Khianati Rakyat dari UU Ciptaker Hingga Batas Usia Cawapres, Buruh Desak Bubarkan MK

Berbagai putusan kontroversial memperkuat desakan masyarakat soal pembubaran Mahkamah Konstitusi (MK). (Foto: PARBOABOA/Puspita)

PARBOABOA, Jakarta – Berbagai putusan kontroversi memperkuat desakan masyarakat soal pembubaran Mahkamah Konstitusi (MK).

Di antaranya Undang-Undang Cipta Kerja yang akhirnya disahkan meski sudah menjalani dua kali uji materiil dan keputusan MK soal batas usia calon wakil presiden (cawapres) yang diduga sebagai cara meloloskan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo mengikuti Pilpres 2024.

Terbaru, MK menolak uji materi soal batas usia maksimal calon presiden (capres) 70 tahun yang juga diduga meloloskan Prabowo Subianto sebagai capres di Pilpre 2024.

Organisasi buruh dalam hal ini Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) menjadi salah satu yang turut mendesak pembubaran MK.

Menurut Presiden Aspek Indonesia, Mirah Sumirat, pola yang sama diterapkan MK terhadap putusan kontroversinya.

"Lagi-lagi pembuatan Undang-undang tanpa melibatkan keterlibatan publik, kami mengingatkan soal putusan UU Ciptaker padahal sudah dikatakan inkonstitusional bersyarat tapi tetap disahkan ujung-ujungnya,” ujarnya kepada PARBOABOA, Selasa (24/10/2023).

Mirah merinci, UU Ciptaker yang disahkan pada 2021 sudah jelas dinyatakan inkonstitusional karena belum melibatkan partisipasi publik.

Setelah itu, Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu Ciptaker yang ternyata isinya menjiplak atau copy paste dari UU Ciptaker 2021. Bahkan pada Maret 2023, Perpu Ciptaker itu malah disahkan menjadi UU Ciptaker.

Mirah mengaku, Aspek Indonesia mengajukan uji materi karena optimistis mendapatkan keadilan dari MK.

”Setelah itu Ketua MK menikah dengan adik Jokowi, artinya menjadi adik ipar Jokowi, kami menjadi pesimis, timbul pertanyaan dari kami, mungkinkah MK masih bisa profesional?” katanya.

Kegamangan dan firasat Mirah terhadap profesionalitas Hakim MK dikebiri menjadi kenyataan.

"Ternyata MK menolak judicial review dari buruh termasuk dari saya, tambah lagi muncul diperbolehkan wakil presiden di bawah usia 40 tahun. Ini terlalu vulgar, publik sudah menolak calon presiden dan wakil presiden umur di bawah 40 tahun, ternyata MK memutuskan boleh di bawah 40 tahun sepanjang berpengalaman, ini menjadi ambigu, ternyata itu menjadi karpet merah untuk Gibran,” kesalnya.

Bahkan belakangan, Gibran yang juga keponakan Hakim MK itu menjadi cawapres pendamping calon presiden Prabowo Subianto. Dengan fakta-fakta itu, kata Mirah, mustahil bagi masyarakat mendapatkan keadilan.

"Percuma kalau menurut saya, keadilan hanya slogan jika bicara tentang konstitusi, keadilan hanya sebuah lips servis semata,” katanya.

Untuk itu, Mirah mendesak MK segera dibubarkan karena kerap mengesahkan peraturan kontroversial dan tidak pro rakyat. Padahal, kata dia, MK menjadi gerbang utama rakyat mendapat keadilan.

“Mahkamah Konstitusi harus dibubarkan. Kita mau kemana lagi jika tumpuan kita menuntut keadilan dikebiri," tukas dia.

MK Produk Reformasi Gagal

Sementara itu, Pengamat Politik dari Universitas Nasional TB. Massa Djafar meminta agar Anwar Usman sebagai Ketua MK harus segera dievaluasi.

Menurutnya, kebijakan yang dikeluarkan MK di kepemimpinan Anwar Usman tidak bisa didiamkan, karena  karena akan merusak MK sebagai produk reformasi.

"Ini sudah terlalu jauh, MK merupakan produk reformasi yang lahir dari tuntutan keadilan bagi masyarakat," katanya kepada PARBOABOA.

Berbeda dari pernyataan Mirah, Massa mengungkap, bukan MK yang harus dibubarkan akan tetapi evaluasi secara menyeluruh struktur organisasi MK, termasuk Anwar Usman.

"Ibarat ingin memburu tikus, jangan seluruh ladang padi dihancurkan, evaluasi secara menyeluruh, audit dan segera berangus praktik nepotisme di kalangan penegak hukum,” jelas dia.

Indonesia, kata Massa sudah memilih jalan demokrasi dengan harapan rakyat atau partisipasi publik menjadi pertimbangan dan hukum menjadi panglima sebagai jalan keadilan bagi rakyat.

"MK saat ini memperlihatkan pola otoritarian dan melanggar etika dan hukum tata negara kita, apa yang dilakukan sudah melakukan abuse of power, tidak boleh ada yang kebal hukum di negara ini, kita lihat dari internal sesama hakim saja sudah berbeda, artinya ada masalah, indikasi kuat ada konflik kepentingan, mereka menjustifikasi aturan main,” jelas dia.

Penegak konstitusi, ungkap Massa, tidak menjawab kebutuhan negara ini dalam menegakkan konstitusi untuk memperkuat jalan demokrasi, melalui MK harusnya keadilan dapat ditegakkan.

"Demokrasi terancam, kekuasaan mendominasi mengalahkan supremasi hukum, apa jadinya jika MK justru yang menimbulkan kegaduhan di masyarakat tanpa melihat asas kepatutan, bisa dilihat pendidikan politik bagi rakyat, kompetisi yang tidak adil, padahal pengalaman juga harusnya terukur, kalau tidak celaka negara, sebab sudah melawan logika sosial,” bebernya.

Massa yakin, jika rasa keadilan rakyat dihancurkan, keberatan buruh tidak diperhatikan, masyarakat berpotensi anarkis.

"Rasa keadilan rakyat diusik, MK jadi alat kekuasaan, buruh tidak indahkan, hakimnya sangat jahat sudah berani mengacak-acak sistem tata negara kita, menciptakan iklim politik yang tidak baik maka jangan salahkan jika rakyat bertindak anarkis," pungkasnya.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS