PARBOABOA, Jakarta - Kehadiran Jamaah Islamiyah (JI) memiliki akar sejarah yang terkait erat dengan proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) oleh Kartosuwiryo pada 1949.
Melalui sayap militernya bernama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), JI menjadi ancaman besar bagi kestabilan negara muda Indonesia.
Meskipun NII dihancurkan dan Kartosuwiryo dieksekusi, gagasan mendirikan negara Islam tetap hidup dan diwariskan kepada generasi JI secara turun temurun.
Dalam buku NII Sampai JI (2011) karya Solahudin, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir disebut sebagai figur sentral di balik berdirinya JI.
Keduanya mendirikan Pesantren Al Mukmin di Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, dan terlibat dalam aktivitas NII sejak 1976. Mereka juga memiliki latar belakang sebagai pengurus Partai Masyumi di Kudus.
Dengan menolak asas tunggal Pancasila, Sungkar dan Ba'asyir kerap dianggap radikal karena ajakan mereka untuk tidak menghormati bendera Merah Putih.
Pada tahun 1983, mereka ditangkap oleh aparat. Dua tahun berselang keduanya dijatuhi hukuman penjara selama sembilan tahun.
Namun, sebelum hukuman selesai dijalankan, mereka melarikan diri ke Malaysia, di mana mereka mulai membangun jaringan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia.
Di Malaysia, mereka bertemu dengan Syaikh Abdullah Azzam, seorang jihadis asal Palestina. Dengan dukungan Azzam, Sungkar dan Ba'asyir berhasil mengirim lebih dari 200 kader NII,
Tujuannya adalah mendapatkan pelatihan militer di Afghanistan selama periode 1985 hingga keluarnya Uni Soviet dari negara tersebut.
Sejarah Kelahiran
Pada awal 1990-an, terjadi perpecahan dalam tubuh NII. Abdullah Sungkar berselisih dengan Ajengan Masduki, pemimpin NII di dalam negeri terkait praktik keagamaan dan pengelolaan anggota di Afghanistan.
Perbedaan pandangan membuat Sungkar dan para pengikutnya memutuskan keluar dari NII pada 1992, lalu mendirikan Jamaah Islamiyah (JI) di Malaysia pada 1993.
Kelompok ini terus melanjutkan pelatihan militer kader-kadernya di Afghanistan. Menurut Nasir Abbas dalam Membongkar Jamaah Islamiyah (2005), JI memiliki struktur organisasi yang sangat rapi.
Pimpinan tertinggi adalah Amir Jamaah, dibantu oleh Majelis Syura, Majelis Fatwa, Majelis Hisbah, dan Majelis Qiyadah Markaziyah.
Amir Jamaah pertama adalah Abdullah Sungkar, yang kemudian digantikan oleh Abu Bakar Ba'asyir dan sejumlah tokoh lainnya.
JI juga membagi wilayah operasinya ke dalam beberapa Mantiqi atau zona kegiatan, bukan wilayah kekuasaan.
Sejak 1997, terdapat tiga Mantiqi utama, yakni Mantiqi Ula yang meliputi Malaysia Barat dan Singapura, serta berfungsi sebagai pusat ekonomi.
Wilayah lain adalah Mantiqi Tsani yang mencakup Sumatera, Jawa, Bali, NTB, dan NTT, serta fokus pada perekrutan dan pengembangan militer.
Ada pula wilayah Mantiqi Tsalis yang meliputi Sabah Malaysia, Kalimantan Timur, Palu, dan Mindanao di Filipina, serta berperan menjadi basis pelatihan militer jangka pendek.
Ada juga usulan untuk menetapkan Sulawesi sebagai Mantiqi IV, tetapi rencana tersebut tidak memperoleh persetujuan.
Secara ideologis, JI menjadikan kitab Mitsaq Amal Islami dari Jamaah Islamiyah Mesir sebagai pedoman utama.
Kitab ini memuat sembilan prinsip dasar, termasuk keyakinan pada akidah Salafus Shalih, perjuangan menegakkan khilafah, jihad di jalan Allah, dan penolakan terhadap sistem demokrasi yang dianggap musyrik.
Abdullah Sungkar menambahkan prinsip kesepuluh, yaitu "pengalaman Islam kita adalah murni dan kaffah, dimulai dari Jamaah, kemudian Daulah, lalu Khilafah."
Paham ideologi JI disebut sebagai Salafi Jihadi yang mengembalikan interpretasi Islam kepada ajaran salafus shalih dan merujuk pada pemikiran Ibnu Taimiyyah serta Ibn Qoyyim.
Paham ini mengajarkan bahwa jihad dalam bentuk qital (perang) adalah kewajiban individu bagi kaum Muslimin yang tanahnya dikuasai kafir.
Meski tidak pernah menjanjikan surga kepada anggotanya, JI dikenal menggunakan ayat-ayat Alquran dan hadis untuk memotivasi aksi seperti bom bunuh diri.
Alumni Afghanistan, termasuk Ali Gufron, Umar Patek, dan Azahari, terlibat dalam serangkaian aksi teror yang mengejutkan dunia, seperti Bom Bali 1.
Aksi-aksi tersebut mendorong pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah serius dengan menyusun undang-undang anti-terorisme.
Perjuangan JI yang awalnya berfokus pada ideologi kini identik dengan tindakan kekerasan, sehingga mengubah persepsi masyarakat terhadap organisasi tersebut.
Dengan struktur yang solid dan pemahaman ideologi yang radikal, JI mencatatkan jejak signifikan dalam sejarah gerakan Islamis di Indonesia.