Indonesia Siap Impor BBM dari AS dalam Kesepakatan Dagang Bernilai Miliaran Dolar

Presiden AS Donald Trump capai kesepakatan tarif dagang dengan Indonesia. (Foto: Instagram/@realdonaldtrump)

PARBOABOA, Jakarta - Pemerintah Indonesia memastikan akan mulai mengimpor bahan bakar minyak (BBM) dari Amerika Serikat sebagai bagian dari kesepakatan perdagangan yang dicapai dengan Presiden Donald Trump. 

Langkah ini merupakan bagian dari strategi negosiasi yang bertujuan untuk menurunkan tarif impor produk Indonesia ke AS.

Sebagai hasil kesepakatan tersebut, tarif impor produk Indonesia yang sebelumnya mencapai 32 persen akan dipangkas menjadi 19 persen mulai 1 Agustus 2025. 

Sebagai imbal balik, Indonesia berkomitmen mengimpor sejumlah komoditas dari AS, termasuk energi senilai USD 15 miliar, produk pertanian senilai USD 4,5 miliar, dan 50 unit pesawat Boeing, mayoritas bertipe 777.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia pada Jumat (18/7/2025) menjelaskan bahwa komoditas energi yang akan diimpor terdiri dari minyak mentah (crude), LPG, dan BBM. 

Menurutnya, dalam negosiasi tersebut Indonesia menyampaikan rencana pembelian energi dari AS dengan nilai sekitar USD 10 hingga 15 miliar.

Terkait pelaksanaan teknis impor, Kementerian ESDM akan menindaklanjuti dengan PT Pertamina (Persero), yang ditunjuk sebagai pelaksana utama. 

Bahlil menyatakan, pembahasan internal bersama Pertamina masih akan dilakukan untuk menyiapkan dasar hukum dan mekanisme pelaksanaannya.

Ia juga menyoroti persoalan efisiensi logistik mengingat jarak pengiriman dari AS lebih jauh dibandingkan mitra seperti Timur Tengah atau Singapura. 

Pemerintah, menurut Bahlil, akan berhitung secara cermat agar keputusan impor tidak membebani anggaran negara dan tetap kompetitif dari sisi harga.

Di sisi lain, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, mengungkapkan bahwa impor energi dari AS akan mencakup bensin, LPG, dan minyak mentah. 

Kerja sama ini telah dirumuskan dalam bentuk nota kesepahaman (MoU) antara anak usaha Pertamina, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), dan perusahaan energi besar seperti ExxonMobil, Chevron, dan KDT Global Resource LLC.

Sebelumnya, VP Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, juga menyampaikan pihaknya telah menandatangani MoU terkait pengadaan minyak mentah dari mitra di AS. 

Namun untuk dapat melaksanakan kerja sama tersebut, Pertamina masih menunggu regulasi pendukung dari pemerintah sebagai landasan hukum pengadaan.

Fadjar menambahkan bahwa walau saat ini MoU baru mencakup minyak mentah, kerja sama pengadaan LPG dari AS juga sedang dalam pembahasan lanjutan. 

Ia mencatat, pada 2024, sekitar 57 persen kebutuhan impor LPG Pertamina berasal dari Amerika Serikat. Persentase itu direncanakan meningkat menjadi 60 persen dalam waktu dekat.

Ancam Industri Domestik

Terpisah, Wahyu Widodo, pakar ekonomi internasional dari Universitas Diponegoro, menilai langkah Trump akan berdampak memicu krisis industri dalam negeri dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Dalam keterangannya pada Jumat (18/7/2025), Wahyu menyebut beban tarif ini berpotensi menurunkan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar AS, khususnya dari Jawa Tengah. 

Sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) disebut sebagai yang paling rentan terdampak, mengingat perannya sebagai penggerak ekonomi sekaligus penyerap tenaga kerja utama di wilayah tersebut.

Ia mempertanyakan rasionalitas tarif yang begitu tinggi, dan menilai bahwa jika produsen dalam negeri tidak mampu menanggung beban tersebut, maka ekspor akan terhenti. 

Akibatnya, proses produksi dalam negeri pun terancam macet dan banyak tenaga kerja yang akan kehilangan pekerjaan, kecuali industri berhasil beralih ke pasar alternatif.

Wahyu menekankan bahwa sebagian besar ekspor Indonesia ke AS berbasis pesanan, bukan produk yang dilepas ke pasar bebas. Ini memperlihatkan lemahnya posisi tawar Indonesia dalam perdagangan global. 

Ketika tarif tinggi diberlakukan, dampaknya langsung terasa, apalagi pada industri dengan margin keuntungan yang tipis seperti TPT.

Tak hanya dari sisi ekspor, ia juga menyoroti bahaya dari sisi impor. Produk-produk pertanian, minyak, dan tembakau dari AS diperkirakan akan masuk ke Indonesia tanpa hambatan berarti. 

Hal ini disebutnya bisa menghancurkan daya saing petani serta pabrikan dalam negeri. Jika berlanjut, industri domestik bisa runtuh karena tidak mampu bersaing dengan produk impor yang lebih murah atau lebih masif.

Wahyu membandingkan situasi ini dengan krisis kedelai pada era 1990-an, saat Indonesia sempat swasembada, namun kemudian tak sanggup bersaing akibat keterbukaan pasar global. 

Padahal, menurutnya, Indonesia masih punya potensi besar untuk memproduksi komoditas tersebut secara kompetitif.

Sebagai respon atas kondisi ini, ia menyarankan dua strategi utama. Pertama, pelaku usaha perlu melakukan diversifikasi pasar ke wilayah lain seperti Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. 

Namun ekspansi ini tak bisa hanya mengandalkan promosi pameran, melainkan harus didukung oleh riset mendalam terkait perilaku dan kebutuhan konsumen di masing-masing negara. 

Sebagai contoh, produk kemasan kecil mungkin tidak cocok untuk pasar Afrika yang memiliki karakter fisik dan kebiasaan konsumsi berbeda.

Kedua, pemerintah harus aktif bernegosiasi, bahkan jika perlu melakukan renegosiasi tarif dengan Amerika Serikat. Tanpa langkah ini, Indonesia bisa kehilangan pasar ekspor andalannya dan semakin tersudut dalam persaingan global.

Meski situasi tampak mengkhawatirkan, Wahyu percaya peluang masih terbuka selama pemerintah dan pelaku usaha mampu merespons secara adaptif. 

Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan tarif Trump sangat mungkin berubah tergantung dinamika politik dalam negeri AS dan tekanan internasional.

Menurutnya, saat ini Indonesia perlu bersikap realistis dan bersiap menghadapi fluktuasi kebijakan luar negeri AS, mengingat ketergantungan ekspor nasional terhadap pasar negara adidaya tersebut masih sangat tinggi.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS