Kabar dari Sekolah Jurnalisme Parboaboa: Memahami Keamanan Jurnalisme

Keamanan menjadi bagian penting dari kerja jurnalistik. (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

PARBOABOA, Pematangsiantar - Menjadi jurnalis bukan sekadar soal menulis dan mencari fakta. Ada risiko yang nyata mengintai di balik setiap liputan, terutama ketika menyentuh kepentingan kekuasaan atau isu-isu yang mengundang konflik.

Ancaman terhadap jurnalis bisa datang dalam berbagai bentuk. Mulai dari kekerasan fisik di lapangan, pelacakan digital, hingga tekanan mental. Semuanya dapat membahayakan keselamatan dan kerja jurnalistik itu sendiri.

Di tengah dunia yang makin sensitif terhadap informasi, keamanan menjadi bagian penting dari kerja jurnalistik. Seorang jurnalis harus tahu cara melindungi dirinya, baik secara fisik, emosional, maupun digital, agar tetap bisa bekerja.

Sekolah Jurnalisme Parboaboa memilih "Keamanan Jurnalisme" sebagai salah satu materi. Sebelum belajar menggali narasumber atau menulis liputan, peserta perlu memahami terlebih dahulu cara menjaga keselamatan saat menjalankan tugas jurnalistik.

Materi ini disampaikan secara daring oleh Adi Marsela, jurnalis dari AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia, Selasa (3/6/2025). Menurut pengalamannya, keamanan bukan pelengkap, tetapi justru fondasi dari kerja jurnalistik yang bertanggung jawab.

Mengingat data pribadi di internet rentan disalahgunakan, materi pagi itu turut menyinggung ancaman digital yang kerap luput dari perhatian. Ia mengajak peserta mengenali risiko kebocoran data yang bisa terjadi kapan saja.

Ia memperkenalkan berbagai situs yang dapat digunakan untuk memeriksa apakah alamat Gmail atau nomor ponsel pernah bocor, serta digunakan untuk apa saja. Tujuannya bukan sekadar untuk tahu, tetapi agar peserta mulai waspada.

Adi memaparkan, saat meliput isu-isu sensitif di lapangan, jurnalis perlu memastikan apakah membawa informasi penting dalam perangkat seperti laptop atau ponsel. Jika memang harus dibawa, keputusan itu harus melalui pertimbangan matang. Sebab langkah paling aman adalah selalu mengurangi risiko sejak awal.

Membawa data sensitif saat turun ke lapangan bisa memperbesar potensi ancaman, baik bagi keselamatan jurnalis maupun kerahasiaan data itu sendiri. Karenanya perlu untuk berpikir dalam konteks risiko yang bisa terjadi, termasuk kemungkinan penyitaan perangkat.

"Kita harus berpikir apakah data yang disita pihak lain itu akan menimbulkan risiko bagi diri kita atau orang lain. Misal, narasumber kita dalam isu sensitif," jelasnya kepada Parboaboa, Selasa (3/6/2025).

Ia menekankan bahwa hal paling mendasar adalah kesiapan jurnalis sebelum melakukan liputan. Termasuk di dalamnya, menakar kapasitas pribadi dan medianya, memahami tugas dan peran secara utuh. Selain itu menyadari potensi tuntutan hukum, serta memetakan risiko dan cara menghadapinya. Entah dengan mengurangi, menghindari atau memindahkannya.

psrt sdg mnymak

Peserta serius menyimak. (Foto: PARBOABOA/P.Hasudungan Sirait)

Pada tahap penulisan atau setelah liputan selesai, perlu juga bagi jurnalis mencadangkan seluruh data yang dikumpulkan. Hal ini, jelas Adi, untuk mencegah kehilangan materi penting dari lapangan. Seperti rekaman gambar atau suara dari narasumber sebagai laporan.

Menurutnya, dalam isu keamanan digital, kesalahan yang sering dilakukan jurnalis adalah ketidakmampuan dalam menilai serta mengambil keputusan untuk mengurangi risiko yang timbul dari perilaku atau tindakan saat meliput.

Kesalahan ini tak selalu sepenuhnya pada jurnalis. Bisa saja akar persoalannya terletak pada perusahaan media yang tidak pernah membekali jurnalisnya dengan pengetahuan tentang mitigasi keamanan, pengelolaan risiko, serta aspek-aspek lain dalam keamanan holistik—termasuk di dalamnya keamanan digital.

Dalam situasi tertekan atau penuh intimidasi, jurnalis harus mampu menjaga ketenangan. Ia tak boleh terpancing emosi, terlebih saat berhadapan dengan aparat penegak hukum. Sebab, pihak yang menekan sering kali justru menunggu jurnalis melakukan kesalahan karena gagal bersikap rasional.

“Misal, saat hendak ditangkap oleh polisi, melakukan perlawanan hingga menyikut petugas, maka bisa jadi petugas tadi akan mengenakan dugaan pelanggaran penyerangan terhadap petugas keamanan,” terangnya.

Agar tetap dapat berpikir jernih, jurnalis dan perusahaan medianya perlu membekali diri dengan informasi dan pemahaman tentang hak-hak sipil yang berkaitan dengan proses penegakan hukum terhadap mereka.

“Misal, saat ditangkap, apakah harus menyerahkan perangkat laptop dan handphone? Jika kondisinya sudah ditodong pistol, rasanya sangat logis untuk tidak melawan petugas guna mengurangi risiko lanjutan seperti dipukul atau ditembak,” tambahnya.

Kepada para peserta, Adi berpesan agar pengetahuan tentang kerentanan data pribadi, aset digital, serta langkah-langkah mitigasi yang telah dipelajari, tidak berhenti sebagai teori. Semuanya perlu diterapkan dalam keseharian, mulai dari kebiasaan mengganti kata sandi secara rutin hingga melengkapi proteksi atas aset digital yang dimiliki.

“Untuk momen awal kalau jadi paranoid tidak apa, namun janganlah berkepanjangan, karena kawan-kawan sudah tahu alternatif dan cara mitigasinya. Justru bakal jadi paranoid jika tidak mengetahui apa-apa soal kerentanannya di dunia digital,” tutupnya.

Memahami Keamanan Jurnalis

Bagi salah satu peserta, Amelia Wulandari Pardede (25), mengikuti materi keamanan jurnalisme membuka pemahaman baru tentang betapa nyatanya ancaman terhadap jurnalis. Ancaman itu tidak hanya fisik, tetapi juga menyentuh aspek digital dan psikologis.

Ia jadi mengerti bahwa keamanan jurnalis harus dilihat secara holistik. Tidak cukup hanya mengandalkan perlindungan fisik di lapangan, namun juga kesadaran atas kerentanan dalam aktivitas digital sehari-hari yang sering kali tidak diperhatikan.

pnting mnjga keamnan

Pentingnya menjaga keamanan digital. (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

"Ternyata perilaku adalah kunci keamanan. Tanpa kebiasaan yang disiplin, teknologi sekuat apa pun tidak akan cukup melindungi kita sebagai jurnalis," ujar lulusan STIE Sultan Agung Pematangsiantar itu, Selasa (3/6/2025).

Amelia mulai menyusun cara dalam menjaga keamanannya. Memahami pentingnya sistematisasi dalam penggunaan perangkat digital serta lebih waspada terhadap jejak digital yang dapat dilacak pihak-pihak tak bertanggung jawab.

Ia juga akan memprioritaskan penggunaan protokol aman, seperti memastikan situs yang diakses menggunakan HTTPS, serta rutin memperbarui kata sandi, dan menghindari tautan mencurigakan di email atau pesan instan.

Selain itu, Amelia menegaskan tidak akan mengubah nilai-nilai dasar dalam dirinya sebagai calon jurnalis. Ia akan tetap menjunjung tinggi kebenaran, integritas, serta ketelitian dalam memverifikasi data sebelum menyajikannya ke publik.

Kepekaan terhadap isu-isu positif juga menjadi prinsip yang ingin terus ia jaga. Ia memahami bahwa menjadi jurnalis bukan hanya perihal mengungkap fakta, tetapi juga merawat harapan dan empati di tengah masyarakat.

Peserta lainnya, Novriani Tambunan, lulusan FISIP Universitas Sumatera Utara, mengaku mendapatkan banyak pemahaman baru setelah mengikuti materi seputar keamanan informasi dan verifikasi konten digital dalam pelatihan tersebut.

Ia paham bahwa di era banyak informasi seperti sekarang, media sosial telah menjadi ruang penyebaran berbagai bentuk konten manipulatif, termasuk deepfake. Hal ini menunjukkan urgensi kehadiran jurnalis sebagai penapis fakta.

“Tadi dijelaskan bahwa disinformasi adalah informasi salah yang sengaja dibuat dengan niat jahat, sedangkan misinformasi disebarkan tanpa sadar. Jurnalis harus mampu membedakan dan menanganinya dengan pendekatan yang tepat,” ujarnya, Selasa (3/6/2025).

Materi yang diterimanya juga memperkenalkan beragam alat bantu untuk memverifikasi konten visual dan teks. Tools seperti Bing, Yandex, InVID, hingga Hive Moderation, semua ini ternyata penting dipahami jurnalis pemula.

Novriani juga mengaku materi ini menambah pemahaman bahwa proses membaca berita pun harus disertai ketelitian tinggi. Sebab motif di balik penyebaran informasi kini menjadi hal yang tak bisa diabaikan dalam kerja jurnalistik.

Meski masih belajar, ia merasa perlu menjaga nilai-nilai seperti komitmen pada kebenaran, kepekaan terhadap isu sosial, serta akurasi data. Nilai-nilai ini diyakininya dan harus dipertahankan.

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS