Revisi UU Minerba, Jangan Seret Kampus ke Lumpur Tambang

Akademis dan Mahasiswa tolak kampus terima izin kelola tambang. (Foto: Freepik)

PARBOABOA, Jakarta - Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Se-Indonesia (APTISI), mengusulkan agar Kampus menjadi salah satu badan hukum yang mendapatkan Wilayah Izin Usaha Tambang (WIUP).

Usulan ini bahkan telah tertuang dalam revisi UU Minerba yang telah ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR RI lewat rapat paripurna pekan lalu, Kamis, (23/1/2025).

Fraksi Partai Golkar menyambut baik ide ini dan menyebutnya sebagai terobosan yang bagus. Sekjen partai berlambang pohon beringin, Sumarji mengatakan, Kampus nantinya bisa mengaplikasi ilmu dengan praktek pengelolaan tambang.

"Ini akan menjadi jembatan antara keilmuan yang dikaji Perguruan Tinggi dengan apa yang dilakukan," kata Sumarji belum lama ini.

Tak hanya itu, menurut dia, sudah saatnya Perguruan Tinggi "tidak menjadi menara saja." 

Baginya, keterlibatan Kampus akan menjadi contoh bagi industri pertambangan, terutama dalam hal pengelolaan lingkungan hidup serta bagaimana membangun hubungan baik dengan masyarakat lokal di sekitar area pertambangan.

"Itu salah satu faedah kenapa perguruan tinggi itu terlibat dalam urusan pertambangan," cetusnya.

Namun demikian, usulan tersebut mendapat catatan kritis dari Akademisi Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Yefta Sabaat.

Yefta dengan tegas mengatakan, Kampus tidak boleh dilibatkan dalam tata kelola pertambangan. Kata dia, upaya tersebut hanya merupakan bentuk hegemoni pemerintah yang dapat melemahkan peran kampus sebagai pusat ilmu pengetahuan dan agen pemikiran kritis.

"Saya kira jelas kampus tidak boleh dilibatkan dalam tata kelola tambang," kata Yefta dalam keterangan tertulis kepada Parboaboa, Kamis, (30/1/2025).  

"Karena bagi saya, ini hegemoni pemerintah agar supaya kampus yang seyogyanya sebagai corong ilmu pengetahuan sekaligus agent pemikiran kritis dan kontrol terhadap pemerintah diajak bersekongkol dengan Oligarki," kata Yefta.

Ia juga menilai argumentasi yang dikemukakan oleh Partai Golkar terkait keterlibatan kampus dalam pengelolaan tambang sebagai hal yang keliru.

Menurutnya, sebagai institusi akademik, Kampus harus "fokus pada Tridharma Perguruan Tinggi," yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat - tanpa terjebak  dalam kepentingan politik dan bisnis.

Sementara itu, terkait tanggung jawab intelektual Perguruan Tinggi, Yefta menyitir pendapat Antonio Gramsi dengan menyebut, yang yang dibutuhkan sekarang adalah intelektual organik yang selalu setia dengan agenda perubahan sosial.

"Karena kampus harus berakar dari kehidupan sosial bukan bersanding dengan pemerintah mengelolah tambang," pungkasnya.

Jangan Cebur Pergurun Tinggi ke Lahan Kotor

Usulan Perguruan Tinggi mengelola tambang muncul tak lama setelah izin yang sama diberikan juga kepada ormas keagamaan.

Organisasi masyarakat sipil menolak kebijakan ini karena lebih banyak dampak buruknya seperti kerusakan lingkungan serta penelantaran masyarakat lokal.

Itulah sebabnya, WALHI meminta Perguruan Tinggi menolak dan menarik kembali usulan tersebut.

"Saya kira cukup sudah bangsa ini menceburkan ulama ke lahan-lahan kotor" kata Deputi Eksternal Eksekutif Nasional WALHI, Mukri Friatna.

Mukri menegaskan bahwa pemberian izin pengelolaan tambang kepada Universitas berpotensi memberangus kebebasan berpikir dan sikap kritis perguruan tinggi. Menurutnya, Kampus harus tetap menjadi ruang intelektual yang independen, bukan justru terseret dalam kepentingan bisnis tambang.

Karena itu, ia mendesak agar wacana pemberian izin kelola tambang kepada Universitas dicabut dalam revisi UU Minerba.

"Kalau mereka, yang menjadi tempat kita bertanya tentang intelektualitas, justru diceburkan ke dalam pusaran tambang, bagaimana bisa tetap bersih dalam menyampaikan pikiran, jika sudah tercemari oleh lumpur-lumpur tambang?" ujarnya tegas.

Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Herianto juga dengan tegas menolak wacana Perguruan Tinggi diberi izin mengelola tambang sebagaimana diatur dalam revisi Undang-Undang Minerba. 

Menurutnya, peran utama Kampus adalah mendidik dan mengajar, bukan terlibat dalam aktivitas bisnis seperti pengelolaan tambang.

"Kami menolak keras. Kampus itu tempat untuk mendidik, bukan dijadikan lahan bisnis," ujarnya.

Ia menambahkan, jika Perguruan Tinggi diberi kewenangan mengelola tambang, maka mahasiswa bisa saja menjadi objek kepentingan bisnis. "Ini jelas melenceng dari tujuan utama pendidikan tinggi," tegasnya.

Herianto menekankan bahwa Kampus harus tetap menjadi ruang akademik yang murni, bukan terjebak dalam praktik bisnis yang berpotensi mengaburkan fungsi utamanya sebagai lembaga pendidikan dan pencetak intelektual kritis.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS