Membongkar Sengketa 4 Pulau: Ketegangan Aceh vs Sumut

Kemendagri mengungkap fakta terkait polemik empat pulau yang kini jadi rebutan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dan Provinsi Aceh. (Foto : Googlemaps)

PARBOABOA, Jakarta – Sengketa atas empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara kembali mencuat setelah Kementerian Dalam Negeri menetapkan status administratifnya dalam wilayah Tapanuli Tengah.

Keputusan ini menimbulkan polemik panjang antarprovinsi, menggugah kembali sejarah, verifikasi peta, hingga narasi kepemilikan yang bertumpu pada dokumen hukum dan infrastruktur yang telah dibangun.

Di balik dinamika ini, masyarakat setempat berharap kejelasan, bukan hanya dalam batas, tapi juga dalam keadilan.

Kementerian Dalam Negeri resmi menetapkan empat pulau yang berada di perbatasan Provinsi Aceh dan Sumatera Utara sebagai bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Penetapan ini termaktub dalam Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 mengenai pemutakhiran kode dan data wilayah pemerintahan.

Empat pulau yang dimaksud—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—langsung menjadi objek rebutan antara dua provinsi.

Keduanya mengklaim bahwa pulau-pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah masing-masing.

Verifikasi Sejak 2008

Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, menjelaskan akar sengketa ini bermula sejak 2008.

Saat itu, Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi—gabungan dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, LAPAN, BIG, hingga TNI—melakukan verifikasi dan pembakuan nama serta koordinat pulau-pulau di seluruh Indonesia.

Di Banda Aceh, tim ini mencatat 260 pulau yang diakui sebagai bagian dari Provinsi Aceh. Namun, keempat pulau yang kini disengketakan tidak termasuk dalam daftar tersebut.

Hal ini kemudian dikonfirmasi oleh Gubernur Aceh melalui surat resmi pada 4 November 2009, disertai dengan perubahan nama pulau dan pemindahan koordinat, seperti Pulau Rangit Besar menjadi Mangkir Besar, dan Pulau Malelo menjadi Lipan.

Sementara itu, pada saat yang sama di Sumatera Utara, Pemda melaporkan 213 pulau, termasuk keempat pulau tersebut. Laporan ini mendapat konfirmasi resmi dari Gubernur Sumatera Utara pada 2009.

Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi yang terdiri dari instansi lintas sektor kemudian menyampaikan hasil verifikasi ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2012.

Berdasarkan data koordinat, dokumentasi, dan konfirmasi kedua gubernur saat itu, keempat pulau ditetapkan masuk dalam wilayah administratif Sumatera Utara.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan bahwa persoalan ini sudah mengemuka sejak 1928 dan telah melalui berbagai forum koordinasi antar-lembaga sebelum akhirnya diputuskan melalui Keputusan Mendagri pada tahun 2022 dan diperkuat lagi pada April 2025.

Tito menyoroti bahwa ketidakjelasan batas wilayah bukan hanya masalah administratif, tapi juga berdampak langsung pada pembangunan, alokasi dana, hingga legalitas pembangunan.

Dari sekitar 70.000 desa di Indonesia, hanya sekitar 1.000 desa yang batas wilayahnya sudah tuntas secara hukum.

Ia menambahkan, jika pembangunan dilakukan di atas tanah sengketa, temuan tersebut bisa menjadi catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan menimbulkan masalah hukum.

Aceh Tidak Diam

Pemerintah Aceh, melalui Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Syakir, menegaskan pihaknya akan terus memperjuangkan pengembalian status keempat pulau menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil.

Proses advokasi telah berlangsung sejak sebelum tahun 2022, termasuk serangkaian survei lapangan yang difasilitasi Kemendagri.

Pemerintah Aceh menunjukkan bukti-bukti otentik dalam verifikasi lapangan seperti dokumen kepemilikan, peta, serta infrastruktur yang dibangun sejak 2012—mulai dari rumah singgah, mushala, hingga dermaga.

Bukti-bukti ini diperkuat oleh prasasti dan tugu sambutan yang mencantumkan wilayah sebagai bagian dari Aceh.

Aceh juga mengacu pada peta kesepakatan yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut pada 1992, disaksikan langsung oleh Mendagri saat itu.

Peta tersebut menandai garis batas laut yang memasukkan empat pulau ke dalam wilayah Aceh. Bukti lain termasuk surat kepemilikan tanah dari tahun 1965 dan dokumen lain yang mendukung klaim administratif.

Pada 2022, Kemenko Polhukam memfasilitasi rapat koordinasi yang diikuti berbagai kementerian dan lembaga.

Mayoritas peserta rapat menyatakan bahwa berdasarkan aspek hukum, pemetaan, dan pengelolaan wilayah, keempat pulau masuk dalam cakupan wilayah Aceh.

Namun, belum ada kesepakatan mengenai batas laut. Pemerintah pusat pun mengambil alih wewenang penentuan akhir.

Hindari Friksi Sosial

Sementara Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menegaskan bahwa perubahan status administratif ini bukan keputusan Pemerintah Provinsi Sumut, melainkan keputusan pusat yang memiliki dasar hukum dan proses panjang.

Ia mengimbau agar masyarakat tidak terprovokasi oleh isu-isu yang bisa menimbulkan friksi antarmasyarakat Aceh dan Sumut.

Bobby juga mengingatkan pentingnya menjaga keharmonisan sosial, mengingat banyak warga Aceh yang tinggal di Sumut, dan sebaliknya.

“Jangan sampai soal pelat kendaraan jadi alasan kita saling curiga,” tegasnya.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS