PARBOABOA, Jakarta - Video seorang pelajar SMP yag menjadi korban perundungan (bullying) tersebar di media sosial.
Video tersebut memperlihatkan beberapa anak sekolah yang sedang berkumpul. Salah seorang siswa yang mengenakan topi hitam tampak terlihat agresif melakukan aksi perundungan.
Ia menganiaya korban dengan memukul, menyeret dan menendang berkali-kali hingga korban pun jatuh tersungkur.
Korban yang tidak berdaya hanya bisa merintih kesakitan tanpa ada perlawanan. Beberapa temannya yang mencoba melerai bahkan mendapat ancaman dari pelaku.
Naifnya, beberapa teman pelaku malah menertawakan, bahkan ikut menampar korban.
Video tersebut sontak mendapat banyak kecaman warganet. Mereka mendesak aparat kepolisian untuk segera menindak tegas para pelaku perundungan.
Kasus ini diketahui terjadi di Kecamatan Cimanggu, Cilacap, Jawa Tengah, pada Selasa (26/9/2023).
Informasi yang dihimpun, korban yang berinisial RF (14) mendapat perundungan dari MK (15) dan WS (14) hanya karena status keanggotaan geng.
Kedua pelaku marah atas pernyataan korban yang mengaku sebagai anggota kelompok geng, hingga berujung pada perundungan.
Polisi kini telah menangkap kedua pelaku perundungan sehari setelah kejadian, yakni pada Rabu (26/9/2023).
Dunia Pendidikan Indonesia Sedang Tidak Baik-baik Saja
Kasus perundungan yang terjadi di Cilacap sebetulnya hendak memperlihatkan bahwa dunia pendidikan kita tidak sedang baik-baik saja.
Dalam catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), pada Januari hingga Agustus 2023, terdapat 16 kasus perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah.
Kasus bullying paling banyak terjadi yaitu di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan persentase mencapai 25% dari jumlah kasus.
Kemudian, kasus perundungan juga terjadi di lingkungan Sekolah Menengah Akhir (SMA) dan Sekolah Menegah Kejuruan (SMK), dengan proporsi yang sama sebesar 18,75%.
Sementara di lingkungan Madrasah Tsanawiyah dan pondok pesantren, persentase kasus perundungan mencapai 6,25%.
FSGI juga mencatat, jumlah korban perundungan pada periode yang sama sebanyak 43 orang, yang terdiri dari 41 siswa (95,4%) dan dua guru (4,6%).
Adapun pelaku perundungan didominasi oleh siswa, yakni sebanyak 87 orang atau 92,5%, kemudian sisanya dilakukan oleh pendidik sebanyak 5 pendidik dengan persentase 5,3%, 1 orangtua siswa atau 1,1%, dan 1 Kepala Madrasah dengan persentase 1,1%.
Pada Juli 2023, FSGI juga melaporkan, ada empat kasus perundungan yang cukup menyedot perhatian publik, di antaranya kekerasan terhadap 14 siswa di Kabupaten Cianjur karena terlambat masuk sekolah, perundungan oleh empat guru terhadap siswa SMAN di Kota Bengkulu, kekerasan yang dilakukan kakak kelas terhadap adik kelas, dan penusukan siswa SMA di Samarinda.
Selain empat kasus tersebut, FSGI juga mencatat kasus terakhir yang termasuk parah adalah penyerangan orang tua terhadap guru di SMAN 7 Rejang Lebong yang mengakibatkan kebutaan pada korban.
Tak hanya itu, yang juga tak kalah menghebohkan jagat pendidikan belakangan ini adalah aksi nekat seorang siswa di Kalimantan Selatan yang menusuk temannya menggunakan pisau lantaran sering menjadi korban perundungan.
Hasil survei World Health Organization (WHO) melalui Global School-based Student Health (GSHS) pada 2015 melaporkan, 1 dari 20 remaja di Indonesia pernah memiliki keinginan bunuh diri.
Dari data tersebut, WHO mencatat sebanyak 20,9% menginginkan bunuh diri lantaran mengalami perundungan.
Selain itu, data hasil riset Programme for International Students Assessment (PISA) 2018 menunjukkan, siswa yang mengaku pernah mengalami perundungan di Indonesia sebanyak 41,1%.
Data ini sekaligius menempatkan Indonesia di posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara yang paling banyak murid mengalami perundungan.
Dalam survei lain yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada 2018, ditemukan bahwa dua dari tiga anak perempuan dan laki-laki usia 13-17 tahun di Indonesia pernah mengalami paling tidak satu jenis kekerasan.
Pada tahun 2021, KPAI mencatat sebanyak 53 kasus anak korban perundungan di lingkungan sekolah dan 168 kasus menjadi korban perundungan di dunia maya.
Sedangkan di periode Januari hingga Oktober 2022, kasus perundungan di sekolah meningkat menjadi 81 kasus. Sebaliknya, kasus perundungan di dunia maya mengalami penurunan menjadi 18 kasus.