PARBOABOA, Jakarta - Ki Hajar Dewantara merupakan pahlawan bagi pendidikan Indonesia sejakt zaman kolonial Belanda.
Pria yang bernama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat ini lahir pada Kamis legi, 2 Ramadhan 1309 H atau bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1889.
Tak hanya sebagai pahlawan pendidikan, ia juga merupakan aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, guru bangsa, kolumnis, hingga politisi.
Ki Hadjar Dewantara lahir dari keluarga ningrat atau bangsawan Jawa, dan ia memiliki kesempatan untuk bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) atau Sekolah Dasar Belanda 7 tahun di kampung Bintaran Yogyakarta.
Kemudian, setelah lulus, Ki Hajar Dewantara melanjutkan sekolahnya ke Kweekschool (Sekolah Guru) di Yogyakarta.
Sebelum dikenal sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi, ia lebih dulu memulai karirnya sebagai wartawan di beberapa surat kabar.
Adapun surat kabar yang pernah menjadi tempatnya berkarya yaitu, Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timur, dan Poesara.
Tulisannya dinilai sangat komunikatif, tajam, dan patriotik, hingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Sebagai wartawan, Ki Hajar Dewantara tak hanya pintar menulis, namun ia juga pandai memanfaatkan secara optimal media pers sebagai alat perjuangan untuk membentuk opini publik guna melawan pemerintah kolonial Belanda.
Selain itu, ia juga memanfaatkan media pers sebagai alat untuk mengkritik pemerintahan Hindia Belanda kala itu.
Karena tulisannya sering mengkritisi pemerintah kolonial, ia pun pernah dijebloskan ke penjara di Semarang dan Pekalongan.
Salah satu karya tulisnya yang terkenal adalah "Als ik een Nederlander was" atau dalam bahasa Indonesia berarti "Seandainya Aku Seorang Belanda."
Tulisan ini dimuat di surat kabar De Express milik Douwes Dekker sebagai bentuk protes atas rencana Pemerintah Hindia Belanda yang ingin mengumpulkan sumbangan dari Indonesia guna merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penjajahan Perancis.
Berikut kutipan dari tulisan Als ik een Nederlander was (Seandainya Aku Seorang Belanda):
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu."
Kritik tersebut membuat marah pemerintah Belanda hingga memutuskan untuk mengasingkan Ki Hajar Dewantara ke Pulau Bangka.
Tulisan Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo yang dibuat untuk membantu Ki Hajar Dewantara, juga dianggap Belanda sebagai tulisan menghasut rakyat, sehingga keduanya turut diasingkan.
Douwes Dekker dibuang ke Kupang, sementara Cipto Mangunkusumo diasingkan ke Pulau Banda.
Ketiganya lalu mengajukan usul kepada pemerintah kala itu untuk diasingkan ke Belanda saja.
Tujuannya, agar tiga sekawan ini dapat belajar banyak hal, dari pada tinggal di tempat terpencil.
Pada bulan Agustus 1913, pemerintahan Hindia Belanda mengabulkan permohonan tersebut.
Setelah dipindahkan ke Belanda, Ki Hajar Dewantara menjalani hidupnya dengan serba kekurangan.
Kemudian, untuk menyambung hidup, ia mulai bekerja kembali sebagai jurnalis di Belanda.
Tak ingin melepas kesempatan, ia pun melakukan hal serupa seperti yang telah dilakukan saat berada di Indonesia.
Aktivis kemerdekaan itu memanfaatkan media massa Belanda untuk membantu perjuangannya.
Melalui media massa ini, Ki Hajar Dewantara menceritakan bagaimana kondisi Indonesia yang sesungguhnya.
Sekembalinya ke Indonesia, politisi ini dengan pantang menyerah terus melakukan perjuangan terhadap kemerdekaan Tanah Air.
Pada tahun 1959, atas jasa-jasanya dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia, Ki Hajar Dewantara dianugerahi gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional oleh Presiden Soekarno.
Tanggal kelahirannya dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional Indonesia.