Dokumenter Amber, Cerita Kekesalan Orang Papua akan Kebijakan Pemerintah Indonesia

Tangkapan layar peluncuran film berjudul Amber, yang bercerita tentang orang-orang asing berkedok investor datang ke tanah Papua dan kemudian merusak alam Bumi Cendrawasih. (Foto: Parboaboa/Muazam)

PARBOABOA, Jakarta - Orang Asli Papua (OAP) geram terhadap sejumlah kebijakan pemerintah di Papua yang tidak pernah berpihak pada masyarakat di sana. Kebijakan tersebut di antaranya otonomi khusus, pemekaran daerah baru hingga masuknya investor asing yang menjarah kekayaan alam Papua. Termasuk jutaan hektare hutan adat mereka yang terancam deforestasi.

Keresahan dan kekhawatiran tersebut dituangkan dalam sebuah film dokumenter berjudul 'Amber', hasil kolaborasi antara lembaga pemerhati lingkungan, Greenpeace dengan TV Tempo.

Amber berasal dari bahasa Biak, Papua yang berarti 'orang asing'. Pemilihan judul film tersebut merujuk pada orang-orang asing dengan kedok investor yang datang ke tanah Papua dan kemudian merusak alam.

Dalam film dokumenter itu, tergambar keluhan masyarakat Papua yang tidak diajak berdialog menentukan kebijakan dan arah pembangunan tanah kelahiran mereka, utamanya tentang kebijakan otonomi khusus.

"Dewan adat Papua tidak dilibatkan. Tidak satu pun kebijakan yang melibatkan masyarakat Papua," ungkap Jurnalis Tempo Alfan Noviar yang menceritakan proses pembuatan film dokumenter tersebut di diskusi peluncuran film Amber di Jakarta, Senin (22/5/2023).

Bahkan saat proses wawancara video, kata Alfan, masyarakat Papua banyak menolak diwawancarai, karena mereka enggan berbicara soal otonomi khusus (otsus) yang selama ini membuat banyak hutan adat di Papua hancur dan hilang.

"Sudah malas bicara soal Otsus. Semua marah, semua ke-trigger ketika bicara Otsus," ungkapnya.

Otsus Hanya Jadikan Masyarakat Papua Objek Eksploitasi

Sementara lembaga pemerhati lingkungan, Greenpeace menilai, kebijakan Otsus hanya menjadikan orang asli Papua sebagai objek eksploitasi. Pembangunan pemerintah tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat adat Papua, justru menjadi karpet merah buat oligarki. Apalagi setelah dua dekade Otsus, Orang Asli Papua tengah dihadapkan dengan pemekaran daerah otonomi baru (DOB) yang disahkan pemerintah pusat dan DPR di 2022.

Greenpeace menilai, DOB akan berakibat pada deforestasi. Apalagi selama ini pembentukan DOB tidak transparan, terutama terkait rencana zonasi dan mengabaikan kontribusi dan kepentingan masyarakat adat Papua.

Selain Greenpeace, Dosen Universitas Papua, Agus Sumule menyebut kebijakan DOB tidak akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Papua.

"Saya sanksi DOB bisa memberikan kesejahteraan terhadap OAP," ujar Agus dalam diskusi peluncuran film di Jakarta, Senin (22/5/2023).

Menurutnya, jika ingin mensejahterakan masyarakat Papua, pemerintah harus memastikan hutan adat tidak dipindahtangankan ke investor. Hutan adat harus tetap milik orang Papua.

"Kalau tanah mau dimanfaatkan harus ada izin betul-betul dari masyarakat. Harus ada ganti rugi yang benar. Harus dapat ganti rugi secara berkala, setiap tahun," tegasnya.

Sementara itu salah seorang orang asli papua, Rosita membenarkan otonomi khusus dan daerah otonomi baru tidak menguntungkan orang asli Papua.

"Pemekaran itu tidak menguntungkan masyarakat adat, karena mengancam hutan kami," ujar Rosita.

DOB ini cuma akal-akalan pemerintah untuk mengambil semua hutan adat Papua, imbuhnya.

Film Amber sudah bisa ditonton melalui YouTube TV Tempo mulai Senin (22/5) pukul 13.00 WIB.

Editor: Kurnia Ismain
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS