CSIS: Demokrasi Era Jokowi Menurun, Berganti Dictatorship

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat melantik Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. (Foto: Sekretariat Presiden)

PARBOABOA, Jakarta – Lembaga Center for Strategic and International Studies (CSIS) menilai ada tren kemunculan dictatorship atau kediktatoran yang budiman dalam demokrasi Indonesia, terutama di era Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Menurut Peneliti CSIS, Nicky Fahrizal, ada tiga gejala dictatorship yang dirasakan sebagian warga negara di era kepemimpinan Jokowi.

"Yang pertama, menggunakan instrumen hukum atau proses hukum yang sah dalam menekan opini dan kritik terkait ekspresi kelompok oposisi atau masyarakat sipil," ujar Nicky di Jakarta, Senin (25/9/2023) kemarin.

Ia mengatakan, kasus yang terjadi pada dua aktivis HAM, Haris Azhar dan Fatia merupakan contoh penggunaan hukum yang sah untuk menekan kelompok kritis.

Keduanya dipidanakan karena dianggap mencemarkan nama baik Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.

Haris Azhar dan Fatia sebelumnya didakwa melanggar pasal di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan pasal di KUHP tentang penghinaan.

"Kasus yang menimpa Fatia dan Haris itu sebenarnya instrumennya secara sah berlaku sebagai hukum positif. Hanya saja di tangan pejabat yang memang tidak menginginkan adanya kebebasan berpendapat itu akan berubah menjadi instrumen untuk menyerang balik," jelas Nicky.

Instrumen lain yang digunakan di era Jokowi, lanjut Nicky, yaitu Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE), aturan yang bisa berubah menjadi senjata di tangan pejabat yang anti kebebasan berpendapat.

"Menetapkan regulasi melalui hukum yang membatasi gerak atau pendapat masyarakat sipil dan menekan daya kritis," ungkapnya.

Terakhir, kata Nicky, pemerintah menggunakan serangan siber untuk melemahkan kelompok kritis atau oposisi.

Serangan siber kerap dirasakan warga negara ketika mengkritik kebijakan pemerintah menjadi salah satu indikator ekosistem dictatorship.

Namun, ungkapnya, pemerintahan yang sah tidak akan menyerang langsung karena takut menurunkan kredibilitasnya, tapi menyiapkan kelompok ketiga atau buzzer untuk menyerang orang-orang kritis.

"Itu yang terjadi di ruang digital kita," kata Nicky.

Kondisi itu sudah terbukti nyata, karena dalam 5 tahun terakhir, banyak akun media sosial jurnalis dan media yang diretas.

"Beberapa minggu lalu, akun Instagram AJI (Aliansi Jurnalis Independen) di-hack. Kita enggak tahu siapa yang hack, kita hanya bisa menilai aja, ini kok bisa ya? Artinya, ini menandakan bahwa demokrasi kita sudah menurun dan menunjukkan gejala dictatorship," ungkap Nicky.

Ditambahkannya, salah satu cara menghentikan gejala dictatorship, yaitu dengan memilih pemimpin yang punya komitmen terhadap demokrasi dan kebebasan sipil.

"Pemilu 2024, kita harus yakin gejala ini tidak semakin tebal dengan memilih pemimpin yang memiliki komitmen terhadap demokrasi nasional dan kebebasan sipil yang kuat," pungkas Nicky Fahrizal.

Kritik terhadap pemerintahan Jokowi juga pernah disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid yang menilai wajah politik Indonesia di era Presiden Jokowi seperti zaman orde baru (Orba).

Penilaian tersebut menyusul pernyataan Jokowi yang mengaku mengetahui arah koalisi partai politik (parpol) menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024.

Usman mensinyalir Jokowi menyalahgunakan informasi intelijen terkait gerak-gerik parpol untuk kepentingan politik 2024.

Menurutnya, sikap Jokowi itu menunjukkan kemunduran dan mengingatkan publik terhadap wajah politik era orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Usman menegaskan watak memata-matai lawan politik harus ditinggalkan, apalagi Indonesia telah masuk era reformasi yang menjunjung tinggi nilai demokrasi.

Ia juga menyarankan intelijen negara, baik BIN, Polri maupun TNI fokus pada keamanan nasional jelang Pemilu 2024.

"Bukan malah memata-matai parpol," tegas Usman Hamid.

PARBOABOA berupaya melakukan konfirmasi terkait hasil penelitian dari CSIS kepada Tenaga Ahli di Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin.

Namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada jawaban dari yang bersangkutan.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS