Menkumham dan Menag Tolak Legalkan Nikah Beda Agama di Sidang MK

Menag dan Menkumham Tolak Legalkan Nikah Beda Agama (hipwee.com)

PARBOABOA, Jakarta – Pemerintah dengan tegas menolak melegalkan pernikahan beda agama. Hal itu disampaikan dalam sidang judicial review UU Perkawinan (Pasal 2 ayat 1) di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh warga Papua, Ramos Petege.

"Menolak permohonan pengujian pemohon untuk seluruhnya. Atau setidak‐tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)," demikian keterangan pemerintah pada Senin (4/7/2022).

Kebijakan pemerintah ini diwakili oleh Menkumham Yasonna Laoly dan Menag Yaqut Cholil Qoumas. Pernyataan resmi pemerintah itu disampaikan oleh kuasa dari Kemenag, Kamaruddin Amin.

"Makna hukum atau legal meaning ketentuan Pasal 29 UUD 1945 sebagai batu uji Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan oleh Pemohon telah ditafsirkan secara keliru. Bahwa prinsip kemerdekaan dan kebebasan agama disamakan sebagai prinsip yang membolehkan perkawinan beda agama," kata Kamaruddin Amin.

Menurut Pemerintah, hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia berbeda-beda, sehingga hal tersebut tidak bisa disamakan. Suatu hukum perkawinan berdasarkan satu hukum agama dan kepercayaan untuk menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai.

"Dan terhadap perkawinan tersebut dilakukan pencatatan sebagai tindakan yang bersifat administratif yang dilaksanakan oleh negara guna memberikan jaminan perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara, serta sebagai bukti autentik perkawinan," urai pemerintah.

Pemerintah menegaskan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan justru telah memberikan kepastian hukum bagi setiap orang yang akan melaksanakan perkawinan sesuai dengan hukum perkawinan agama dan kepercayaan yang dianut tidak dengan cara melaksanakan perkawinan beda agama.

"Bahwa justru kehendak Pemohon untuk melaksanakan perkawinan beda agama, bahkan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum agama dan kepercayaan yang dianut, tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, dan ketentuan peraturan perundang‐undangan lainnya," kata Pemerintah menguraikan.

Pemerintah juga menegaskan, perkawinan beda agama dan kepercayaan tidak diperbolehkan atas dasar hak asasi manusia dan kebebasan. Karena dalam menjalankannya setiap warga negara harus mengikuti peraturan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, ketertiban umum dan suatu masyarakat demokratis.

"Sehingga tidaklah mungkin di negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 atas dasar hak asasi manusia dan kebebasan setiap orang dapat sebebas‐bebasnya melakukan perkawinan beda agama dan kepercayaan karena bisa jadi pelaksanaan perkawinan berbeda agama dan kepercayaan justru akan melanggar hak konstitusional orang lain yang seharusnya dihormati (respected), dilindungi (protected) oleh setiap orang dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945," ungkap pemerintah.

Sebagaimana diketahui, Ramos Petege mengajukan gugatan atas UU Perkawinan. Ia meminta agar Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan tidak boleh mengatur perkawinan beda agama.

Dalam permohonannya, diungkapkan bahwa Ramos telah menjalin hubungan selama 4 tahun. Namun, saat kedua pihak telah mencapai kesepakatan untuk menikah, perkawinan itu dibatalkan mempelai wanita.

"Perkawinan ini tetap dibatalkan oleh pihak mempelai wanita karena sahnya perkawinan tetap ditentukan hukum agama dan tentunya hal tersebut dilarang berdasarkan hukum agama yang berlaku," sebagaimana dikutip dari permohonan Ramos.

Editor: -
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS