Gonjang-Ganjing PHK Massal Pendamping Desa: Keputusan Sepihak Kemendes PDT?

Mendes PDT Yandri Susanto (Foto: Dok. Kemendes PDT)

PARBOABAO, Jakarta – Ribuan Tenaga Pendamping Profesional (TPP) Desa mencari keadilan setelah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDT) melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak.

Para pendamping desa ini bukan tenaga baru; mereka telah mengabdikan diri selama 5 hingga 10 tahun. Kini, nasib mereka terkatung-katung akibat keputusan mendadak tersebut.

Sebanyak 1.040 perwakilan pendamping desa telah mengadu ke Komisi V DPR RI untuk mencari solusi.

Mereka juga melaporkan dugaan malaadministrasi ke Ombudsman RI di Jakarta, berharap adanya penyelesaian yang adil.

Hendriyatna, perwakilan Perhimpunan Pendamping Desa Seluruh Indonesia, menyatakan bahwa kontrak kerja mereka seharusnya diperpanjang hingga 2025.

Namun, tiba-tiba mereka dipecat.
“Seharusnya kontrak berjalan satu tahun ke depan. Kami sudah melewati beberapa tahap perpanjangan," kata Hendriyatna di Kantor Ombudsman RI, Rabu (5/3/2025).

Menurut Hendriyatna, PHK ini diduga berkaitan dengan status mereka sebagai calon legislatif dalam Pemilu 2024. Padahal, KPU sudah memberikan klarifikasi bahwa pencalonan tidak mewajibkan mereka mundur atau cuti dari pekerjaannya.

“Kami tidak pernah menerima teguran dari Bawaslu atau KPU. Secara hukum, hanya Bawaslu yang berwenang menentukan ada pelanggaran atau tidak,” tegasnya.

Para pendamping desa menilai PHK ini dilakukan secara sewenang-wenang. Mereka mendesak Kemendes PDT agar mengembalikan hak mereka dengan memperpanjang kontrak kerja.

Keputusan ini juga mendapat sorotan dari berbagai pihak. Anggota Komisi V DPR RI, Syafiuddin Asmoro dari Fraksi PKB, menyebut kebijakan ini bermuatan politis dan tanpa dasar hukum yang jelas.

“Keputusan ini justru memicu kegaduhan di tengah upaya Presiden Prabowo mewujudkan program prioritasnya,” kata Syafiuddin dalam keterangannya, Kamis (6/3/2025).

Kemendes PDT mengacu pada Pasal 240 Huruf K UU No. 23/2017 tentang Pemilu, yang mewajibkan pejabat negara seperti kepala daerah, TNI, Polri, dan pegawai kementerian/lembaga untuk mundur jika mencalonkan diri.

Namun, pendamping desa bukanlah pegawai Kemendes PDT, melainkan tenaga profesional dengan kontrak kerja tertentu.

“Kami ini tenaga profesional yang dikontrak. Jadi, tidak masuk klasifikasi yang harus mundur,” ujar Syafiuddin.

Keputusan Kemendes PDT juga bertentangan dengan surat KPU Nomor 740/PL.01.4-SD/05/23 yang menyatakan pendamping desa tetap boleh mencalonkan diri tanpa perlu mundur.

Syafiuddin menyoroti kejanggalan waktu PHK ini. Jika pendamping desa dianggap melanggar aturan, seharusnya keputusan diambil sebelum pemilu, bukan setelahnya.

Analis politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, juga mempertanyakan alasan pemecatan yang baru dilakukan sekarang.

Ia menduga ada kaitan dengan pemangkasan anggaran menyusul Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja APBN dan APBD.

“Bisa jadi ini strategi untuk menghindari pembayaran THR. Jika benar, maka pengelolaan Kemendes sangat buruk, mirip dengan perusahaan nakal yang melakukan PHK menjelang hari raya,” ujarnya.

Kemendes PDT Diminta Transparan

Direktur Eksekutif KPPOD, Armand Suparman, menilai keputusan ini mencerminkan buruknya tata kelola tenaga pendamping desa di Kemendes PDT. Ia mendesak kementerian untuk transparan dalam menjelaskan alasan PHK.

Aturan teknis mengenai pendamping desa tertuang dalam Keputusan Menteri Nomor 143 Tahun 2022, yang menyebutkan kontrak kerja berlangsung satu tahun dan bisa diperpanjang kecuali ada pelanggaran berat.

Jika ada pendamping yang mendapat nilai buruk dalam evaluasi, kontraknya bisa diputus.

Namun, menurut pengakuan para pendamping desa, mereka tidak mendapatkan nilai buruk yang bisa menjadi dasar pemecatan.

Menanggapi laporan para pendamping desa, Ombudsman RI menyatakan akan menyelidiki dugaan malaadministrasi yang dilakukan Kemendes PDT.

Sementara itu, Wakil Menteri Desa Ahmad Riza Patria mengatakan pihaknya sedang mempelajari kasus ini.

Namun, ia belum memberikan alasan jelas atas PHK tersebut. “Masalah ini masih ditangani di level Dirjen, belum sampai ke Pak Menteri,” kata Riza.

Keberadaan pendamping desa diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa serta regulasi turunannya.

Undang-undang ini memberikan landasan hukum bagi pendamping desa dan melindungi hak-hak mereka dalam mendampingi masyarakat desa.

Keputusan PHK massal ini menimbulkan tanda tanya besar. Jika benar terjadi malaadministrasi atau keputusan politis yang melanggar aturan, sudah sepatutnya para pendamping desa mendapatkan keadilan.

Semua mata kini tertuju pada Ombudsman dan DPR RI untuk menindaklanjuti kasus ini dengan transparan dan adil.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS