PARBOABOA, Jakarta – Meski persiapan pemilihan umum 2024 telah dimulai, isu perempuan belum juga mendapat perhatian serius dari calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).
Hal ini diutarakan Zumroti, aktivis dari Yayasan Kesehatan Perempuan, dalam acara bertajuk ‘Deklarasi Perempuan Penyelamat Demokrasi & HAM’ bersama perwakilan 30 organisasi perempuan pada Jumat (22/12/2023).
Menurutnya, perempuan masih sering diabaikan dalam pembicaraan politik yang menentukan masa depan negara.
"Kebisingan politik terkini telah menyebabkan kebingungan di kalangan rakyat. Apa yang disampaikan capres-cawapres sama sekali tidak memperhatikan rakyat, termasuk di dalamnya perempuan," jelasnya.
Zumroti menyoroti bahwa para calon pemimpin negara tersebut hanya berbicara tentang demokrasi tanpa memahami atau mengimplementasikan esensi dari demokrasi itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan perempuan.
“Para capres-cawapres terus berteriak demokrasi, namun hanya sekadar ucapan di kepala saja, substasni demokrasi itu tidak pernah diartikan dengan benar,” imbuhnya.
Di sisi lain, Yulni Walrif dari Solidaritas Perempuan menyoroti bahwa pembangunan kebijakan seringkali berpihak pada kepentingan tertentu dan tidak memperhatikan dampaknya terhadap perempuan.
Ini tercermin dari banyaknya proyek yang dijuluki sebagai inisiatif 'energi bersih' tidak sesuai dengan klaim tersebut, dan telah memaksa perempuan untuk mencari nafkah di luar negeri sebagai buruh migran.
Dalam banyak kasus, menjadi buruh migran bukanlah pilihan, melainkan keharusan akibat kondisi yang dipaksakan oleh bencana alam dan kerusakan lingkungan.
“Padahal, sebenarnya para perempuan tidak ingin bekerja sebagai pekerja migran. Namun karena bencana dan ketidaksediaan lahan, mereka terpaksa menjadi pekerja migran,” tuturnya.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti bahwa kebanyakan pekerja migran perempuan juga tidak mendapatkan jaminan keamanan yang memadahi ketika berada di luar negeri.
Isu Pelanggaran HAM Belum Tuntas
Lebih jauh lagi, luka pelanggaran HAM masa lalu Indonesia masih terbuka lebar.
Magdalena Sitorus, peneliti sekaligus Demisioner Komnas Perempuan mengungkap, meskipun para penyintas terus bersuara, namun isu gender dalam konteks pelanggaran HAM seringkali diabaikan.
“Padahal, kekerasan yang mereka alami tela menghilangkan martabat mereka sebagai manusia dan sebagai perempuan,” ungkapnya.
Selain itu, stigma yang terus melekat pada korban hingga sampai lanjut usia, telah membuat mereka terkucil dari sosial dan tanpa akses ekonomi.
Magdalena juga menyoroti tentang pemulihan nama baik untuk komunitas-komunitas yang terdampak, seperti etnis Tionghoa dan masyarakat Aceh, yang harus segera dilakukan.
Karena itu, perlu tindakan nyata dari negara untuk memastikan bahwa isu perempuan dan pelanggaran HAM mendapat tempat yang semestinya dalam agenda nasional.