebas dan menemukan diri saya sendiri," tuturnya dengan percaya diri pada Parboaboa, Kamis (10/4/2025).

Ia menyadari bahwa jalan yang dipilih bukan tanpa tantangan. Dunia jurnalistik kerap digambarkan keras, maskulin, dan sering mengabaikan sisi empati. Namun, semangatnya tak surut.

Gita saat ini bekerja di salah satu media di Manado. Keinginan belajarnya yang kuat untuk mendalami jurnalisme membuat kantornya mengizinkan ia terbang ke barat menjemput pengalaman baru.

Ia masih optimis terhadap dunia jurnalistik di Indonesia. Apalagi saat dirinya menyimak paparan silabus yang dirancang mendalam dan sistematis yang disampaikan Bang Has. Ia merasa harapannya tak keliru.

"Saya sudah datang jauh-jauh. Harapan saya, pulang nanti harus banyak membawa ilmu dan pengalaman," tuturnya denga senyum.

Peserta perempuan lainnya adalah Sarah Manurung (20), mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar.

Meski terbilang muda, ia telah selesai menulis buku berjudul Goresan Takdir di Kota Daeng yang kini sedang dalam proses penerbitan.

Kendati lebih akrab dengan dunia fiksi, ia tetap tertarik bergabung di Sekolah Jurnalisme Parboaboa.

“Menulis buku adalah cara saya mengekspresikan ide dan imajinasi, tapi saya percaya dunia kepenulisan sangat luas. Salah satunya adalah jurnalisme,” ujarnya pada Parboaboa, Jumat (11/4/2025).

Bagi Sarah, jurnalisme adalah ruang untuk belajar menyampaikan cerita-cerita yang nyata dan relevan bagi publik. Ia ingin memperdalam keterampilan menulis yang bukan hanya memikat, tetapi juga faktual dan bertanggung jawab.

Pengalamannya saat menulis buku fiksi membentuk kepekaannya dalam merangkai emosi dan memahami karakter. Ia melihat bahwa jurnalisme pun punya daya yang serupa, bahkan dengan dampak yang lebih luas.

“Jurnalisme bukan cuma soal melaporkan kejadian, tapi juga tentang menyuarakan hal-hal yang penting untuk diketahui publik,” ucapnya.

Sarah berharap, setelah mengikut pelatihan, ia bisa menjadi pribadi yang lebih percaya diri dan tajam dalam melihat realitas.

Ia ingin menjadi jembatan bagi cerita-cerita yang selama ini terabaikan, terutama dari daerah asalnya.

“Lewat tulisan dan liputan, saya ingin berkontribusi membangun ruang informasi yang jujur, bermakna, dan membangun kesadaran bersama,” tutupnya.

Editor: Rin Hindrayati

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS