Sri Mulyani Divonis Bersalah karena Lakukan Pemecatan Sepihak Kepada ASN Difabel

Menteri Keuangan Sri Mulyani (dok Antara Foto)

PARBOABOA, Jakarta - Aparatur sipil negara (ASN) penyandang disabilitas mental berinisial DH menggugat Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN) ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta.

Gugatan tersebut dilayangkan DH sebagai bentuk protes atas penghentian kerja sepihak yang diterimanya.

Pemecatan ini terjadi karena DH dianggap mangkir dari pekerjaan, padahal dia sedang menjalani perawatan psikologis terkait penyakit skizofrenia paranoid yang dialaminya.

Terdaftar dalam nomor perkara 22/G/2021/PT.TUN, gugatan dilayangkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), Jakarta Pusat pada 15 November 2021 lalu.

Kasus ini akhirnya sampai pada sidang pembacaan putusan hari ini, Kamis (2/6). DH dapat bernafas dengan lega, sebab Majelis Hakim mengabulkan seluruh permohonannya.  

Dalam putusan yang dibacakan, hakim menyatakan jika surat keputusan banding administratif terhadap DH yang diterbitkan BPSAN dan Surat Keputusan (SK) pemecatan DH tidaklah sah, sehingga seluruh hak DH sebagai ASN harus dipulihkan.

Dalam pertimbangannya, hakim menilai Surat Keputusan pemberhentian yang diterbitkan Menkeu cacat prosedur karena tidak didahului dengan pembentukan tim pemeriksa yang dimandatkan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS dan hanya didasarkan atas penilaian atasan saja.

Atas keputusan ini, Majelis Hakim PTTUN memberikan waktu 14 hari kepada Kemenkeu dan BPASN jika hendak melakukan banding ke MA.

Kronologi Pemecatan DH

DH merupakan ASN di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan RI yang bergabung sejak tahun 2010 lalu.

DH cukup berprestasi hingga dirinya mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Australia pada tahun 2014. Sebelum berangkat, DH telah menandatangani perjanjian ikatan dinas terkait tugas belajar dengan Kemenkeu. Namun saat di Australia DH mulai mengalami gangguan mental, sehingga dia harus menjalani pengobatan dengan bantuan psikiater.

Meski sempat sakit, DH akhirnya dapat menyelesaikan pendidikan pada tahun 2016. Kemudian dia kembali ke tanah air dan bertugas lagi di Kemenkeu.

Setelah bekerja, DH memutuskan untuk berhenti mengkonsumi obat karena merasa keadaannya sudah membaik. Sayangnya karena tekanan kerja yang cukup berat, DH  mengalami gejala-gejala paranoia.

Penyakit yang dialaminya ini kemudian menyebabkan kinerjanya menurun, sayangnya hingga tahun 2020 penyakit DH ini tidak mendapat pengobatan.

Hal ini pun membuat DH menjadi sering absen kerja. Hingga pada 16 April 2020, dia mendapat Surat Keputusan teguran lisan karena masalah absensi.

Masalah ini belum berakhir karena penyakit yang dideritanya ini membuat DH menjadi berhalusinasi, dia bahkan meninggalkan rumah dan pergi ke Sumatera hingga lepas kontak dengan keluarganya.

DH berulang kali tidak mengisi absensi online karena Kemenkeu saat itu melakukan WFH. Sekitar bulan Agustus-September 2020 atasan DH memanggilnya hingga 2 kali karena pelanggaran disiplin. Namun, DH tidak mengetahui panggilan tersebut karena tidak masuk kerja.

Hingga pada 12 November 2020 terbit SK Pemberhentian terhadap DH karena melanggar absensi. Kemenkeu kemudian mengirimkan pemberitahuan pemberhentian tersebut ke alamat rumah orang tua DH pada Februari 2021.

Sementara, saat itu DH belum pulang ke rumahnya. Pada Juni-Agustus 2021, setelah kembali ke rumah DH mulai dianggap meresahkan keluarga dan tetangga. Kondisinya sangat tidak stabil.

Atas permintaan keluarganya, DH mendapatkan perawatan psikiater dari panti rehabilitasi di Bekasi setelah diagnosis menderita Skizofrenia Paranoid. Ia dirawat selama 3 bulan dan didampingi psikiater.

Pada September 2021, setelah kondisinya membaik DH melaporkan keadaannya ke Kemenkeu. Namun, ia diminta melakukan langkah administratif.

DH diminta mengajukan banding administratif ke Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN). Selain itu, DH juga dinilai melanggar perjanjian ikatan dinas saat menerima beasiswa dari Australia, sehingga dia diminta untuk mengembalikan uang ratusan juta rupiah.

DH kemudian melayangkan surat permohonan pertimbangan khusus yang ditembuskan ke Kemenkeu. Ia menjelaskan bahwa dirinya mengalami skizofrenia paranoid dengan lampiran diagnosis psikiater. DH memohon agar BPASN memberikan pertimbangan khusus untuk mengajukan banding administratif yang telat karena kesehatannya.

Selain itu, ia juga memohon BPASN memberikan program kembali kerja. Hal ini merupakan hak disabilitas berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Namun, pada 30 Oktober 2021 banding yang DH ajukan ditolak BPASN. Lembaga itu beralasan DH mengajukan banding setelah lebih dari 14 hari kerja pasca surat pemberitahuan pemberhentian dikirimkan ke rumah keluarganya.

Tidak hanya BPASN, Kemenkeu juga menolak banding yang diajukan DH dengan alasan yang sama. DH kemudian menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke PTTUN.

Editor: -
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS