PARBOABOA, Pematang Siantar - Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara menepis dugaan ketimpangan penyaluran bantuan sosial (bansos) program keluarga harapan (PKH) yang sebelumnya menjadi sorotan masyarakat.
Menurut Koordinator PKH Dinsos P3A Pematang Siantar, Rudi Hartono, data penerima bansos PKH merupakan ketetapan Kementerian Sosial (Kemensos).
"Tidak ada yang namanya pengusulan atau titip nama dari pihak kelurahan maupun yang menjadi kerabat, semua data sesuai dari pendaftar di pendataan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), yang memutuskan itu dari pusat (Kemensos). Jadi ketika masyarakat sudah mengajukan dan mendaftar diri, pastinya mereka itu dalam daftar tunggu," katanya ditemui PARBOABOA di ruangannya, Selasa (8/8/2023).
Rudi menjelaskan, penerima PKH tahun ini sebanyak 8.121 orang yang disalurkan dalam dua tahap, yaitu pada Maret dan Juli 2023.
"Anggaran yang sudah disalurkan pada tahap pertama dan tahap kedua sebanyak Rp12 miliar yang berasal dari APBN 2023, sehingga anggaran berasal dari pusat semua, dengan penerima PKH sebanyak 8.121 orang," jelasnya.
Rudi menegaskan penyaluran dan pendataan sesuai Pasal 35 Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Program Keluarga Harapan (PKH). Sehingga, penggantian data penerimaan bantuan pun kewenangan Kemensos.
"Untuk penggantian data penerima bantuan juga itu sudah ketentuan dari pusat. Bisa saja dari pusat langsung mengganti penerima bantuan, sesuai kriteria komponen, kami hanya membantu dan menginformasikan bagi penerima bantuan PKH itu sendiri," timpalnya.
Dinsos P3A, kata Rudi, berencana akan mendata ulang atau melakukan verifikasi faktual terhadap penerima dana PKH.
"Kami juga sudah lakukan konsultasi dan sosialisasi bersama dengan tim pendamping PKH, sehingga masyarakat juga bisa merubah mindset untuk secara mandiri mengelola keuangannya," imbuh dia.
Respons Pengamat
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Pematang Siantar, Kristian Silitonga menilai polemik penyaluran bansos terjadi karena kurangnya pengawasan mulai dari pendaftar calon penerima PKH hingga distribusi bantuan sampai ke tangan masyarakat yang membutuhkan.
"Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana selama ini prosedur monitoring, evaluasi dan pembaharuan dari data DTKS tersebut? Tentu, seharusnya Kementerian Sosial dapat mengevaluasi ini sampai pada tingkat daerah, karena di tingkat pemerintahan daerah data ini berproses," katanya kepada PARBOABOA.
Kristian menegaskan, penyelewengan pengelolaan data dan pendistribusian bantuan PKH melanggar Pasal 5 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dimana ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sehingga, lanjut Kristian, penyaluran bansos tersebut merupakan pelayanan jasa publik, yang dilakukan penyelenggaraan pelayanan publik yang memiliki kewenangan menyalurkan dana bansos.
"Sebenarnya setiap lurah dapat mengusulkan warga yang tidak mampu dan membutuhkan di wilayahnya untuk masuk DTKS dan mengakses bantuan. Apabila ada warga yang merasa kurang mampu dan membutuhkan akses bansos namun belum masuk dalam DTKS atau sudah ada dalam DTKS namun belum pernah diusulkan untuk mendapatkan bansos, dapat melaporkan diri melalui unsur pemerintah terkecil di wilayahnya, seperti RT/RW maupun lurah di daerahnya agar dapat diusulkan sebagai PKH bansos," jelasnya.
Kristian mengimbau Dinsos P3A Pematang Siantar tidak berlindung atas kewenangan Kementerian Sosial jika data penerima bantuan tidak tepat sasaran bagi masyarakat yang membutuhkan.
"Apabila pengusulan sudah dilakukan dari kelurahan, selanjutnya akan ada kunjungan rumah dalam rangka verifikasi kelayakan keluarga tersebut sesuai kriteria yang telah ditentukan oleh kementerian. Jangan seolah-olah berdalih bahwa itu ketentuan dan penetapan penerimaan bantuan mutlak dari kewenangan Menteri (Sosial), seseorang akan dinyatakan sah sebagai penerima PKH apabila data-data usulan telah melalui proses validasi dan terverifikasi layak menjadi penerima bansos. Layak inikan kuncinya kurang mampu," kesalnya.
Kristian lantas meminta Pemko Pematang Siantar memperbaiki dan meminimalisir terjadinya salah sasaran dari penerima bansos PKH.
"Muaranya perlu adanya penyempurnaan juga terkait dengan prosedur penyaluran dan proses validitas penerimaan bansos, setidaknya meminimalisir terlebih dahulu, baru memperbaiki dengan total," imbuhnya.
Sebelumnya, T Panggabean (42), warga Kelurahan Marihat Jaya, Kecamatan Siantar Marimbun, Kota Pematang Siantar meminta pendataan penerima bansos PKH oleh Dinsos P3A dilakukan sesuai fakta di lapangan.
"Pendataan seharusnya sesuai fakta. Masih banyak yang masuk kategori kurang mampu, tidak mendapatkan bantuan itu. Segera melakukan validasi data. Mana saja warga yang berhak menerima bantuan ini. Masa ada penerima bantuan PKH punya hubungan dan dekat sama lurah. Soalnya kami setiap ada bantuan tidak pernah dapat, padahal berkas kami udah banyak di kantor-kantor mereka (Dinsos) dan kelurahan," tegasnya, Senin (7/8/2023).
Panggabean yang kesehariannya bekerja sebagai kuli bangunan mengingatkan agar Dinsos P3A Pematang Siantar lebih transparan dan memperbaiki pendataan terkait penyaluran bantuan PKH.
"Sebenarnya program pemerintah seperti ini sudah bagus. Yang jadi masalahnya pemerintah yang di bawah tidak menjalankan dengan amanah. Semoga diperbaiki lebih lanjut pendataan dan penyalurannya," pintanya.
Senada dengan Panggabean, Fauzi (27) mengungkapkan orang tuanya menjadi korban pergantian data penerima bantuan PKH.
"Orang tua saya sudah pernah terdaftar sebagai penerima PKH mulai tahun 2021. Tetapi ATM PKH miliknya diblokir akhir tahun 2022. Enggak bisa digunakan. Sudah bolak balik ke bank terkait dan lurah juga tidak bisa. Jadinya malas juga ngurusnya sebab tidak ada titik terang. Tahu-tahunya datanya orang tua sudah diganti sama orang lain. Alasannya kami sudah tergolong keluarga mampu," jelasnya kepada PARBOABOA.
Fauzi mengungkapkan, pergantian data itu membuat keluarganya bingung. Namun, mereka enggan melaporkan hal tersebut kepada Pemerintah Kota Pematang Siantar.
"Kami jadi bingung, apakah kami akan bawa ke ranah hukum atau tidak, jadinya kami biarkan saja, takut juga jadi kami yang malah disalahkan," keluhnya.