Kesehatan Mental Hantui Generasi Z: 2,4 juta Remaja Alami Gangguan Jiwa

Ilustrasi Remaja Mengalami Gangguan Kesehatan Mental (Foto: PARBOABOA/Beby Nitani)

PARBOABOA, Jakarta – Memahami kesehatan mental atau Mental Health kini sangat penting untuk dilakukan, terutama dalam menghadapi kehidupan yang semakin kompleks.

Kesehatan mental, yang merujuk pada kondisi kesehatan yang menyangkut aspek kejiwaan, psikis, dan emosional individu, mendapat sorotan khusus dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di kalangan Generasi Z.

Berdasarkan temuan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2022, terungkap bahwa Generasi Z paling banyak menghadapi berbagai tantangan kesehatan mental.

Di mana terdapat sekitar 1 dari 20 remaja (5,5%) berusia 10-17 tahun mengalami gangguan mental dalam 12 bulan terakhir, dan hampir sepertiga (34,9%) mengalami satu atau lebih jenis gangguan kesehatan mental.

Di Indonesia, data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan sekitar 6,1% remaja berusia 15 tahun ke atas menghadapi masalah kesehatan mental.

Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, terdapat sekitar 44,2 juta remaja berusia 10-19 tahun.

Dengan menggunakan persentase dari survei tersebut, sekitar 2,4 juta remaja mengalami gangguan jiwa, dan lebih dari 15 juta remaja menghadapi gangguan kesehatan mental.

Menurut Siti Komariyah atau biasa disebut Teh Kokom, seorang praktisi psikologi, salah satu fenomena yang berkontribusi akan terganggunya kesehatan mental remaja adalah BLAST.

Fenomena ini merujuk pada kondisi di mana seseorang merasa Bosan (Bored), Kesepian (Lonely), Marah (Angry), Stres (Stress), dan Lelah (Tired). 

Fenomena tersebut sering ditemukan pada remaja yang terlalu bergantung pada teknologi digital seperti gadget, internet, game online, dan media sosial.

Gejala bosan sering muncul karena aktivitas fisik yang kurang. Aktivitas seperti lari, berolahraga, dan bermain sepak bola bisa meningkatkan produksi hormon endorfin, yang membuat seseorang merasa lebih bahagia dan positif. 

Namun, remaja yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan gadget dan kurang bergerak cenderung lebih cepat merasa bosan.

Sementara gejala kesepian bisa terjadi saat anggota keluarga, termasuk orang tua dan saudara kandung, terlalu sibuk dengan kegiatan mereka sendiri. 

Ini membuat remaja merasa diabaikan dan tidak berharga, yang bisa meningkatkan risiko pikiran negatif, termasuk pikiran untuk bunuh diri. 

Kurangnya interaksi sosial juga mengurangi kemampuan mereka dalam bersosialisasi, membuat mereka merasa lebih terisolasi dan berdampak negatif pada kesehatan mental.

Gejala kecemasan dan ketakutan sering kali berasal dari takut tidak memenuhi ekspektasi sosial, takut bicara dengan orang lain, takut dimarahi, takut mengganggu, dan takut diabaikan. 

Kecemasan ini bisa timbul dari pengalaman buruk yang terulang kembali.

Gejala stres bisa disebabkan oleh tekanan situasi atau harapan yang terlalu tinggi dari orang tua atau masyarakat. 

Di beberapa sekolah unggulan, misalnya, siswa sering merasa sangat stres dan cemas karena takut gagal memenuhi harapan tersebut, yang bisa berujung pada tindakan ekstrem karena kegagalan.

Gejala lelah, baik secara fisik maupun emosional, sering terjadi karena beban masalah, rutinitas sekolah yang berat, dan kurangnya tempat untuk berbicara atau mencurahkan isi hati. 

Ini membuat remaja merasa seolah-olah mereka harus menghadapi semua masalah sendirian, padahal mereka sangat membutuhkan bimbingan.

Secara keseluruhan, peningkatan masalah kesehatan mental ini bukan hanya masalah bagi remaja, tetapi juga dapat berlanjut hingga mereka dewasa jika tidak ditangani dengan baik.

Penyebab dan Cara Mengatasi 

Banyak hal yang bisa mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Menurut Siti Komariyah, faktor-faktor ini bisa dibagi menjadi dua kelompok, yakni eksternal dan internal.

Faktor Eksternal (berasal dari luar diri):

  • Perlakuan orang tua atau masyarakat
  • Tekanan ekonomi dan sosial
  • Kekerasan, intimidasi, dan informasi negatif
  • Mudahnya akses konten pornografi
  • Kurang perhatian dari orang tua
  • Penggunaan gadget dan media sosial yang berlebihan 

Nicholas Carr dalam bukunya, ‘What the Internet is Doing to Our Brains: The Shallows,’ menjelaskan bahwa internet bisa memiliki dampak negatif, seperti membuat orang lebih permukaan dalam hal emosi dan moralitas. 

Ini bisa mengganggu kemampuan remaja untuk memahami dan mengekspresikan perasaan serta membangun empati.

Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk menciptakan lingkungan yang positif sejak dini. 

Ini termasuk memilih sekolah yang tepat, lingkungan tempat tinggal yang mendukung, mengawasi pergaulan anak, mengontrol akses di internet, mempersiapkan anak sebelum menggunakan gadget dan media sosial, menetapkan aturan yang baik, serta menghindarkan dari konflik keluarga.

Faktor Internal (berasal dari dalam diri):

  • Genetika
  • Perubahan hormonal saat pubertas
  • Bagaimana seseorang memandang dan menghargai dirinya sendiri
  • Reaksi terhadap perlakuan orang lain atau situasi sekitar
  • Kepribadian dan pola pikir yang dibentuk sejak dini

Penting untuk membimbing dan mendidik anak mengenai faktor-faktor internal ini sejak dini. 

Contohnya, mempersiapkan mereka untuk perubahan yang akan terjadi saat pubertas, mengajarkan cara mengelola emosi, dan bagaimana menghadapi situasi sulit dengan positif. 

Jika perlu, orang tua bisa mengundang ahli untuk membantu. Dengan cara ini, remaja akan memiliki konsep diri yang positif dan tetap produktif, yang merupakan kunci untuk kesehatan mental yang baik.

Editor: Beby Nitani
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS