PARBOABOA, Jakarta - Pada peringatan Hari Keanekaragaman Hayati Internasional (KEHATI) 22 Mei lalu, Jaring Nusa bersama Perkumpulan Pakativa menyoroti kondisi keanekaragaman hayati dunia yang semakin mengkhawatirkan.
Nursyahid Musa, Direktur Perkumpulan Pakativa, menjelaskan bahwa situasi global yang tidak menguntungkan ini telah mendorong negara-negara di dunia untuk menyelenggarakan Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB COP15 di Montreal pada tahun 2022.
Dalam konferensi tersebut, para negara peserta berhasil mencapai kesepakatan penting yang menjadi langkah kunci dalam upaya melindungi daratan dan lautan dunia serta mendukung perlindungan iklim global.
Salah satu komitmen yang disepakati adalah melindungi 30 persen daratan dan perairan dunia yang dinilai vital bagi keanekaragaman hayati pada tahun 2030.
Musa mencatat, saat ini hanya 17 persen daratan dan 10 persen lautan dunia yang telah dilindungi.
Karena itu, peringatan Biodiversity Day setiap 22 Mei, lanjutnya, menjadi momentum penting untuk mengingatkan dunia tentang tantangan besar yang masih dihadapi dalam melestarikan keanekaragaman hayati.
Di Indonesia, Musa menyoroti ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh tingginya laju deforestasi.
Di mana dalam dua dekade terakhir, jutaan hektar hutan tropis Indonesia telah hilang. Hal ini tidak hanya mengancam habitat berbagai spesies tumbuhan dan satwa, tetapi juga meningkatkan risiko kepunahan.
Hilangnya hutan-hutan ini menjadi salah satu masalah utama yang perlu segera diatasi.
Selain deforestasi, ancaman terhadap keanekaragaman hayati di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil di Indonesia juga semakin meningkat.
Hutan mangrove dan terumbu karang yang punya peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir, terus mengalami penyusutan.
Penyusutan ini berpotensi menghancurkan habitat bagi berbagai spesies yang bergantung pada ekosistem tersebut, sekaligus mengancam keberlanjutan sumber daya alam di wilayah pesisir.
Musa juga menyebutkan beberapa faktor yang berkontribusi terhadap ancaman terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia.
Di antaranya adalah alih fungsi lahan untuk keperluan perkebunan, pertanian, perumahan, dan pembangunan infrastruktur.
Selain itu, praktik industri ekstraktif yang sering mengabaikan dampak lingkungan jangka panjang, serta overfishing dan destructive fishing, telah menimbulkan kerusakan serius pada keanekaragaman hayati di seluruh tanah air.
Peringatan KEHATI, tegasnya, harus menjadi momen bagi Indonesia dan negara-negara lain untuk memperkuat komitmen dalam melindungi keanekaragaman hayati.
Di tingkat nasional, langkah-langkah konkret harus segera diambil untuk menghentikan deforestasi dan melindungi ekosistem pesisir yang terancam, demi menjaga kekayaan hayati Indonesia untuk generasi yang akan datang.
Manfaatkan AI
Sebenarnya, Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia, dan diakui memiliki dua area biodiversitas yang penting secara global, yaitu Sundaland dan Wallacea.
Kedua wilayah ini kaya akan spesies endemik, namun juga menghadapi ancaman tingkat kepunahan yang tinggi.
Dekan Fakultas Biologi UGM, Prof. Budi Setiadi Daryono, menerangkan, faktor utama di balik kerusakan keanekaragaman hayati di Indonesia adalah aktivitas antropogenik (perbuatan manusia) dan diperparah oleh dampak perubahan iklim global.
Karena itu, Budi menekankan pentingnya tindakan konkret untuk mencegah aktivitas manusia yang merusak.
Meski diakuinya bahwa kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia merupakan sumber potensial untuk eksplorasi ilmu pengetahuan dan peningkatan kesejahteraan manusia, namun, potensi ini harus diimbangi dengan upaya pelestarian yang berkelanjutan serta pendataan yang akurat dan valid.
Untuk itu, teknologi modern seperti metaverse, open science, big data analytics, bioinformatics, biotechnology, dan kecerdasan buatan (AI) memiliki potensi besar dalam membantu pengelolaan, pendayagunaan, dan pelestarian sumber daya hayati Indonesia.
Dalam bidang pendidikan, ia menyoroti peran metaverse sebagai media pembelajaran dan penelitian biologi yang menarik, terutama bagi generasi milenial.
Kombinasi antara teknologi metaverse dan ilmu hayati diharapkan dapat membawa Biologi menjadi bidang ilmu yang semakin penting, terutama dalam kajian masa depan seperti Deep Sea Biology dan Exobiology.
Perkembangan big data analytics dan bioinformatika saat ini juga menjadi kunci dalam memahami dan mengelola keanekaragaman hayati.
Lebih lanjut, teknologi AI memiliki peran penting dalam perencanaan lingkungan, pengambilan keputusan, dan pengelolaan ekosistem melalui algoritma otomatis.
Dalam konservasi margasatwa, kata dia, AI dapat digunakan untuk memantau kesehatan ekosistem, mengurangi interaksi manusia dengan satwa liar, serta mencegah konflik antara satwa dan masyarakat melalui pemantauan dan pengelolaan informasi yang otomatis.
Perkuat Manajemen Dokumen
Sementara itu, Sahat M. Panggabean, Kepala Badan Karantina Indonesia (Barantin), mengumumkan upaya peningkatan perlindungan terhadap sumber daya dan keanekaragaman hayati Indonesia melalui penguatan manajemen dokumen pada tahap preborder.
Preorder adalah pembelian hewan dan tumbuhan dengan cara memesan dan membayar terlebih dahulu sebelum hewan atau tumbuhan tersebut diterima negara pembeli.
Sahat menjelaskan bahwa pendekatan preventif ini tidak hanya dilakukan di perbatasan, tetapi dimulai lebih awal, sebelum barang memasuki wilayah Indonesia.
Penguatan tersebut melibatkan penerapan sertifikat elektronik, pemberitahuan awal (prior notice), serta registrasi sistem dan laboratorium yang relevan.
"Penguatan ini dilakukan melalui penerapan sertifikat elektronik, prior notice, serta registrasi sistem dan laboratorium," kata Sahat di Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Menurut dia, langkah ini merupakan cara efektif untuk memastikan bahwa semua persyaratan karantina untuk hewan, ikan, dan tumbuhan yang masuk ke Indonesia telah terpenuhi sebelum barang tiba di perbatasan.
Dengan adanya informasi yang lebih cepat mengenai persyaratan ekspor, negara asal dapat lebih awal memenuhi ketentuan yang berlaku, sehingga pemeriksaan di perbatasan bisa dilakukan dengan lebih cepat dan efisien.
Untuk mendukung upaya ini, Sahat menekankan pentingnya digitalisasi layanan karantina. Sejauh ini, Barantin telah mengembangkan sistem aplikasi online yang memudahkan pengiriman pemberitahuan awal dan verifikasi sertifikat karantina.
Sahat juga menyatakan bahwa digitalisasi layanan ini adalah bagian dari program yang telah dicanangkannya untuk mempercepat dan mempermudah akses layanan karantina.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pemberlakuan prior notice bukanlah hal baru, karena sudah diterapkan sebelumnya untuk ekspor produk Pangan Segar Asal Tumbuhan (PSAT) dan produk daging asal Brazil.
Dengan transformasi dan kebijakan baru ini, Barantin melakukan penyesuaian di berbagai aspek teknis, operasional, dan administrasi.
Sebagai bagian dari upaya preventif untuk melindungi sumber daya hayati Indonesia, tegasnya Barantin telah mengadakan sosialisasi mengenai prior notice dan dokumen karantina.
Sosialisasi ini melibatkan Duta Besar, Ministerial Counselor, serta Atase Perwakilan dari negara-negara mitra yang ada di Indonesia guna memastikan bahwa semua pihak memahami dan mematuhi persyaratan yang berlaku.
Editor: Gregorius Agung