Dokter Koas Pemicu Penganiayaan di Palembang Resmi Dibekukan

Dokter koas pemicu penganiayaan di Palembang resmi dibekukan. (Foto: Dok. Kemenkes)

PARBOABOA, Jakarta - Lady Aurelia Pramesti (LD), seorang dokter muda di Palembang, resmi dibekukan statusnya sebagai mahasiswa kedokteran. 

Keputusan ini diambil setelah LD terlibat dalam kasus penganiayaan terhadap dr. Muhammad Luthfi, Ketua Koordinator Koas di RSUD Siti Fatimah, Palembang.

Kejadian bermula dari perdebatan terkait jadwal piket jaga di tahun baru. Pada Rabu, 11 Desember 2024, ibu LD, Sri Meilina alias Lina, bersama sopirnya, Fadilla alias DT, menemui dr. Luthfi di sebuah tempat makan di kawasan Demang Lebar Daun, Palembang. 

Pertemuan tersebut bertujuan untuk membahas permintaan perubahan jadwal piket LD di RSUD Siti Fatimah, di mana dr. Luthfi bertanggung jawab sebagai koordinator.

Selama diskusi, dr. Luthfi dianggap tidak memenuhi permintaan perubahan jadwal tersebut, sehingga memicu emosi Fadilla alias DT. Situasi memanas dan berujung pada insiden pemukulan terhadap dr. Luthfi.

Akibat hal itu, LD kini dibekukan statusnya sebagai mahasiswa kedokteran dari Universitas Sriwijaya (Unsri), Palembang.

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Azhar Jaya, dalam sebuah keterangan resmi belum lama ini mengatakan, apa yang menimpa Muhammad Luthfi merupakan kategori bullying kasuistik.

Itulah sebabnya kata dia, pihak kampus mengambil keputusan untuk membekukan status LD sebagai pemicu penganiayaan sampai proses hukum kasus ini tuntas.

"Status oknum (LD) ini sebagai mahasiswa sudah dibekukan sementara oleh dekannya sampai kasusnya jelas dengan kepolisian," kata Azhar.

Adapun DT sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan. Ia dijerat pasal 351 ayat 2 KUHP dengan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Ari Fahrial Syam menyebut, kejadian yang melibatkan LD sebagai tindakan kriminal.

Karena penganiayaan melibatkan pihak ketiga, kata dia, kasus ini harus ditangani serius oleh polisi. Hal itu penting agar masyarakat memahami bahwa penganiayaan adalah pelanggaran serius yang tidak bisa dibiarkan.

"Penegakan hukum perlu ditunjukkan ke masyarakat agar jangan sampai ada anggapan bahwa penganiayaan mudah dilakukan ke orang lain," pungkasnya.

Bullying di Lingkungan Kedokteran

Kasus yang menimpa Muhammad Luthfi menambah daftar panjang kasus bullying di lingkungan sekolah kedokteran, meski dengan modus yang berbeda-beda.

Jika dalam kasus di atas, pelaku bullying melibatkan pihak ketiga, dalam kasus yang lain, bullying atau perundungan terjadi justru antara senior dengan yunior.

Hal itu dikonfirmasi oleh Menteri Kesehatan (Kemenkes) RI, Budi Gunadi Sadikin, dengan menyatakan, kasus perundungan di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) masih menjadi masalah serius.

 

Hingga Agustus 2024, kata dia, Kemenkes mencatat 234 laporan perundungan, dengan program studi penyakit dalam menjadi yang paling banyak dilaporkan, diikuti bedah dan anestesiologi. 

Masalah ini mencuat setelah kasus mahasiswa PPDS Universitas Diponegoro yang ditemukan meninggal dunia di kosnya, yang diduga terkait dengan perundungan.

Dari data yang dihimpun, prodi penyakit dalam mencatat 44 kasus, bedah 33 kasus, dan anestesiologi 22 kasus. Selain itu, laporan kasus juga muncul dari prodi seperti bedah plastik, bedah saraf, mata, ortopedi, obgyn, neurologi, dan anak, meskipun jumlahnya lebih sedikit.

Menkes Budi juga mengungkapkan hasil skrining kesehatan jiwa peserta PPDS, di mana 399 peserta diketahui memiliki indikasi keinginan untuk bunuh diri. Kondisi ini, tegasnya, menunjukkan dampak serius dari tekanan yang dialami peserta selama menjalani pendidikan.

Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, menambahkan, dari 1.000 laporan yang masuk ke Kemenkes, sekitar 300 kasus telah terverifikasi sebagai praktik perundungan. 

Atas kondisi ini, ia menegaskan pentingnya investigasi menyeluruh dan penghentian total perundungan dalam pendidikan kedokteran, mengingat profesi dokter, tuturnya, "harus dijalani dengan hati yang bersih, tanpa adanya praktik senioritas atau kekerasan dalam bentuk apa pun."

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS