parboaboa

Hardiknas 2024 Dinilai Momentum Pembenahan Sistem Pendidikan Nasional

Norben Syukur | Pendidikan | 01-05-2024

Potret sulitnya akses para siswa di Indonesia untuk ke sekolah (Foto: Instagram @explore/tags/2mei)

PARBOABOA, Jakarta - Setiap tahun, masyarakat Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei.

Kegiatan ini bertujuan meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi setiap insan.

Mendikbud menetapkan tema peringatan Hari Pendidikan Nasional 2024, yakni "Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar".

Adapun tanggal 2 Mei dipilih karena bertepatan dengan hari lahir Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, yang memiliki dedikasi yang tinggi terhadap pendidikan di Indonesia.

Kemudian, Presiden Soekarno menetapkan Hardiknas sebagai salah satu hari nasional, bukan tanggal merah, melalui Keppres RI Nomor 67 Tahun 1961.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI, Nadiem Makarim dalam pidatonya, menegaskan Gerakan Merdeka Belajar semakin menyadarkan pihaknya tentang tantangan dan kesempatan untuk memajukan pendidikan Indonesia.

Ia mengakui, bukan hal yang mudah untuk mentransformasi sebuah sistem yang sangat besar, apalagi mengubah perspektif tentang proses pembelajaran.

"Kita sadar betul bahwa membuat perubahan butuh perjuangan. Rasa tidak nyaman menyertai setiap langkah menuju perbaikan dan kemajuan," jelasnya dalam pidato yang dikutip PARBOABOA, Rabu (1/05/2024).

Nadiem menambahkan, tantangan ini semakin parah oleh pandemi yang memaksa perubahan dalam proses belajar mengajar. Namun, menurutnya, pada saat yang sama, pandemi memberi kesempatan untuk mengakselerasi perubahan.

Kini, wajah baru pendidikan dan kebudayaan Indonesia sedang dibangun dengan Gerakan Merdeka Belajar.

"Anak-anak Indonesia sudah berani bermimpi. Mereka merasa merdeka saat belajar di kelas. Para guru berani mencoba hal-hal baru karena mereka mendapatkan kepercayaan untuk mengenal dan menilai murid-muridnya."

Demikian pula para mahasiswa, katanya, sudah siap berkarya dan berkontribusi karena ruang untuk belajar tidak lagi terbatas di dalam kampus.

Nadiem pun berharap, apa yang sudah diupayakan selama ini, yang sudah berjalan menuju arah yang benar, harus dilanjutkan demi kejayaan pendidikan di Indonesia.

Masih Butuh Pembenahan

Sementara itu, Waketum Vox Point Indonesia Bidan Pendidikan, Indra Charismiadji, memberi beberapa catatan kritis terkait kondisi pendidikan Indonesia saat ini.

Melalui rilis yang diterima oleh PARBOABOA, Selasa (30/04/2024), ia menegaskan bahwa seharusnya program mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi prioritas bagi siapapun yang ditunjuk untuk menjalankan roda pemerintahan.

Setiap tahun, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan jumlahnya terus meningkat.

Anggaran pendidikan yang dibagi ke beberapa Kementerian dan Pemerintah Daerah dalam bentuk Transfer Daerah pada 2014 sebanyak Rp 367,02 triliun dan terus meningkat hingga Rp665 triliun pada 2024.

"Walaupun demikian, meningkatnya anggaran pendidikan tidak berarti meningkatkan mutu pendidikan kita," seperti yang sudah dikaji oleh Bank Dunia sejak tahun 2013 dalam sebuah tulisan berjudul 'Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia'.

Di tingkat internasional, berdasarkan Programme for International Student Assessment (PISA) 2022, Indonesia berada di urutan 69 dari 77 negara. PISA mengukur kemampuan matematika, sains, dan membaca bagi siswa yang berusia 15 tahun.

Di level internasional, Indonesia juga menempati posisi 40 dari 42 negara untuk penilaian matematika dan sains atau Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS).

Laporan dari badan pendidikan, sains, dan budaya Perhimpunan Bangsa-bangsa (PBB), yaitu UNESCO, menyebutkan hanya satu dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat baca serius.

Berdasarkan kajian World Literacy yang dibuat oleh Central Connecticut State University, Indonesia menempati posisi 60 dari 61 negara dalam bidang literasi.

Peringkat universitas juga tidak lebih baik dari pendidikan dasar. Data QS World University Ranking menempatkan perguruan tinggi di Tanah Air di urutan 39 dari 50 negara dan universitas di peringkat 50 dari 50 negara.

Indra juga menyajikan Rapor Pendidikan yang dibuat oleh Pusat Asesmen Pendidikan (Pusmendik) - Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbud Ristek.

Hasil Asesmen Nasional (AN) atau Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) tahun 2022 menyebutkan bahwa kurang dari 50% siswa telah mencapai batas kompetensi minimum untuk literasi membaca di tingkat SD dan SMP secara nasional.

Sementara di level SMA/K, sebagian besar siswa telah mencapai batas kompetensi minimum untuk literasi membaca, namun perlu upaya mendorong lebih banyak siswa menjadi mahir.

Untuk numerasi, kurang dari 50% siswa telah mencapai batas kompetensi minimum pada tingkat SD, SMP, dan SMA/K secara nasional.

Ia menyayangkan hasil capaian tersebut karena, menurutnya, sungguh ironis apabila dibandingkan dengan puluhan ribu triliun uang rakyat yang telah digelontorkan sejak adanya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Sama halnya, nilai rata-rata Ujian Nasional SMP mengalami penurunan dari 61,81 pada tahun ajaran 2014/2015 menjadi 50,80 pada tahun ajaran 2017/2018.

Hal serupa juga dialami rerata nilai UN SMA/MA dari 58,27 pada 2014/2015 turun menjadi 50,80 pada tahun ajaran 2017/2018. Untuk SMK juga memiliki kecenderungan serupa, yakni terus turun dari 62,15 pada 2014/2015 menjadi 45,21 pada 2017/2018.

"Meskipun Kemendikbud Ristek selalu berargumentasi bahwa penurunan rerata UN disebabkan oleh pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang lebih mengedepankan integritas, pembiaran tersebut tanpa ada perubahan dalam sistem maupun proses merupakan suatu penurunan dalam mutu pendidikan," tegas Indra.

Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, kata Indra, berdampak pada karakter siswa. Masyarakat sungguh terkejut melihat beraninya seorang siswa menantang dan mencekik guru ketika ditegur.

"Kita juga terheran-heran melihat bagaimana siswa masa kini berani mengolok-ngolok gurunya sendiri. Dan, kita juga tak bisa mempercayai bagaimana seorang murid memukul gurunya hingga meninggal dunia. Semua ini merupakan hasil dari sistem pendidikan nasional."

Tahun 2022 yang lalu, Digital Civility Index (DCI) yang dirilis oleh Microsoft menempatkan warganet Indonesia sebagai warganet yang paling biadab/tidak sopan se-Asia Pasifik; ini adalah antitesis dari pendidikan yang berlandaskan Pancasila.

Kualitas pendidikan di suatu tempat tidak hanya ditentukan oleh keadaan siswa, tetapi juga oleh guru, pengelolaan, kurikulum, serta fasilitas dan infrastruktur.

Masalah pada kualitas pendidikan ini turut berpengaruh pada sektor ketenagakerjaan. Sebagai contoh, banyak sekolah Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK), yang sebelumnya dikenal sebagai sekolah internasional atau nasional plus, lebih memilih menggaji guru dari luar negeri daripada guru lokal, karena kesulitan dalam menemukan guru lokal yang memenuhi kriteria yang diinginkan.

Menanggapi situasi ini, Indra mengajukan beberapa langkah krusial yang bisa diambil pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di masa mendatang.

Pertama, melakukan evaluasi terhadap anggaran pendidikan. Sejak tahun 2014 hingga 2024, total anggaran yang telah dikeluarkan untuk sektor pendidikan mencapai Rp4.960,77 triliun, namun penggunaannya belum efektif.

"Menteri Keuangan, Sri Mulyani, seringkali menyatakan bahwa alokasi anggaran pendidikan masih belum optimal," jelas Indra.

Selain itu, kata Indra, berdasarkan Neraca Pendidikan Daerah, Pemerintah Daerah sendiri dibiarkan untuk melanggar UUD 1945 pasal 31 ayat 4 dan UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49, dimana mereka wajib untuk mengalokasikan minimal 20% dari APBD di luar gaji pendidik.

Kedua, pendekatan terhadap pendidikan harus melampaui lingkup sekolah semata. Ki Hadjar Dewantara, yang kita kenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, menekankan pentingnya sebuah ekosistem pendidikan yang melibatkan tiga pusat utama: rumah, sekolah, dan masyarakat.

"Harus kita sadari bahwa selama ini rumah belum banyak dimanfaatkan sebagai pusat pendidikan di Indonesia. Banyak orang tua yang memilih untuk menyerahkan tanggung jawab mendidik anak-anak mereka kepada pihak lain karena merasa tidak cukup mampu," ujarnya.

Indra menambahkan, banyak anak yang dikirim ke pesantren atau asrama, menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada sekolah, dan setelah sekolah, mereka dipercayakan kepada guru les atau bimbingan belajar.

Hal ini seringkali hanya berfokus pada pencapaian nilai akademis, bahkan dengan menghalalkan berbagai cara, termasuk kasus yang baru-baru ini terjadi di Universitas Lampung dan Universitas Udayana.

Banyak orang tua bersedia melakukan apa saja agar anaknya diterima di institusi pendidikan pilihan, yang bertentangan dengan esensi pendidikan yang seharusnya menanamkan integritas, kejujuran, kerja keras, dan etika. Yang terjadi malah sebaliknya, banyak yang berusaha mencapai tujuan dengan cara apapun.

