PARBOABOA, Jakarta - Tokoh-tokoh besar selalu meninggalkan jejak yang tak mudah dilupakan. Mereka tidak hanya dikenang karena jabatan atau prestasi, tetapi karena pemikiran dan nilai-nilai yang mereka wariskan.
Fransiskus Xaverius Seda, atau Frans Seda, adalah salah satunya. Pria kelahiran Maumere, Flores 4 Oktober 1926 ini bukan hanya dikenal karena kiprahnya di pemerintahan, tetapi karena komitmen dan kebijaksanaannya dalam menjaga arah bangsa di tengah arus krisis dan perubahan.
Richardus Djokopranoto, mantan Ketua Pemuda Katolik Indonesia, menjuluki Frans sebagai “Kresna dari Tanah Flores.” Dalam budaya Jawa, Kresna adalah sosok bijak dan sakti, penasehat Pandawa, yang kehadirannya selalu menentramkan dan menuntun.
Demikian pula Frans, dengan kharisma dan kecerdasannya, menjadi penasehat dan pelaku sejarah yang perannya sangat sentral namun kerap dijalankan dengan rendah hati dan senyap.
“Keluwesan dan kecerdikannya menonjol, kebijaksanaannya unggul, dan semangatnya tak pernah padam,” tulis Richardus, sebagaimana dikutip Mikhael Dua dalam “Frans Seda Merawat Indonesia di Saat Krisis.”
Saat dipercaya menjadi anggota Dewan Penasehat Pengembangan Kawasan Indonesia Timur, Frans menyampaikan gagasan-gagasan yang melampaui zamannya.
Lewat tulisan di harian Kompas (21 Maret 1990), ia mengkritik ketimpangan pembangunan yang terjadi antara Bali dengan kawasan Indonesia bagian timur yang lain, termasuk di kampung halamannya.
Bali disebutnya sebagai "Taman Firdaus, tetapi masyarakat di timur masih harus “berjuang untuk bahagia.”
Pandangan Frans memperlihatkan kejernihan visinya yang tidak sempit. Lewat tulisan yang sama, ia memberi peringatan bahwa wilayah timur Indonesia tidak boleh terus-menerus tertinggal.
Jika Bali maju karena kemegahan pariwisatanya, maka Flores yang secara geografis tidak berjauhan dengan Pulau Dewata harus menjadi "Taman Eden" baru.
Kendati demikian, Frans tak berhenti pada kritik. Ia menawarkan solusi konseptual, yakni pembangunan harus bertumpu pada manusia, bukan bangunan.
“Jangan berinvestasi dalam gedung-gedung, tetapi dalam perangkat intelektual—dalam pembinaan kader yang berprinsip dan punya keahlian.”
Ia yakin, pembangunan sejati hanya akan terjadi jika rakyat memiliki kapasitas, daya saing, dan sistem produksi yang mendukung keberlanjutan. Bagi Frans, pemberdayaan masyarakat dan desentralisasi dana adalah kunci kemajuan Indonesia Timur.
Arsitek Ekonomi di Tengah Krisis
Dalam masa-masa paling sulit Republik, Frans menjadi tokoh kunci. Ketika Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Dwikora dan membentuk Kabinet Ampera (1966-1968), Frans dipercaya Soeharto sebagai Menteri Keuangan.
Dengan pemahaman ekonomi-politik yang kuat, ia tahu betul bahwa pemulihan ekonomi tak hanya soal angka, tapi soal kepercayaan. Salah satu langkah krusial yang ia ambil adalah mengembalikan Indonesia ke dalam keanggotaan IMF dan Bank Dunia, demi membangun kembali kepercayaan global.
Ia juga membentuk tim lintas kementerian yang melibatkan para ekonom terkemuka seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, dan Ali Wardana. Bersama tim ini, Frans berhasil menurunkan inflasi dari 650% menjadi 112%—sebuah pencapaian luar biasa di tengah keterpurukan.
Meskipun berhasil, Frans tetap menunjukan dirinya sebagai pribadi yang rendah hati.
Suatu ketika, ia mencatat dengan haru momen ketika Presiden Soekarno secara resmi menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto. Bagi Frans, itu adalah peristiwa yang sangat menyentuh karena menunjukkan kebesaran jiwa seorang pemimpin dalam menghadapi kenyataan politik.
“Haru meliputi Bung Karno... beliau melakukannya dengan penuh kebesaran jiwa,” tulis Frans mengenang momen tersebut sebagaimana dikutip Richardus.
Di atas semuanya itu, yang membuat Frans Seda begitu istimewa adalah konsistensinya dalam mengabdi lintas zaman. Dari masa Soekarno hingga Megawati, ia dipercaya menempati berbagai posisi strategis, seperti menjadi Menteri Pertanian, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, hingga Penasehat Presiden.
Namun meskipun berkali-kali mengelola kementerian yang sarat anggaran besar, Frans tetap dikenal sebagai sosok yang bersih dan jujur. Emil Salim, kolega dan sahabatnya, memberi kesaksian bahwa Frans tak pernah sekalipun tersangkut dalam isu penyalahgunaan kekuasaan.
“Ia memegang kementerian yang gemuk, tapi saya tak pernah dengar ketidakberesan dalam pengelolaan dana besar.” tulis Emil.
Kehidupan dan orientasi moral Frans sangat dipengaruhi oleh keyakinan Katolik yang ia pegang teguh. Nasionalisme baginya bukan sekadar sikap politik, melainkan bagian dari iman. Ia percaya bahwa menjadi Katolik berarti juga mencintai tanah air dengan sepenuh hati dan menjunjung tinggi tanggung jawab sebagai warga negara.
Hari ini, ketika kita menengok kembali warisan tokoh seperti Frans Seda, kita tidak hanya melihat sosok pejabat negara. Kita melihat seorang guru bangsa, seorang pemikir, dan seorang pelayan publik sejati.
Frans telah tutup usia tahun 2009 silam tapi integritas, kebijaksanaan, dan cinta pada bangsa terus mewangi hingga hari-hari ini.
Ia adalah Kresna dari Timur, yang dengan diam-diam dan setia, telah merawat Indonesia di masa-masa paling rapuhnya. Dan karena itu, Frans Seda akan terus dikenang—bukan hanya sebagai menteri, tapi sebagai penjaga moralitas bangsa.