"Logikanya, jika cara masuknya saja sudah curang, lulusnya pun akan sama. Apakah ini yang kita inginkan untuk generasi penerus bangsa? Apakah ini gambaran Indonesia Emas yang kita cita-citakan?" tegasnya.

Ketiga, akses pendidikan yang belum sepenuhnya terbuka. Meskipun ada Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan KIP Kuliah, namun kenaikan Angka Partisipasi Murni (APM) masih di bawah satu persen per tahun selama delapan tahun terakhir.

Penyebabnya antara lain karena sekolah negeri banyak ditempati oleh siswa dari keluarga ekonomi atas dan pembangunan sekolah yang tidak berdasarkan data akurat. Banyak wilayah memiliki kapasitas sekolah yang lebih besar dari jumlah siswa usia sekolah yang ada.

Keempat, manajemen guru perlu diperbaiki. Rasio guru terhadap murid di Indonesia tergolong unggul dibandingkan negara lain, dengan rasio untuk SD 1:14, SMP dan SMA 1:15, serta SMK 1:6, yang hanya kalah dari Jepang namun lebih baik dari Singapura, Amerika Serikat, dan Tiongkok. Namun, rasio ini belum tentu mencerminkan kualitas pembelajaran yang efektif.

Selain itu, kompetensi guru juga perlu ditingkatkan. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) menunjukkan hanya guru di 10 provinsi yang skornya di atas rata-rata 56,69.

Kelima, evaluasi terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sangat diperlukan. Saat ini, lulusan LPTK lebih banyak daripada yang dibutuhkan oleh sektor pendidikan, sehingga perlu ada peningkatan kualitas, sertifikasi, dan inovasi dalam pendidikan untuk menghadapi era Revolusi Industri 4.0 dan masyarakat 5.0.

Keenam, sarana dan prasarana pendidikan masih menghadapi kendala. Sebanyak 75 persen sekolah di Indonesia belum memenuhi standar layanan pendidikan minimal.

Jika ingin menghadapi era digital masyarakat 5.0, masalah seperti server ANBK yang sering bermasalah dan ketidakmerataan akses listrik serta internet harus segera diatasi.

Pemerintah bisa mencontoh negara lain yang rutin mengadakan pameran teknologi pendidikan untuk mendukung infrastruktur sekolah.

Ketujuh, masih adanya ketidakjelasan tugas dan wewenang antar lembaga pendidikan nasional. Misalnya, masalah antara sentralisasi dan otonomi daerah, dimana madrasah masih diatur oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Agama, sementara Kemendikbud Ristek tidak memiliki otoritas penuh atas pengaturan guru.

Pemerintah daerah sering hanya meniru program Kemendikbud Ristek dan lebih memilih berkoordinasi dengan Kemendagri daripada Kemendikbud Ristek. Kemendikbud Ristek bisa dijadikan agen penjamin kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah untuk mengatasi tumpang tindih ini.

Merujuk pada Peraturan Presiden no. 76 tahun 2023 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2024, anggaran pendidikan yang jumlahnya 20% (dua puluh persen) dari APBN, ternyata hampir separuh dari anggaran pendidikan dialokasikan untuk 22 kementerian dan lembaga negara yang tidak mengurusi bidang pendidikan sama sekali.

Dan alokasi anggaran tersebut tidak pernah dijabarkan dalam Sistem Pendidikan Nasional baik pada UU no. 20 tahun 2003. Ironisnya, Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN / Bappenas yang menyusun alokasi anggaran pendidikan tidak disebutkan dalam sistem pendidikan nasional.

Kedelapan, menciptakan ekosistem pendidikan yang cerdas. Contohnya, penyerapan anggaran bukan semata menjadi target pemerintah melainkan mutu yang seharusnya menjadi target.

"Kita lihat dengan program KIP atau BOS, anggaran terserap tapi tidak ada evaluasi sampai saat ini. Pelayanan pendidikan harus dilakukan secara profesional, sehingga tidak ada lagi alasan server yang down untuk dapodik, ANBK, maupun UTBK," ungkapnya.

Selanjutnya dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang cerdas dengan pengembangan profesi yang bermutu, kebijakan yang menstimulasi terbentuknya ekosistem tersebut seperti mencetak buku sangat murah (India), juga seperti Malaysia dan Singapura yang membebaskan pajak untuk impor peralatan pendidikan.

Terakhir, perlu pembaharuan sistem pendidikan nasional karena UU no.20 tahun 2003 ini sudah tidak up to date lagi karena secara nyata belum mampu mewujudkan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

"UU ini dirancang pada era sebelum munculnya konsep pendidikan yang bertujuan mengatasi tantangan masyarakat 5.0 oleh karena itu, sistem pendidikan yang diperbaharui ini perlu memiliki rencana strategis yang kuat agar tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik, baik di tingkat nasional maupun lokal," tandasnya. 

Editor : Norben Syukur

Tag : #hardiknas    #ki hajar dewantara    #pendidikan    #vox point indonesia    #indra charismiadji    #nadiem makarim    

BACA JUGA

BERITA TERBARU